Lebaran, Liburan, dan Miniatur Perjuangan

Jakarta, KPonline – Lebaran. Hari kemenangan. Wajah-wajah cerah. Merekah sepenuh cinta.

Ini adalah hari yang mewah.

Di beranda media sosial, hari ini saya melihat banyak kawan merayakan lebaran — yang bagi pekerja berarti liburan. Momen-momen seperti ini adalah momen yang istimewa. Seandainya pabrik memperbanyak hari libur, bukab lembur, barangkali keceriaan kaum buruh akan terlihat setiap saat.

Untuk bisa seperti ini, tentu saja, para pekerja itu harus melewati perjuangan yang berat. Bahkan tak jarang bertaruh nyawa di sepanjang jalan.

Tentang perjalanan ini — mudik — tak sulit untuk mengetahui kabar beritanya. Setiap tahun ada saja yang menjadi korban atas ritual bernama mudik ini.

Trend media sosial saat ini, ada banyak yang publikasikan perjalanan, mengabarkan sudah sampai di kampung halaman, ada juga yang menyampaikan tidak kemana-mana. Menikmati sepinya Jakarta ketika ditinggal “pergi” penghuninya.

Apapun itu, baik yang tinggal atau berangkat, mereka membahas masalah yang sama: mudik.

Sebagai perantau, tentu saja, saya bisa merasakan seperti apa sensasinya mudik.

Saya bisa menangkap getar kerinduan pada kampung halaman. Tatapan sendu ibu, pelukan hangat kerabat, lengkap dengan segala nostalgia yang tersimpan di sana: titik nol kelahiran kita.

Di tahun pertama bekerja di Serang, Banten, kereta api adalah alternatif pertama yang saya cari ketika hendak mudik.

Dulu, saat lebaran kereta api adalah transportasi paling tidak manusiasi yang paling banyak dicari. Karena murah. Sepanjang malam berdiri, toilet penuh sesak dengan orang. Maka kita harus menahan untuk buang air kecil hingga stasiun akhir

Saat itu, kita musti antri untuk mendapatkan tiket ketika hendak menggunakan moda transportasi ini. Bahkan harus menginap di stasiun demi untuk mendapatkan tiket, masuk dalam antian panjang.

Itu pun belum tentu dapet. Jika sedang apes, tiket dinyatakan habis tepat saat berdiri di depan loket.

Meskipun di loket resmi habis, jika mau sedikit kreatif, kita bisa mendapatkan dari tangan ketiga: calo. Dengan harga yang lebih mahal, tentu saja.

Tetapi perjuangan panjang untuk mendapatkan tiket sebenarnya adalah awal dari penderitaan selanjutnya. Karena di dalam kereta api ekonomi itu sendiri adalah penyiksaan yang sebenarnya. Orang berdesak, bahkan harus berdiri karena semua tempat duduk sudah terisi.

Saya sudah merasakan berada di kereta yang penuh sesak. Dari stasiun Pasar Senen di Jakarta hingga Blitar, berdiri.

Jangan ditanya bagaimana rasanya berdiri kurang lebih 24 jam dalam kereta yang penuh sesak, ditambah wira-wiri pedagang yang tak pernah berhenti. Sudah begitu, tak bisa diprediksi pada pukul berapa akan sampai.

Disamping kereta, motor menjadi pilihan banyak orang untuk mudik. Meskipun, bagi saya, ini jelas bukanlah transportasi primadona. Ke Jakarta saja nyasar, apalagi ke Jawa.

Maka, bagi kaum buruh, lebaran tetap saja menjadi miniatur perjuangan. Perjalanan mudik, adalah gambaran dari perjuangan. Dan silaturahmi di kampung halaman adalah cerminan solidaritas tanpa batas.

Meskipun harus diakui, pasca lebaran, saat arus balik kondisinya kembang-kempis. THR sudah habis. Tak jarang, mereka balik ke tempat kerja dengan membawa modal awal. Beras, sayur-sayuran, bahkan sejumlah uang dari kampung halaman.

Dan hidup akan terus berlanjut dengan gaya seperti ini. Gotong royong.

Selama iedul fitri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *