Ilusi Ruang Demokrasi di Tempat Kerja

Belakangan, Kementerian Tenaga Kerja banyak mendapat kritik atas terbitnya Permenaker No.5/2023. Menurut juru bicara Kemnaker aturan tersebut diterbitkan demi menjaga keberlangsungan iklim industri di Indonesia akibat krisis global. Permenaker tersebut mengatur tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Menurut Pasal 3 Permenaker No. 5/2023 ini, yang dimaksud dengan perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor adalah perusahaan yang memiliki: Pekerja/buruh paling sedikit 200 (dua ratus) Orang; Persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15% (lima belas persen); dan Produksi bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara di benua Eropa yang dibuktikan dengan surat permintaan pesanan. Perusahaan ini dapat meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, industri alas kaki, industri kulit dan barang kulit, industri furniture, dan industri mainan anak.

Perusahaan industri padat karya tertentu bisa melakukan penyesuaian besaran upah buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada buruh paling sedikit 75% dari upah buruh. Dalam pasal 9 Permenaker No.5/2023, dijelaskan bahwa pihak perusahaan tidak bisa menerapkan kebijakan tersebut tanpa kesepakatan dengan buruh atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan wajib melaporkannya pada Dinas Ketenagakerjaan terkait. Kesekapakatan yang dimaksud harus dibuat secara tertulis dan setidaknya memuat (1) penyesuaian waktu kerja; (2) besaran upah; (3) jangka waktu berlakunya kesepakatan. Disebutkan, kesepakatan berlaku paling lama 6 bulan sejak Permenaker itu ditetapkan. Lalu bagaimana penerapannya di lapangan?

Kesepakatan Dalam Relasi Timpang
Dalam pernyataannya dalam harian Kompas tertanggal 2 Juni 2023 bertajuk “Posisi Buruh Kian Terimpit”, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor menjelaskan, Permenaker No 5/2023 bertujuan mengantisipasi dampak krisis global di sektor padat karya. Masa berlakunya ialah enam bulan, yaitu sampai September 2023.

Perkara masa berlaku kebijakan selama 6 bulan ini, berkali – kali dilontarkan pihak Kemnaker, seolah kebijakan tersebut menjadi ‘lebih manusiawi’ karena tidak berlaku selamanya. Di sisi lain, bagi buruh baik sehari, dua hari atau enam bulan, pengurangan upah berdampak siginifikan bagi keberlangsungan hidup buruh dan keluarganya.

Tak hanya itu, pasal terkait pelibatan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dalam pembuatan kesepakatan diklaim sebagai proses yang demokratis di ruang kerja yang demokratis. Namun, realita tidaklah demikian. Titin Nurlinasari, seorang pengurus serikat di sebuah perusahaan di KBN Cakung menceritakan dalam sebuah konferensi pers yang digelar Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia pada Jumat, 2 Juni 2023, bahwa perusahaan berulang kali memintanya menandatangani kesepakatan penyesuaian upah dan pengurangan jam kerja, meski ia terus menolak. Di tempatnya bekerja, terdapat empat Serikat Pekerja dan dua diantaranya tidak bersepakat.

Di perusahaan lain, masih di wilayah KBN Cakung, Jakarta Utara, praktek yang tak jauh beda juga dilakukan. Pihak perusahaan mengumpulkan tanda tangan semua buruh dan menjadikannya alat untuk menekan Serikat Pekerja di tingkat perusahaan supaya menandatangani kesepakatan penyesuaian upah. Strategi ini bertujuan supaya meruntuhkan mental pengurus Serikat Pekerja agar kemudian menandatangani kesepakatan karena buruh yang diwakilinya telah bersepakat.

Sebuah peristiwa tidak berdiri sendiri di ruang hampa. Banyak faktor yang mempengaruhinya karena kita hidup dalam struktur sosial masyarakat berkelas dan tidak tunggal. Dalam konteks perburuhan, posisi buruh tidak bisa dilihat setara dengan perusahaan. Ambil contoh buruh pabrik garment yang diminta atasannya untuk tanda tangan kesepakatan satu demi satu, apakah buruh akan sanggup menolak? Tentu banyak dilema berkecamuk di alam pikirnya. Apabila ia tidak tanda tangan, apakah kontrak kerjanya akan diperpanjang? Apakah ia tidak akan dimarahi bila menolak tanda tangan? Dilema yang diarasakan buruh, tentu wajar dan manusiawi, pasalnya mereka bekerja dengan status kerja yang tidak pasti sebagaimana diamanatkan oleh pemerintah yang mestinya melindungi buruhnya. Kita tentu paham, pemerintah telah mengesahkan hubungan kerja kontrak, alih daya, harian lepas hingga magang, sehingga memperlemah posisi buruh di hadapan pengusaha yang sedari awal, secara hirarki dalam perusahaan berada di pucuk pimpinan.

Dalam situasi yang tidak setara itulah, kekuasaan pemimpin perusahaan terlampau tinggi dan mengakibatkan relasi yang sangat timpang di antara dua kepentingan yakni pengusaha dan buruh. Sungguh diragukan, bila seorang Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah dan Wakil Menterinya, Afriansyah Noor, tidak mengetahui fenomena semacam ini. Penjelasan yang disampaikan Afriansyah Noor, adalah penjelasan yang membodohi kaum buruh, terlebih kebijakan penyesuaian upah atau bila diperjelas adalah pengurangan upah sama sekali tidak punya cantolan hukum. Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, kita mengenal Penangguhan Upah, itupun dengan mekanisme dan syarat tertentu yang diseleksi oleh Dinas Ketenagakerjaan terkait.

Penciptaan ruang demokrasi yang egaliter dalam sebuah perundingan, mensyaratkan posisi atau relasi yang setara antara perusahaan dan pekerja. Relasi yang setara tersebut hanya bisa diciptakan bila ada campur tangan negara yang melindungi pekerja atau Serikat Pekerja. Statemen pemerintah yang menjelaskan bahwa syarat kesepakatan sudah cukup untuk melegitimasi penerapan penyesuaian upah dan waktu kerja, merupakan pengabaian pada ketimpangan relasi kuasa yang ada antara buruh/ serikat pekerja dan pengusaha. Pengabaian itu bukan sekali ini saja, ia dipelihara seolah tidak ada bias kelas dalam kehidupan sosial ekonomi politik masyarakat. Bias kelas itu ada, ketimpangan itu ada, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang punya kekuasaan di ruang kerja itu nyata. Bila Ibu Ida Fauziah enggan mengakuinya, lebih baik mundur. Rasanya, itu lebih terhormat daripada terus meminggirkan kaum kecil yang kerap dijadikan komoditi politik, seperti kaum buruh atau pekerja.