Jurus Serikat Pekerja Wujudkan Misi Kenaikan Upah 2026: Dari Orasi JCC hingga Ancaman Mogok Nasional

Jurus Serikat Pekerja Wujudkan Misi Kenaikan Upah 2026: Dari Orasi JCC hingga Ancaman Mogok Nasional

Jakarta, KPonline – Jutaan buruh dari berbagai federasi kini bersatu. Mulai dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), SPN yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) hingga Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Pimpinan Andi Gani Nena Wea (KSPSI-AGN) mengonsolidasikan tuntutan mereka untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 pada kisaran 8,5 hingga 10,5 persen, sembari menuntut penghapusan outsourcing dan pengesahan RUU Ketenagakerjaan versi buruh. Dan langkah-langkah yang dilakukan serikat kini tidak sekadar orasi. Melainkan, ada strategi bertingkat yang meliputi lobi politik, unjuk rasa terencana, dan ancaman mogok kerja serempak (nasional) jika tuntutan tak direspons.

Dalam beberapa pekan terakhir serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB) memadukan tiga jurus utama.

Pertama, konsolidasi massa, yakni pertemuan dan aksi di ruang publik maupun indoor untuk merangkul sejumlah besar buruh, seperti konsolidasi di Jakarta Convention Center (JCC) yang dihadiri ribuan peserta dari Jabodetabek dan daerah industri beberapa waktu lalu (30/10). Aksi indoor ini dipilih sebagai langkah taktikal setelah mempertimbangkan situasi keamanan dan efektivitas penyampaian pesan.

Kedua, lobi politik. Para pimpinan serikat melakukan pertemuan dan komunikasi kepada pejabat terkait untuk mendorong pembahasan kenaikan UMP dan pengesahan RUU Ketenagakerjaan. KSPI dan Partai Buruh menyatakan menempuh jalur parlemen dan eksekutif sebelum menempuh langkah drastis.

Ketiga, tekanan eskalatif yakni jika dialog dan lobi tidak membuahkan hasil, serikat menyiapkan opsi aksi lanjutan, termasuk demonstrasi berkelanjutan di daerah, konsolidasi besar-besaran di Jakarta, dan ancaman mogok nasional yang, menurut pernyataan pimpinan, bisa melibatkan jutaan pekerja. Pernyataan ancaman mogok ini dimaksudkan memberi sinyal kuat kepada pemerintah dan pengusaha bahwa tuntutan upah bukan sekadar retorika.

Kemudian, angka tuntutan 8,5-10,5% tidak dipilih secara acak. Serikat mengklaim angka tersebut mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, kebutuhan hidup layak pekerja, dan keputusan-keputusan peradilan/putusan yang relevan. Mereka menegaskan kenaikan UMP harus mencerminkan realitas kenaikan biaya hidup dan produktivitas agar daya beli pekerja tidak tergerus. Permintaan ini juga diposisikan sebagai upaya menghentikan tren “upah murah” yang berdampak pada kesejahteraan keluarga pekerja.

Karena itu, ancaman mogok dan unjuk rasa berskala nasional membawa implikasi ekonomi dan sosial, dimana potensi terjadi gangguan rantai pasok, produksi di pabrik-pabrik, dan layanan publik di daerah-daerah industri tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Pemerintah harus menimbang dampak aksi tersebut, dibalik serikat pekerja yang selalu menekankan kepada publik bahwa upah layak justru mendorong konsumsi domestik dan stabilitas sosial. Disisi lain, beberapa analis menilai dialog tripartit antara pemerintah, serikat pekerja dan pengusaha adalah jalan paling rasional untuk mencapai kompromi yang adil.

Kini, modernisasi taktik gerakan buruh terlihat. Mulai dari kombinasi aksi tradisional dan taktik baru. Orasi terstruktur di gedung-gedung besar, kampanye media, koordinasi serentak antar-daerah, dan kesiapan mogok terencana.

Pilihan menggelar konsolidasi di Jakarta Convention Center (JCC) meski menimbulkan pertanyaan banyak publik soal biaya, namun terjawab; efisiensi logistik dan keamanan serta kemampuan menyampaikan pesan terfokus kepada media dan pembuat kebijakan. Langkah ini menunjukkan serikat semakin profesional dalam merancang narasi dan manajemen massa.

KSPI dan beberapa federasi lain menyatakan akan menempuh mogok nasional bila tuntutan tidak dipenuhi. Klaim tentang jumlah peserta yang dapat dilibatkan (jutaan buruh) menjadi alat tawar yang kuat. Namun pelaksanaannya memerlukan koordinasi sangat rumit, seperti pengumuman formal, jadwal, cakupan sektor, dan skema mitigasi dampak bagi pekerja yang kehilangan upah hari itu. Sejarah aksi sebelumnya menunjukkan ancaman mogok seringkali efektif mendorong negosiasi tetapi juga membawa risiko politis dan ekonomi jika berlangsung berkepanjangan.

Bagi buruh, gerakan ini menegaskan tuntutan dasar yaitu upah yang bisa menutup kebutuhan hidup dan masa depan keluarga. Bagi publik, ini soal keseimbangan, menuntut keadilan sosial tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi. Bagi pengusaha, ini panggilan untuk meningkatkan produktivitas dan dialog proaktif agar kenaikan upah tak menjadi beban yang memicu relokasi investasi.

Dalam jangka panjang, penyelesaian yang adil bisa memperkuat konsumsi domestik dan mengurangi ketegangan sosial.

Singkatnya, Serikat telah menyiapkan jurus-jurusnya. Konsolidasi massa, lobi politik, mobilisasi media, dan opcionalitas mogok nasional. Semua langkah itu ditempuh untuk menekan pengambil kebijakan agar menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas pada penetapan UMP 2026.

Bagi pemerintah dan pengusaha, pilihan kini jelas dengan membuka ruang negosiasi yang kredibel atau menghadapi kemungkinan gangguan ekonomi dan politik yang lebih luas. Bagi publik, ini momen untuk menyaksikan apakah janji kesejahteraan akan diubah jadi kebijakan yang nyata atau berakhir pada ketegangan berkepanjangan.