Diam dalam Ketidakadilan Adalah Pengkhianatan, Melawan dan Berjuang Adalah Kehormatan Bagi Aktivis Buruh

Diam dalam Ketidakadilan Adalah Pengkhianatan, Melawan dan Berjuang Adalah Kehormatan Bagi Aktivis Buruh

Pelalawan, KPonline – Kalimat lugas ini dilontarkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Wilayah FSPMI Riau, Satria Putra. Dalam sebuah agenda konsolidasi buruh beberapa waktu lalu. Sebuah seruan yang bukan hanya membakar semangat, tetapi juga menggugah nurani. Di tengah derasnya arus penindasan terhadap hak-hak pekerja, sikap diam bukanlah pilihan yang bijak bahkan bisa disebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai perjuangan.

Dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia, keberhasilan tidak pernah datang dari sikap pasrah. Setiap perubahan yang berpihak pada buruh selalu lahir dari keberanian untuk melawan. Melawan bukan berarti sekadar turun ke jalan, tetapi memperjuangkan keadilan dengan cara-cara yang terorganisir, cerdas, dan bermartabat. Aktivis buruh memiliki kehormatan besar karena mereka berdiri di garda depan, bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi masa depan kaum pekerja.

Ketika seorang buruh kehilangan pekerjaan tanpa pesangon, ketika hak jaminan sosial dirampas secara diam-diam, ketika upah tak lagi cukup untuk hidup layak maka itu bukan hanya persoalan satu individu. Itu adalah masalah bersama, dan tanggung jawab kolektif bagi setiap aktivis untuk bersuara. Karena jika kita memilih diam, maka kita sedang membiarkan ketidakadilan menjadi hal yang normal dan diterima.

Sikap diam adalah ruang nyaman yang mematikan. Ia membuat ketidakadilan tumbuh subur tanpa perlawanan. Namun ketika kita memilih jalan perjuangan, kita menolak tunduk. Kita membangun kesadaran bahwa buruh bukan budak, buruh bukan angka statistik. Buruh adalah manusia yang layak diperjuangkan martabatnya. Dan perjuangan itulah yang memberi arti pada setiap napas organisasi.

FSPMI sebagai rumah besar perjuangan buruh memiliki tanggung jawab moral untuk terus menyuarakan aspirasi, mengawal kebijakan, dan mendorong perubahan struktural yang berpihak kepada kaum pekerja. Kepemimpinan seperti yang ditunjukkan oleh Ketua DPW Riau, Satria Putra, adalah refleksi nyata bahwa suara buruh tidak boleh tenggelam. Kita perlu lebih banyak pemimpin yang berani bicara, berani berdiri tegak, dan berani menantang sistem yang menindas.

Hari ini, kita dihadapkan pada berbagai bentuk ketidakadilan yang makin terstruktur dari kebijakan upah murah, outsourcing, hingga minimnya perlindungan sosial. Maka pilihan hanya dua: diam dan menjadi bagian dari pengkhianatan, atau melawan dan menulis sejarah. Aktivis buruh harus menjadi bagian dari solusi, bukan penonton yang pasrah dalam penderitaan.

Pada akhirnya, kehormatan terbesar bagi seorang aktivis buruh bukanlah jabatan atau popularitas. Kehormatan itu datang ketika ia mampu berkata “tidak” pada penindasan, dan berdiri tegak untuk membela yang lemah. Karena sejatinya, keberanian untuk melawan adalah bentuk tertinggi dari cinta pada sesama manusia.

Penulis: Heri