Purwakarta, KPonline-Diberbagai belahan Indonesia, masih ditemukan praktik pemotongan upah terhadap buruh yang terlibat aktif dalam kegiatan serikat pekerja. Potongan ini seringkali dibungkus dengan alasan “tidak masuk kerja” karena menghadiri rapat, pelatihan, atau aksi unjuk rasa serikat. Tapi benarkah tindakan tersebut sah secara hukum?
#Kasus yang Mencuat di Lapangan
Dari sejumlah laporan yang diterima oleh lembaga bantuan hukum dan organisasi buruh, pemotongan upah kerap dialami oleh pekerja yang mengambil bagian dalam kegiatan serikat, termasuk ketika sedang melakukan negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pelatihan serikat, atau mengikuti aksi demonstrasi yang diberitahukan secara resmi.
Salah satu kasus terjadi di sebuah pabrik di salah satu kawasan Industri di Kabupaten Bekasi. Beberapa pengurus serikat dipotong gajinya dengan alasan tidak hadir di lantai produksi selama satu atau mungkin beberapa hari karena melakukan kegiatan serikat. Padahal, kegiatan tersebut dilakukan dengan pemberitahuan resmi kepada manajemen.
“Ini bentuk pembungkaman. Kami hanya menjalankan hak berserikat yang dijamin konstitusi,”ujar S, salah satu pengurus serikat pekerja di perusahaan tersebut.
#Apa Kata Undang-Undang?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, hak pekerja untuk berserikat dan menjalankan kegiatan serikat adalah hak konstitusional yang dilindungi.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Lebih lanjut, Pasal 25 UU No. 21 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pengurus serikat memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum saat menjalankan kegiatan serikat.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003 menegaskan bahwa aktivitas serikat pekerja tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi hak normatif, termasuk upah. Bahkan ILO (International Labour Organization), yang Indonesia menjadi anggotanya, melalui Konvensi No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama, menekankan larangan terhadap tindakan diskriminatif terhadap pekerja karena aktivitas serikat.
#Namun, Celah Masih Ada
Meski secara hukum pekerja dilindungi, praktik pemotongan upah masih terjadi karena berbagai alasan. Salah satunya adalah tidak adanya aturan teknis yang rinci soal bagaimana kegiatan serikat diakomodasi dalam jam kerja, terutama di sektor swasta. Akibatnya, perusahaan menganggap setiap ketidakhadiran, meski karena aktivitas serikat, mereka beranggapan sebagai ketidakhadiran biasa.
“Kami sering dihadapkan pada dilema. Jika ikut kegiatan serikat, upah kami dipotong. Tapi kalau tidak ikut, perjuangan buruh akan lemah,” ujar Linda, yang juga merupakan sebagai kawan S yang bekerja di pabrik yang berada disalah satu kawasan Industri tersebut.
#Tafsiran yang Menyesatkan?
Dalam beberapa perusahaan, manajemen menganggap aktivitas serikat harus dilakukan di luar jam kerja. Pandangan ini dianggap keliru oleh pengamat ketenagakerjaan. “Kalau semua kegiatan serikat wajib di luar jam kerja, itu sama saja membatasi fungsi serikat. Padahal, keberadaan serikat justru bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama, termasuk dengan berdialog dengan perusahaan,” kata seorang pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia.
Ia menegaskan, perusahaan tidak boleh memotong upah buruh yang melakukan aktivitas serikat. Terutama jika kegiatan itu memiliki dasar yang sah, dilakukan dengan pemberitahuan resmi, atau merupakan bagian dari kewajiban pengurus.
#Tindakan Diskriminatif Bisa Dipidana
Pemotongan upah atas dasar aktivitas serikat juga dapat dianggap sebagai diskriminasi yang bisa berujung pidana. Berdasarkan Pasal 28 UU No. 21/2000, siapapun yang menghalangi atau menghambat kegiatan serikat dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Meski demikian, laporan pidana jarang ditempuh oleh buruh karena proses hukum yang panjang dan tekanan dari perusahaan.
#Peran Negara dan Pengawasan
Lemahnya pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan juga turut memperparah situasi. Banyak perusahaan yang lepas dari sanksi meski terbukti melakukan pemotongan upah semena-mena.“Negara harus hadir. Kalau tidak, buruh akan terus tertekan. Serikat pekerja itu ujung tombak demokrasi industrial. Kalau mereka dilemahkan, buruh tidak punya suara,” ujar Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KC FSPMI) Purwakarta, Fuad BM.
#Hak yang Tak Bisa Ditawar
Intinya, pemotongan upah karena aktivitas serikat tidak dapat dibenarkan, apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan dalam kerangka hukum dan telah diberitahukan secara resmi. Ini bukan hanya soal hak buruh, tapi juga tentang masa depan demokrasi di tempat kerja.
Selama pengusaha terus memotong upah dengan dalih “absensi”, dan negara tidak hadir dalam melindungi hak berserikat, maka semangat untuk membangun hubungan industrial yang sehat akan selalu terancam.
Sebagai catatan, jika anda seorang pekerja yang mengalami pemotongan upah karena aktivitas serikat, dokumentasikan semua kegiatan Anda dan segera laporkan ke serikat atau lembaga bantuan hukum ketenagakerjaan. Sebab, Hak berserikat bukan hanya legal, tapi fundamental.
Disadur dari: UU No. 21 Tahun 2000, UU No. 13 Tahun 2003, Putusan MK, Konvensi ILO No. 98, serta wawancara dengan pengurus serikat, pakar hukum ketenagakerjaan, dan sumber berita dari Tirto, Kompas, dan CNN Indonesia.