Menakar Efektifitas dan Suistainbilitas BPJS dalam situasi Pandemi

Bagian 1 : BPJS Kesehatan

Surabaya, KPonline – Mengantisipasi meluasnya penyebaran Pandemi Covid-19 di Indonesia, yang meningkat dan menghindari banyaknya jatuh korban. Pemerintah pun mengambil langkah penanganan yang tegas.

Bacaan Lainnya

Selain menggalakkan vaksinasi massal, terhitung mulai tanggal 3 Juli hingga 2 Agustus 2021, pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. PPKM Darurat itu diberlakukan secara serentak di wilayah Jawa Bali dan beberapa wilayah lain.

Dalam kondisi Pandemi, selain gangguan kesehatan, masyarakat juga dihadapkan pada resiko penurunan kesejahteraan bahkan ancaman kematian.

Beruntungnya Jaminan Sosial telah hadir di Indonesia. Adanya resiko kesehatan hingga kematian, sudah termasuk dalam pertanggungan program Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jaminan Sosial sebagai jaring pengaman sosial adalah benteng terakhir masyarakat dalam mempertahankan derajat kesejahteraannya.

Bagaimana peran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan di situasi pandemi? Seberapa kuatkah efektifitas dan suistainbilitas BPJS dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat? Inilah pengamatan Jamkeswatch.

1. BPJS Kesehatan

Peran BPJS Kesehatan, selaku penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam situasi Pandemi, bisa dikatakan agak membingungkan atau sedikit rancu.

Semenjak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/104/2020, yang menetapkan Infeksi Novel Corona Virus sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah (Pandemi), maka Covid-19 telah dinyatakan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).

Oleh karena termasuk KKMMD, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2016, maka Pasien penyakit infeksi emerging tertentu sebagaimana telah ditetapkan Menteri, diberikan pembebasan biaya. Pembebasan biaya ini mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita, serta tindakan karantina dengan menggunakan pembiayaan melalui Kementerian Kesehatan.

Namun apabila berkaca pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4718/2021 tentang Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan PASIEN Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Bagi Rumah Sakit Penyelenggara Pelayanan Covid-19.

Serta memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan nomor 10 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), maka peran BPJS Kesehatan dalam situasi Pandemi adalah sebagai berikut :

1. BPJS Kesehatan melakukan tata kelola administrasi, verifikasi, koordinasi terhadap klaim pelayanan Covid-19 dan melaporkan hasilnya ke Kementerian Kesehatan.

Perlu dicatat, dalam pelayanan kesehatan pandemi di lapangan. Apabila pasien dengan kondisi komorbid (penyakit penyerta) atau mengalami komplikasi akibat Covid dan membutuhkan perawatan lanjutan, kemudian pasien tersebut adalah peserta JKN aktif, maka pembiayaan perawatan lanjutannya menjadi tanggungan BPJS Kesehatan (berdasarkan Diktum Kedua Juknis).

Khusus pasien dengan Co-insidens (semisal kecelakaan lalu lintas) maka dilakukan sharing pembiayaan dengan penjamin lain (bisa JKN, Jasa Raharja, BPJS Ketenagakerjaan dll) bersamaan dengan biaya jaminan pelayanan untuk COVID-19 dari Kemenkes (Jasa Pelayanan, ruang isolasi, APD dan obat).

Adapun Besaran tarif INA-CBG untuk pelayanan RAWAT INAP pasien Covid-19 menggunakan tarif INA-CBG rumah sakit kelas A regional 1. Untuk pelayanan RAWAT INAP mengikuti ketentuan tarif per hari (Cost per Day).

Sedangkan metode Klaim penggantian biaya pelayanan pasien COVID-19 dapat melalui aplikasi E-Klaim milik Kementerian Kesehatan yang terhubung dengan Aplikasi V-Klaim milik BPJS Kesehatan.

2. BPJS Kesehatan menanggung klaim biaya pengobatan dan perawatan peserta JKN aktif, yang mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi/Vaksin (KIPI) sebagaimana pasal 36 dan pasal 43 ayat 4 Permenkes 19/2021. Adapun pelayanan kesehatan dilakukan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan serta diberikan fasilitas setara kelas III (Tiga).

Dalam ketentuannya, klaim biaya RS ke BPJS Kesehatan, hanya dapat diberikan apabila sudah diterbitkannya surat keterangan dari Komite Daerah/Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KomDa/KomNas KIPI) bagi si pasien.

