Kondisi Perburuhan di Sumatera Utara

Jakarta, KPonline – Sumatera Utara adalah provinsi yang dipimpin oleh Gubernur bernama Tengku Erry Nuriadi, yang juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai Nasdem provinsi Sumatera Utara. Provinsi ini terdiri dari 33 Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sekitar 13.215.401 (BPS, 2012). Hal ini disampaikan Ketua DPW FSPMI Sumatera Utara dalam laporannya di Rapat Pimpinan FSPMI Tahun 2017 awal Februari lalu.

Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2015 sebesar 6.39 juta orang, sedangkan jumlah penduduk Sumatera Utara yang bekerja sebesar 5.96 juta dan jumlah pengangguran terbuka 429 ribu orang. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan sebesar 2.19 juta orang (36,81%). (data sensus BPS rilis 05-11-2015, sumut.bps.go.id) .

Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara, Bukit Tambunan, hanya ada sekitar 25% serikat pekerja/serikat buruh yang terbentuk di perusahaan dari 11ribuan jumlah perusahaan yang ada di Sumatera Utara. Di Sumatera Utara industri manufaktur dan jasa banyak terdapat di Kota Medan dan Deli Serdang, sedangkan di daerah lainnya banyak terdapat industri perkebunan Kelapa Sawit dan Karet milik perusahaan negara (PTP) maupun swasta (koorporasi) dan rakyat (kecil).

Pada akhir tahun 2015, Presiden Jokowi juga telah mencanangkan kawasan Sei Mangkei dan Pelabuhan Kuala Tanjung yang dekat dengan Selat Malaka di Kabupaten Batubara menjadi salah satu zona Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia yang berada di provinsi Sumatera Utara. Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei dan Pelabuhan Kuala Tanjung ini akan menjadi pusat industri terbesar di provinsi Sumatera Utara yang akan diisi oleh ratusan bahkan ribuan perusahaan dan juga akan menyerap ratusan ribu tenaga kerja, ditargetkan akan beroperasi pada akhir tahun 2018.

Berdasarkan pengalaman pengorganisasian dan advokasi, persoalan Ketenagakerjaan yang marak terjadi di provinsi Sumatera Utara adalah persoalan-persoalan hak-hak normative yang tidak terpenuhi, meliputi : kebebasan berserikat, pembayaran upah lebih rendah dari ketentuan, penempatan buruh PKWT dan buruh outsourcing yang menyalahi aturan, PHK semena-mena K3 minim, THR, cuti-cuti dll. Hal ini terjadi akibat lemahnya perlindungan dan pengawasan dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.

Bahkan di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Padang Lawas yang sangat jauh dari kota Medan sebagai ibukota provinsi, ditemukan personil Pengawas Ketenagakerjaan tidak ada sedangkan Mediator PHInya hanya 1 orang yang harus bekerja membina dan mengawasi puluhan bahkan ratusan perusahaan didaerahnya. Dan kemungkinan, hal serupa juga ada terjadi dibeberapa kabupaten/kota lainnya yang letaknya jauh dari kota Medan.

Sedangkan gerakan serikat pekerja/serikat buruh yang ada di provinsi Sumatera Utara masih terkotak-kotak, terpecah dan cenderung tidak solid. Hal ini disebabkan ego organisasi maupun elit serikat yang lebih mengedepankan eksistensinya. Sehingga terkadang hal tersebut dimanfaatkan oleh penguasa dan pengusaha untuk “melegalkan” kebijakannya yang merugikan pekerja/buruh sendiri.

Terbaru, Ketua DPD K-SPSI Sumatera Utara bersama Ketua Apindo Sumatera Utara membuat statemen bersama di media tentang akan menggugat kenaikan UMK Medan tahun 2017 yang naik 11,34% dan menghimbau agar perusahaan-perusahaan membayar kenaikan upah pekerja/buruhnya sebesar 8,25% sesuai aturan PP 78.