Ketika Mural Dianggap Kriminal dan Omnibus Law Bukanlah Sebuah Jawaban

Bekasi, KPonline – Banyak berita terkait PHK tak pernah berhenti pasca lahirnya undang-undang No.11 tahun 2020 (Omnibus Law). Ya, Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang digelontorkan dengan cita-cita ingin mengurangi pengangguran kenyataannya justru berbanding terbalik, puluhan bahkan ratusan ribu buruh menjadi pengangguran baru karena ter-PHK dari pekerjaannya.

Banyak buruh di PHK berkedok efisiensi, bahkan lebih sering basa-basi hanya alasan untuk mengurangi ongkos produksi. Lagi-lagi buruh menjadi korban karena pengusaha menginginkan biaya produksi murah walaupun buruh harus memeras keringat bahkan darah, sementara ada anak dan istri menunggu di rumah.

Bacaan Lainnya

Buruh ingin terus bekerja, sementara pengusaha maunya laba. Buruh adalah manusia, tapi pengusaha menganggap sekedar butuh tenaga.

Kerja adalah hak konstitusional setiap warga negara Indonesia tetapi negara justru menutup mata, kecuali diajak main oleh pengusaha.

Sekedar ‘mural’ saja di jembatan-jembatan, tembok-tembak menjadi viral lantaran dihapus dan dianggap kriminal hanya karena sudut pandang yang berbeda. Padahal mural adalah seni.

Berbeda dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini sudah sampai Gedung Mahkamah Konstitusi justru tak ada yang peduli, apalagi niat menghapusnya. Omnibus Law bukanlah jawaban yang dibutuhkan rakyat.

Omnibus Law sudah nyata menyengsarakan buruh dan rakyat Indonesia dengan banyaknya buruh yang ter-PHK. Tak satupun pejabat di negeri ini yang punya niat menghapuskan dan mencabutnya.

Para pejabat negeri ini malah lebih perhatian terhadap mural ini, mural itu, mural anu dan mural entahlah, padahal tidak ada pengaruh sedikitpun untuk kehidupan rakyat. ( Yanto)

Pos terkait