Ketika Buruh Tak Bisa Mudik Lebaran

Ketika Buruh Tak Bisa Mudik Lebaran

Jakarta, KPonline – Setiap kali musim mudik tiba, jutaan buruh di kota-kota besar menyimpan satu harapan sederhana: pulang. Tapi Lebaran 2025 ini, harapan itu berubah menjadi luka yang sunyi. Bukan karena mereka tak ingin pulang, tapi karena keadaan memaksa mereka untuk tetap tinggal—terperangkap di kota, dihimpit ongkos hidup yang makin tinggi, dan dihantam kebijakan negara yang tak berpihak. Di balik penurunan jumlah pemudik yang saat ini ramai diberitakan media, tersimpan cerita pilu tentang buruh yang kehilangan haknya untuk merayakan kebahagiaan paling dasar: bertemu keluarga.

Saya memandang bahwa penurunan jumlah pemudik tahun 2025, bukan hanya soal melemahnya daya beli. Di balik data itu, saya melihat rasa kehilangan yang dalam di kalangan buruh—kehilangan kesempatan untuk pulang, berpelukan dengan keluarga, dan merasakan hangatnya kampung halaman.

Bagi banyak buruh, Lebaran bukan sekadar libur nasional. Ia adalah satu-satunya waktu dalam setahun untuk menukar lelah menjadi tawa, untuk mengganti lembur dan upah pas-pasan dengan kebahagiaan yang tak ternilai: mudik. Tapi tahun ini, banyak buruh harus menahan rindu. Uang untuk tiket, oleh-oleh, dan biaya logistik mudik tak lagi cukup.

Penurunan penerimaan PPN dan konsumsi rumah tangga, memperjelas krisis ini. Bukan semata karena ekonomi melambat, tapi karena pemerintah justru memilih efisiensi anggaran di tengah penderitaan rakyat.

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 memperkecil dana transfer ke daerah, mempersempit peredaran uang di desa-desa. Buruh di kota tak bisa mudik, UMKM di kampung tak bisa bertahan. Rantai ekonomi terputus, dan yang paling terdampak adalah rakyat kecil.

Yang lebih menyakitkan dari tidak bisa pulang adalah perasaan tidak dianggap, seolah negara hanya menjadikan buruh sebagai mesin ekonomi. Rasa bersalah kepada anak dan orang tua di kampung halaman menjadi beban batin yang tak tercatat dalam statistik.

Saya percaya, ekonomi tak boleh dipisahkan dari kemanusiaan. Pemulihan ekonomi harus dimulai dengan menguatkan daya beli rakyat, bukan memangkas anggaran sosial. Negara seharusnya hadir untuk memberi kepastian kerja, harga yang stabil, dan kehidupan yang layak—termasuk memberi ruang bagi buruh untuk pulang.

Lebaran seharusnya menjadi hari bahagia. Tapi bagi banyak buruh, tahun ini, ia hanya menjadi pengingat betapa jauhnya rumah… dan betapa jauhnya harapan.