Dari Kami yang Nyaris Putus Asa

Jakarta, KPonline – Saya masih mengingat diskusi pada sore itu. Berempat, kami duduk di tepi jalan. Ada bangku yang disediakan. Sementara para pejalan kaki terburu-buru pulang ke rumah. Maklum, jam pulang kerja.

“Kapan situasi ini akan berakhir,” saya mendengar suaranya. Mirip seperti keluhan.

Tidak ada yang menjawab. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Toh apapun jawabannya, saya bisa pastikan itu akan percuma. Tidak ada yang tahu pasti. Kapan semua ini akan berakhir.

Sejauh ini kita mendengar, kesulitan dimana-mana. Kota ini seperti tak berdaya menahan beban derita.

Banyak yang kehilangan pekerjaan. Lebih banyak lagi yang mengeluh sedang dirumahkan dan gaji belum dibayar.

Begitu beratnya beban hidup yang harus dijalani, bahkan banyak yang sudah tidak lagi percaya pada keajaiban. Terlihat gelap. Tak sedikit yang kehilangan daya dan upaya, untuk sekedar berbuat apa. Satu-satunya yang diharapkan adalah bantuan sosial, yang tidak seberapa.

“Lalu apa yang harus kita lakukan,” tanya saya. Mengalihkan perhatian. Sebab pertanyaan kawan saya tadi pun tak ada yang menanggapi.

Lagi-lagi diam.

Saya mendengar, berbagai lembaga dan organisasi ramai-ramai memberikan bantuan. Itu baik. Tidak ada yang menyangsikan betapa bantuan-bantuan seperti itu besar sekali manfaatnya. Tetapi apakah menyelesaikan persoalan? Paling banter hanya bertahan sehari dua hari. Selebihnya ia akan berkubang pada kesulitan yang sama lagi.

Belum tentu, apa yang kita bantu sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Sebagian orang lebih butuh membeli susu untuk anaknya. Sebagian butuh sedikit uang untuk membayar listrik yang sudah nunggak sekian bulan. Bahkan ada yang butuh uang receh untuk beli oat sakit kepala.

Dimana-mana orang mengeluh. Optimisme menjadi barang langka.

Bahkan kemeriahan konser BPIP pun tak juga memberikan energi baik. Dalam situasi muram seperti ini, alih-alih menyuntikkan energi, musik justru membuat tingkat stres semakin tinggi. Kalau tidak percaya, coba saja bernyanti di depan orang yang sedang dirundung nestapa? Tidak digampar bolak-balik sudah untung.

Sore itu kami merasa putus asa. Mungkin lebih tepatnya patah hati. Kami tahu, ada masalah besar yang kita hadapi. Tetapi pada saat yang sama, kita tidak tahu harus berbuat apa.

Konon physical distancing merupakan cara ekfektif untuk menghentikan corona. Tetapi pabrik-pabrik tetap diizinkan kerja. Jalan-jalan masih ramai. Mall sudah mulai buka.

Jika sejak awal kita diistruksikan untuk memerangi. Tetapi semakin ke sini, kita justru diminta untuk berdamai. Mulai melonggarkan pembatasan sosial.

Terserah sajalah…