Menjadi Lebih Baik?

Jakarta, KPonline – Tahun sudah berganti. Dari 2019 menjadi 2020. Bertepatan dengan pergantian tahun seperti ini, selalu, yang disampaikan adalah; semoga tahun depan bisa menjadi lebih baik lagi.

Ini sejalan dengan nasehat para alim. Bahwa hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika itu tidak bisa kita penuhi, sungguh kita termasuk golongan yang merugi.

Bacaan Lainnya

Konsep ini — bahwa hari esok harus lebih baik, mustinya juga dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam menyusun undang-undang.

Kali ini kita akan berbicara tentang Omnibus Law, yang semangatnya untuk mengejar investasi. Dari namanya, orang akan menyangka ini undang-undang baik sekali.

Hanya si bodoh yang akan menolaknya. “Menciptakan lapangan kerja,” kurang apa coba?

Tetapi nanti dulu. Jangan membeli kucing dalam karung. Cek isinya.

Sampai saat ini, saya belum mendapat draft omnibus law yang resmi. Namun demikian, sudah banyak yang beredar. Entah dari mana.

Mirip seperti ketika isu UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan akan direvisi. Ada banyak versi. Dan ketika protes meluas, pemerintah mengatakan jika revisi itu hoax.

Padahal jelas, di media mereka bilang bahwa UU 13/2003 harus direvisi. Sebabnya, beleid ini dianggap tidak ramah terhadap investasi. Kaku. Seperti kanebo kering.

Jangan-jangan ini pengulangan yang sama. Lempar wacana. Sambil melihat reaksi.

Jika penolakan dirasa tak seberapa, agenda jalan terus. Tetapi jika potensi perlawanan makin membesar, ditunda lagi. Susun ulang strategi.

Kembali ke harapan yang disampaikan banyak orang saat tahun berganti: “Semoga menjadi lebih baik.”

Dalam perspektif pekerja, jelas-jelas ini bukan perbaikan. Tapi kemunduran.

Dari beberapa pernyataan yang kita dengar, yang akan dilakukan adalah cenderung mengurangi apa yang saat ini sudah didapatkan.

Kata apa yang tepat untuk menyebut wacana penghilangan UMK/UMSK, pengurangan nilai pesangon, jam kerja yang makin fleksibel, hingga penghilangan sanksi pidana untuk pengusaha?

Negara harusnya melindungi hak rakyat. Dalam hal ini hak para pekerja. Apa yang sudah ada harusnya ditingkatkan. Kuantitas maupun kualitasnya. Bukan justru menghilangkan dan mengurangi apa yang sudah ada.

Terkait dengan upah minimum, misalnya, wacana penghapusan UMK/UMSK dan hanya menetapkan UMP adalah bencana. Sebagai contoh, tahun 2020 nanti UMK tertinggi di Provinsi Jawa Barat ada di Karawang; sebesar 4.594.324. Sedangkan besarnya UMP Jawa Barat adalah 1.810.351,36.

Jika UMK dihilangkan, pekerja di Karawang yang saat ini upah minimumnya adalah 4,5 juta; hanya akan mendapat 1,8 juta. Kebijakan seperti ini jelas bukan perbaikan, tetapi pengurangan.

Itu sih bukan pengurangan. Tetapi juga sebentuk “kejahatan”. Merampas hak pekerja dengan paksa.

Begitu juga dengan pesangon. Pengali tertinggi adalah 9 bulan untuk pekerja dengan masa kerja 8 tahun ke atas. Dan bisa dikalikan dua untuk PHK dengan alasan tertentu. Belum termasuk penghargaan masa kerja dan penggantian hak yang lain, yang jumlahnya mencapai 10 bulan upah.

Kemudian ada wacana, pekerja yang di PHK diberikan tunjangan PHK maksimal 6 bulan. Untuk itu, kita menafsirkan, pesangon yang bisa mencapai 38 bulan upah akan dihapuskan. Diganti dengan 6 bulan tunjangan PHK.

Apa kata yang layak untuk menyebut hal ini? Kejahatan!

Untuk itulah, ketika orang-orang mengatakan semoga tahun depan lebih baik lagi, kita hanya bisa terdiam. Membayangkan tahun-tahun yang muram.

Apa yang lebih baik? Kebaikan untuk siapa?

Di sela rintik hujan Jakarta, 6 Januari 2020.

Pos terkait