Menghidupkan Sejarah untuk Purwakarta yang Berwibawa

Menghidupkan Sejarah untuk Purwakarta yang Berwibawa

Purwakarta, KPonline – Bayangkan sebuah kota yang berdiri kokoh di tengah badai penjajahan, di mana para leluhur kita—Kanjeng Dalem Sholawat, Mama Sempur, dan Syekh Baing Yusuf—membangun fondasi keimanan, kebersamaan, dan kesejahteraan dengan tangan mereka sendiri. Purwakarta, sebuah nama yang lahir dari visi R.A.A. Suriawinata, atau Kanjeng Dalem Sholawat, yang berarti “awal kejayaan,” adalah bukti nyata bagaimana sejarah bisa menjadi cermin identitas dan perekat masa depan. Namun, di tengah gemerlap modernitas, pertanyaan muncul: apakah kita cukup menghargai sejarah mereka, ataukah sudah menghargai keturunan mereka dan bagaimana cara untuk menjaga warisan itu tetap hidup?

Sejarah bukan sekadar catatan di buku tua atau nama-nama yang terukir di batu nisan. Sejarah adalah napas yang menghidupkan jiwa sebuah bangsa. Kanjeng Dalem Sholawat, bupati visioner pada 1830, memindahkan ibu kota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih, menamainya Purwakarta, dan membangun Situ Buleud, Masjid Agung Baing Yusuf, hingga Situ Kamojing tanpa alat berat, hanya dengan semangat dan doa. Ia shalat istikharah sebelum setiap keputusan besar, menunjukkan kepemimpinan yang berpijak pada keimanan. Bahkan di bawah tekanan Belanda, ia tetap menjalin ikatan Purwakarta-Bogor hingga akhir hayatnya pada 1872.

Lalu, ada Mama Sempur, atau KH. Tubagus Ahmad Bakri, ulama besar dari Plered yang menimba ilmu hingga Mekkah. Pada 1911, ia mendirikan Pesantren As-Salafiyyah di Darangdang, mendidik ribuan santri yang menjadi pejuang kemerdekaan dan ulama, seperti KH. Abuya Dimyati. Karyanya, *Cempaka Dilaga*, mengajarkan welas asih dan kebaikan di tengah tekanan penjajah. Makamnya di Sempur kini menjadi destinasi wisata religi, namun berapa banyak dari kita yang benar-benar memahami perjuangannya?

Tak kalah penting, Syekh Baing Yusuf, saudara sepupu Kanjeng Dalem Sholawat, adalah pelita spiritual Purwakarta. Bersama Kanjeng Dalem, ia membangun Masjid Agung Baing Yusuf, simbol keimanan yang berdiri kokoh di tengah penjajahan. Makamnya masih diziarahi, namun namanya sering luput dari ingatan generasi muda. Padahal, ia adalah pahlawan yang menjaga api keimanan masyarakat agar tak pernah padam.

Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menyoroti skeptisisme generasi muda terhadap sejarah. Menurutnya, sejarah adalah fondasi identitas dan jembatan menuju masa depan. Dalam pertemuan dzurriyyat Kanjeng Dalem Sholawat, Mama Sempur, dan Syekh Baing Yusuf dengan Bupati Purwakarta, Om Zein, pada 26 Juni 2025 di Gedung Negara, Wahyu menegaskan, “Menghargai sejarah bukan sekadar nostalgia, tapi mewujudkan cita-cita leluhur: Purwakarta yang berwibawa, maju, sejahtera, dan bersatu.” Pertemuan ini, yang digagas aktivis budaya Aa Komara, menjadi bukti bahwa silaturahmi antar-keturunan leluhur adalah jembatan untuk melestarikan nilai sejarah.

Namun, tantangan nyata ada di depan mata. Data Kementerian Pendidikan menunjukkan hanya 35% siswa SMA di Jawa Barat memahami sejarah lokal. Sementara itu, menurut riset We Are Social, 78% orang Indonesia aktif di media sosial, namun konten sejarah lokal kalah populer dibandingkan hiburan. Urbanisasi dan globalisasi, sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Purwakarta yang mencapai 73,74, juga mengancam identitas budaya lokal.

Lalu, bagaimana cara menghidupkan sejarah? Pertama, jadikan sejarah relevan. Konten digital, wisata religi seperti makam Mama Sempur, atau kurikulum pendidikan lokal adalah cara untuk membawa sejarah ke generasi muda. Kedua, libatkan dzurriyyat sebagai penjaga warisan. Mereka bukan sekadar keturunan, tetapi duta sejarah yang hidup. Ketiga, pemerintah Purwakarta dan Bogor harus proaktif berkolaborasi, seperti mendukung Haul ke-153 Kanjeng Dalem Sholawat pada 13 Juli 2025 di Bogor, yang diharapkan dihadiri Om Zein dan Kang Dedi Mulyadi.

Bayangkan jika Kanjeng Dalem Sholawat melihat kita berfoto di taman Sri Baduga, namun lupa siapa yang membangun Situ Buleud. Atau Mama Sempur, yang mendidik pejuang di pesantren sederhana, menyaksikan kita mengejar popularitas di media sosial tanpa memahami welas asih. Syekh Baing Yusuf pasti bertanya, “Apa yang kalian perjuangkan untuk Purwakarta?” Sejarah bukan beban, melainkan pelita. Menghargai sejarah berarti menghidupkan nilai-nilai kebersamaan, keimanan, dan kesejahteraan yang mereka wariskan. Mari bersama wujudkan Purwakarta yang berwibawa, bukan hanya di masa lalu, tetapi juga di masa depan.