Ini Refleksi Akhir Tahun 2017 dari FSP Farkes Reformasi

Jakarta, KPonline – Perjuangan buruh di tahun 2017 menyita banyak tenaga. Bagaimana tidak? Di tengah serbuan tenaga kerja asing asal Cina dan upah murah, kebutuhan pokok merangkak naik.

Kesejahteraan kaum buruh seperti terabaikan. Pemerintah sepertinya hanya memihak pemilik modal. Ini terbukti dengan berbagai paket kemudahan dalam berinvestasi.

Tetapi itu tak membuat FSP Farkes Reformasi bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan seluruh afiliasinya patah arang. Sebagaimana disampaikan Ketua Umum Idris Idham, sepanjang tahun 2017, berikut adalah hal-hal yang sudah dilakukan:

Pertama, menolak PP 78/2015 yang sangat merugikan buruh dikarenakan dihilangkannya hak berunding buruh didalam penetapan peraturan pemerintah dan dihapusnya sistem kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penetapan upah minimum provinsi ataupun daerah. Meski ditolak kaum buruh, tetapi Presiden Joko Widodo tidak bersedia mencabut PP 78/2015.

Kedua, penolakan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak. Terbukti, tax amnesty tisak membuat APBN aman. Justru kebijakan ini hanya menyenangkan para pengusaha besar yang selama ini tidak bayar pajak.

Ketiga, kampanye upah naik plus 50 dollar yang dilakukan secara bersama di seluruh Asia Pasifik.

Selain itu, FSP Farkes Reformasi juga melakukan aksi penolakan penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ), Upah Padat Karya yang dibawah Upah Minimum, aksi kemanusiaan terhadap Palestina.

Selanjutnya, FSP Farkes Reformasi juga berjuang menghadapi sistem kerja outsourcing/alih daya atau precarious work. Terlebih lagi, semakin lama sistem kerja tak layak atau outsourcing dan pekerja kontrak bertambah terus menerus.

Sistem outsourcing atau pekerja tidak layak (Precarious Work) merupakan eksploitasi terhadap manusia. Pekerja tidak diberlakukan selayaknya pekerja. Hak-haknya dikurangi seperti gaji dibawah UMP/UMK, tidak dibayar upah lemburnya, jaminan sosial yang tidak didapatkan, dan masih banyak lainnya.

Berdasarkan catatan FSP Farkes Reformasi, juga terjadi gelombang PHK. “PHK ini terjadi karena daya beli menurun, dan daya beli menurun karena upah murah,” jelas Idris.

Walaupun perjuangan ini belum berhasil sepenuhnya di tahun 2017, tapi ini bukan berati membuat kaum buruh menjadi patah semangat.

“Kami buruh akan terus berjuang di tahun berikutnya sampai kesejahteraan dan keadilan terhadap buruh ataupun rakyat terpenuhi,” tegas Idris Idham.

FSP Farkes Reformasi tidak akan pernah lelah untuk memperjuangkan kesejahteraan untuk buruh dan rakyat.

Setelah melakukan koordinasi baik online ataupun offline/kunjungan/rapat dengan pimpinan daerah/cabang FSP Farkes Reformasi di seluruh Indonesia, pada tahun 2018 FSP Farkes Reformasi akan memperkuangkan hal-hal berikut :

1) Tetap menolak peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2015.

Mendesak pemerintah menghapus PP 78/2015. Adanya PP 78 tahun 2015 membuat upah menjadi murah dan daya beli menurun ( #TolakPP78/2015 #TolakUpahMurah #HapusPP78/2015 ). Kampanye Upah Naik Plus 50 Dollar, ini agar daya beli meningkat dan buruh sejahtera.(#KampanyeUpahNaikPlus50)

2) Upah Minimum dan Upah Minimum Sektoral

Masih banyak perusahaan-perusahaan terutama di sektor kesehatan yaitu rumah sakit yang gajinya dibawah UMP/UMK dan juga tidak adanya kebebasan untuk berserikat. Terlebih lagi upah sektoral (UMSP/UMSK) ada isu mau dihapuskan terbukti ada beberapa daerah yang tahun 2018 untuk sektor tertentu hilang. Ini semakin membuktikan pemerintah sudah tidak adil terhadap rakyat dan pekerjanya.

3) Precaroius Work

Mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan buruh di Indonesia baik formal atau informal. Dan dengan kebijakan sistem outsourcing atau alih daya dan juga pemagangan membuat buruh semakin ditekan, banyak hak-hak kesejahteraan buruh yang tidak dipenuhi dan banyak perusahaan alih daya yang melanggar administratif prosedur ketenagakerjaan yang ada didalam peraturan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemerintah harus berani menghapus sistem kerja outsourcingatau alih daya, pemagangan, dan sistem kerja tidak layak lainnya agar tidak semakin marak eksploitasi terhadap pekerja, ungkap Idris.

4) Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan.

Sudah tidak heran lagi dengan BPJS Kesehatan yang selama ini sudah gagal dalam pelaksanaannya, terbukti sudah banyak korban meninggal akibat BPJS Kesehatan. Tidak hanya rakyat yang dijadikan korban, buruh di sektor industri farmasi dan rumah sakit swasta pun ikut dirugikan. Kerugian ini akibat dari sistem tarif Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) yg ditetapkan oleh Kemenkes melalui tim casemix. Sistem INA CBGs yang tidak transparan dalam penetapannya baik teknis dan alur bisnisnya dan juga tidak adil terhadap rumah sakit milik swasta, ujar Idris.

Idris Idham mengapresiasi atas langkah ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf yang baru – baru ini mengeluarkan statement akan menghapus sistem INA CBGs. Keseriusan beliau dibuktikan dengan membentuk tim panja untuk mendalam sistem INA CBGs dan melakukan pentarifan ulang yang lebih baik, transparan, dan adil.

Idris berharap komisi IX DPR RI mengajak dari unsur buruh terutama FSP Farkes Reformasi dalam penetapan tarif.

5) Hak Maternitas Pekerja Perempuan.

Banyak sekali perusahan-perusahaan yang melakukan diskriminasi terhadap pekerja perempuan, padahal sudah jelas dalam UU Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan dalam bab hak pekerja perempuan.

Seperti halnya, masih banyak perusahaan yang memperkerjakan pekerja perempuan sampai larut malam tanpa ada mobil jemputan, hak cuti haid yang jarang sekalu dilaksanakan oleh perusahaan, tunjangan keluarga bagi pekerja perempuan yang sudah menikah.

Pemerintah harus serius menangani hal ini, terlebih lagi cuti hamil dalam UU No 13/2003 hanya 3 bulan, 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Cuti 1,5 bulan setelah melahirkan ini tidak layak, dan cukup karena secara gizi dan psikologi bayi harus 6 bulan disusui ASI. Pemerintah harus membuat kebijakan cuti hamil menjadi 14 minggu atau lebih.

Itulah beberapa agenda perjuangan FSP Farkes Reformasi di tahun 2018. Tahun depan adalah momentum yang tepat dimana tahun 2018 adalah tahun pemilu baik Presiden dan Kepala Daerah.

Semoga Indonesia mempunyai pemimpin yang mengerti dan memahami buruh dan rakyatnya, peduli terhadap kesejahteraan buruh dan rakyatnya bukan pemilik modal.