Kebijakan Diskon Upah 25% Ibu Menaker Ida Fauziah, Patut Dicabut

Panggil saja ia Tini, seorang buruh pabrik yang memproduksi baju ragam merk berorientasi ekspor di sebuah perusahaan di KBN Cakung. Belakangan, kepalanya pusing dengan serbuan pesan dari anggota yang menanyakan tentang briefing pagi hari tadi tentang upah yang akan disesuaikan, alias di-diskon. Tini memaklumi keresahan anggotanya yang membanjir melalui pesan di grup WA hingga japri. Sebentar saja Hp nya off karena habis batre maka suasana makin riuh karena keresahan mereka tak kunjung terjawab.

“Saya tahu siapa provokator anda! Siapa yang mau bekerja dengan upah segitu silahkan ikut mandor dan pengawas. Siapa yang tidak mau diupah sesuai kebijakan perusahaan, silahkan pulang” Penggalan suara sosok pria bertubuh tambun dalam video yang beredar di grup WA seharian membuat riuh keresahan anggota di grup WA.

Pasalnya, dalam video tersebut hampir seluruh buruh di pabrik Surabaya yang kabarnya memproduksi sepatu Ardiles, kompak memilih pulang. Kabarnya pula, berdasarkan keterangan sumber media sosial organisasi, buruh di video itu menolak upah diturunkan sebesar Rp 105,000.

“Pantas saja buruh marah dan memilih pulang” ucap Tini dalam benaknya. Namun, tidak semua realita sama, sesama pengurus serikat pekerja lain di satu perusahaan tempat ia bekerja memilih tanda tangan. Pun, banyak buruh temannya bekerja memilih pasrah. Padahal, hampir tiap saat mereka mengeluh tentang target yang tidak masuk akal, pungutan liar yang tak kunjung berhenti ataupun menjeda, demikian halnya dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Sehingga, jadi nggak masuk akal bagi mayoritas buruh bila upah justru diturunkan.

Mungkin, pemerintah punya perspektif berbeda.

Mereka bilang, dunia sedang krisis global sehingga buruh layak dikurangi upahnya. Lalu, ditengah kerja target yang kian menggila, Tini pun bertanya – tanya. kalau buruh boleh diturunkan upahnya, mengapa para penguasa dan pejabat tidak diturunkan upahnya? Mengapa harus buruh yang dikorbankan upahnya, sementara pejabat bisa korup tanpa mengalami penurunan upah atau pemiskinan.

“Memangnya kita ini tinggal dimana sih?” Ucap Tini pada temannya “Ya, begitulah” ucap temannya sambil berjalan menuju bundaran belakang KBN Cakung untuk membagi selebaran.

Selebaran itu berisi ajakan aksi mengepung Gedung Kementerian Tenaga Kerja, Selasa, 23 Mei 2023, jam 13:00 WIB sampai kebijakan diskon upah buruh 25% atau Permenaker No. 5/2023 dicabut. Berdasarkan informasi dari Serikat Pekerja tempatnya bernaung, berbagai SP/SB akan terlibat bersama dalam aksi protes tersebut. Mendengar rencana aksi protes ini, Tini dengan segenap keyakinannya mengajak buruh terlibat aksi protes. Tentu saja ia harus terus menerus berpacu dengan rasa takut buruh yang juga tiada henti ditakut – takuti pengusaha lewat pengawas dan chief.

Cara menakutinya pun sebenarnya klise, upah diturunkan itu wajar karena krisis global, supaya nggak bangkrut upah harus diturunkan. Pasalnya, target tidak pernah berkurang, lembur juga tiada henti, yang menunjukkan kebalikan dari apa yang disampaikan para bos. Tidak ada tanda – tanda kebangkrutan. Pun, pengusaha tidak pernah mau menunjukkan bukti kerugian melalui laporan keuangan perusahaan selama dua tahun terakhir.

Sayangnya, kebijakan diskon upah 25% tersebut tidak memberikan syarat bagi perusahaan untuk mengajukan pengurangan upah 25%. Tini pun mulai bertanya – tanya, karena bila buruh memprotes pelanggaran hak, selalu dibebankan pembuktian. Misal, lembur tidak dibayar, sangat sulit dibuktikan karena buruh diminta menandatangani absen pulang kerja sesuai jam pulang kerja. Padahal sih, sebenarnya mereka pulang lebih larut dari jam pulang sesungguhnya.

“Rasanya seperti anak tiri ya?” Desah Tini dalam hati.

Sementara, waktu sudah menjelang sore, aksi membagi selebaran pra kondisi aksi protes sedang menuju akhir. Esoknya, ia dan teman – temannya memilih bolos kerja sehari saja, demi mempertahankan hak dan tentu saja harga diri. Iya, benar. Harga diri. Apa yang tersisa dari keringat buruh yang sudah diperas sampai kering, selain harga diri?

***

Pagi itu, Jakarta sudah terik. Matari menyengat bumi tanpa malu – malu mengiringi barisan kaum buruh dari ragam Serikat Pekerja memenuhi halaman gedung Kementerian Tenaga Kerja. Berbagai spanduk terbentang dengan ragam kreatifitas mempertontonkan kemarahan kaum buruh. Selain orasi dari anggota dan pengurus serikat, teatrikal tentang upah murah dan praktek Staycation sebagai syarat memperpanjang kontrak kerja. Pasalnya, kekerasan ekonomi membuat posisi buruh perempuan makin rentan dan berpotensi menjadi korban kekerasan seksual di dunia kerja.

Situasi kian memanas dengan yel yel dan kemarahan kaum buruh lewat orasi yang secara bergantian disampaikan pengurus dan anggota SP. Akibatnya, kericuhan tak terhindarkan dan terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dan massa aksi. Jarum jam menunjukkan pukul 16:30 WIB saat aparat kepolisian memukul mundur dan membubarkan massa aksi.

Pengalaman aksi demonstrasi berujung ricuh adalah pengalaman baru Tini sebagai Ketua Serikat Pekerja, terlebih bagi anggotanya yang terhitung masih seumur jagung dalam berserikat. Segera setelah aksi demonstrasi dibubarkan, Tini dan beberapa pengurus lainnya menyisir dan mendata anggota. Dalam benaknya, kemarahan bercampur risau. Marah karena Ibu Menaker mengabaikan kaum buruh, risau karena esok hari saat bekerja ia dan teman – temannya masih harus bertarung melawan intimidasi para bos. Begitulah, tempat kerja adalah medan pertempuran antara bos dan pekerja, yang satu mempertahankan kekayaannya, satu pihak lain hendak mempertahankan hak agar tidak dirampas. Dari tarik menarik kepentingan yang susah terdamaikan ini, anda dimana Ibu Ida Fauziah?