Melawan PHK : Catatan Awal Pasca PHK Terhadap Ketua Umum FSP FARKES Ref – KSPI

Buruh menyuarakan isu darurat PHK dalam Hari Kerja Layak Internasional, Sabtu (7/10/2017).

Jakarta, KPonline – Bagi buruh, PHK adalah persoalan yang tidak pernah sederhana. Baginya, pekerjaan adalah urat nadi kehidupan. Ketika PHK terjadi, menjadi ancaman bagi kehidupan itu sendiri.

Itulah sebabnya perlawanan terhadap PHK merupakan perlawanan yang paripurna. Ia seperti babak play off dalam sebuah liga. Pilihannya hidup-mati.

Apabila menang akan bekerja kembali dan melanjutkan jejak langkah perjuangan sebagai pekerja. Jika kalah? Ya, berhenti sampai di sini.
Bahkan pesangon sekalipun adalah kekalahan. Namanya serikat pekerja, perjuangan yang utama adalah memastikan agar tetap bekerja.

Tetapi lihatlah, PHK terjadi dimana-mana. Tahun 2017, misalnya, KSPI mengkritisi maraknya PHK di sektor ritel, farmasi, garmen, perhotelan, keramik, dan pertambangan. Sebelumnya PHK besar-besar terjadi di sektor elektronik, automotif, dan tekstil.

Buruh menolak PHK

Serikat pekerja bersuara lebih keras setiap kali marak terjadi PHK. Menuntut Pemerintah melakukan upaya yang serius penuh kesungguhan untuk mencegah terjadinya PHK. Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatakan, “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.”

KSPI berkesimpulan, upaya yang sungguh-sungguh itu nyaris tidak terlihat hasilnya. PHK masih saja mudah terjadi.

Bahkan ada kesan, jika PHK menjadi tujuan. Banyak kasus PHK yang terbengkalai tanpa kepastian.

Sebut saja kasus Freeport, Smelting, Panarub, AMT Pertamina, dan lain sebagainya. Tak kurang-kurang buruh berjuang. Tetapi nampaknya Pemerintah memilih lepas tangan dengan membiarkan buruh dan pemilik modal bertarung bebas di jalanan.

Perjuangan Menolak PHK Terus Dilakukan…

Beberapa waktu lalu, Koalisi Tolak PHK menuntut agar penyelesaian PHK tidak berlarut-larut.

Melihat semakin banyaknya kasus PHK terhadap buruh dan buruknya kinerja Pemerintah (Kemenaker dan Disnaker) dalam menangani kasus perburuhan, maka serikat-serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam KOALISI TOLAK PHK melakukan aksi massa (demonstrasi) dengan tuntutan:

(1) Keluarkan Permenaker Tentang Upah Proses, (2) Cabut Surat Edaran No B.20/ppk/I/Dirjen Pengawasan/2014, (3) Tentang Nota Pengawasan yang dirahasiakan. Keluarkan aturan Nota Pengawasan yang dapat diakses oleh buruh, (4) Tingkatkan kinerja Pengawasan, libatkan serikat buruh dalam setiap Pengawasan Ketenagakerjaan, dan (5) Mempercepat penyelesaian kasus Ketenagakerjaan.

Dua srikandi FSPMI dari DMC dan Ohsung, yang hingga saat ini masih berjuang melawan PHK.

Saat mengikuti Rakernas SPEE FSPMI di Jepara bulan April 2018, saya bertemu dengan dua perempuan tanggung dari DMC dan Ohsung. Bersama teman-temannya, ia di PHK dan masih berjuang hingga sekarang.

Di banyak daerah, tenda-tenda perjuangan didirikan. Salah satunya di Batam, perlawanan yang dilakukan buruh Tai Cheng.
Saya rasa, sedikit contoh di atas membuktikan keteguhan serikat dalam memperjuangkan hak anggotanya. Jika kemudian ada pertanyaan, mengapa lama sekali? Pada titik itu kita harus melihat sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia yang belum memberikan rasa keadilan bagi buruh.

Meskipun ada pasal yang mengatakan selama proses perselisihan PHK upah dan hak-hak lain harus tetap dibayar, nyatanya itu hanya puisi di atas kertas.

Belum lagi jika kita melihat nasib buruh Freeport, yang hingga kini sudah beberapa orang meninggal dunia akibat tidak lagi memiliki jaminan kesehatan. Padahal, dalam undang-undangnya, 6 bulan pasca PHK buruh masih berhak mendapatkan jaminan kesehatan. PHK sendiri baru sah ketika ada putusan tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial — tetapi aktualnya tidak begitu.

 

Ketua Umum FSP Farkes Ref, Idris Idham

Bicara mengenai PHK, kabar dari Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP Farkes Ref), bung Idris Idham pada hari Senin kemarin (21/5/2018) mengejutkan saya.

Anda bisa bayangkan, seorang Ketua Umum serikat pekerja yang cukup bergengsi di sektor farmasi dan kesehatan bisa begitu mudahnya di PHK. Bagaimana dengan buruh-buruh yang tidak dilindungi oleh serikat?

Saya tidak mengatakan karena bung Idris menjadi orang nomor satu di FSP Farkes Ref sekaligus salah satu pengurus Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (DEN KSPI) sehingga harus dispesialisasikan. Sama sekali bukan. Ini menjadi contoh, betapa mudahnya PHK bisa dilakukan.

Apa peran pihak-pihak terkait dalam situasi seperti ini? Apakah, seperti yang sudah-sudah, berlepas tangan dalam persoalan? Atau justru membantu agar PHK semakin mudah dilakukan?

Perjuangan melawan PHK membutuhkan perhatian yang serius dari kita semua. Dan karena itu terjadi pada seorang Ketua Umum, saya rasa ini akan menjadi pemantik api untuk menyuarakan lebih keras lagi perjuangan tolak PHK.

Catatan Ketenagakerjaan: 6 Ramadhan 1439 H