Hingga tulisan ini dibuat, belum ada satupun rilis atau indikator nasional tentang berapa jumlah penerima vaksin yang merasakan gejala KIPI serta dampaknya bagi kesehatan si penerima. Padahal tidak menutup kemungkinan pasca vaksin, masyarakat mengalami gangguan kesehatan atau bahkan mungkin meninggal dunia.

Realitasnya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan pasca imunisasi/vaksin, akan berusaha mengobati sendiri (beli obat di apotek/ke dokter praktek pribadi) atau pergi ke faskesnya untuk meminta pelayanan kesehatan, yang tentunya menggunakan fasilitas kartu JKN.

RESUME

Pasien dengan kondisi komorbid, komplikasi dan Co-insidens memang membutuhkan kejelasan penjaminan, agar tidak terjadi tumpang tindih penanganan dan pembiayaan.

Penggantian biaya pelayanan pasien Covid-19 dikategorikan dari periode perawatan. Pertama sejak tanggal 28 Januari 2020 sampai dengan 14 Agustus 2020. Kedua sejak tanggal 15 Agustus 2020 sampai dengan 19 April 2021 dan Ketiga sejak tanggal 20 April 2021.

Pembebanan biaya pasien Covid-19 pada peserta JKN aktif yang disertai komorbid atau komplikasi ke BPJS Kesehatan, terasa agak janggal. Sebab bagi mereka yang tidak memiliki/tidak aktif kartu JKN nya, ditanggung sepenuhnya oleh Kemenkes. Dalam hal ini, kemungkinan terjadinya dispute klaim dan malprosedur cukup besar.

Masyarakat juga rawan dirugikan, karena dapat kehilangan hak serta terbebani pembiayaan pribadi (out of pocket). Terlebih pada peserta JKN, yaitu jika muncul denda pelayanan sebesar 5%, ketika peralihan ke penjaminan JKN, yang disaat yang sama peserta JKN memiliki tunggakan premi akibat tidak mampu membayar iuran karena kesulitan ekonomi.

Khusus penanganan KIPI, petunjuk teknis Menkes masih menyisakan beberapa hal yang belum diatur secara detail. Salah satunya adalah mekanisme rekomendasi dari Komite Daerah/Nasional KIPI dan posisi penjaminan oleh BPJS Kesehatan. Masa bakti Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI juga telah berakhir pada 21 Juni 2021 lalu.

Di Surabaya, baru RSUD Soetomo yang diinfokan telah melaporkan adanya KIPI. Di beberapa daerah malah KIPI belum ada pelaporan alias nihil. Apakah karena masyarakat kurang teredukasi dengan baik soal KIPI ataukah memang belum termitigasi, penulis belum mendapatkan penjelasan.

Dari uraian diatas, dampaknya jelas. Kemungkinan terjadinya kesimpangsiuran perawatan pasien di era Pandemi sangat besar, efektifitas vaksinasi dan probabilitas efek sampingnya bagi kesehatan masyarakat tidak terukur dengan akurat dan patut dipertanyakan. Dilain sisi pembebanan klaim bisa menyebabkan bleeding/defisit BPJS Kesehatan semakin membesar, ujungnya suistainbilitas Jaminan Sosial dipertaruhkan.

Sesuai UU BPJS dan Perpres Jaminan Kesehatan, Pandemi tidaklah termasuk dalam penjaminan dan pertanggungan program JKN. Dana Jaminan Sosial sendiri adalah dana dari, oleh dan dipergunakan seluas luasnya untuk kepentingan peserta, bukan untuk hal lain. Undang-undang tentang wabah dan karantina kesehatan mengamanatkan Pemerintah, melalui dana khusus Kemenkes untuk memberikan penjaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang terpapar Pandemi.

Penulis tidak bermaksud menghakimi pihak tertentu atau mencari pembenaran pribadi. Sebab ditengah Pandemi ini tidak hanya dibutuhkan kekompakan, gotong royong dan kemandirian, namun juga kejernihan berpikir dan mendudukkan segala sesuatu pada porsinya.

Jamkeswatch mendukung penuh usaha pemerintah menangani Pandemi agar segera berakhir. Namun juga menjaga kesinambungan program BPJS tetap berjalan sesuai koridor dan cita-cita pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Disampaikan oleh :
Ipang Sugiasmoro
Jamkeswatch Jawa Timur

Pos terkait