Buruh Penopang Ekonomi Bangsa, Saatnya Negara Tidak Tutup Mata

Buruh Penopang Ekonomi Bangsa, Saatnya Negara Tidak Tutup Mata

Purwakarta, KPonline — Dibalik laju pertumbuhan ekonomi nasional, terdapat peran besar para pekerja atau buruh yang menjadi tulang punggung utama roda produksi, distribusi, hingga layanan publik. Tanpa kontribusi mereka, stabilitas ekonomi Indonesia bisa terguncang. Namun, ironisnya, nasib para buruh masih kerap terpinggirkan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024, sekitar 57% dari total angkatan kerja di Indonesia tergolong sebagai pekerja informal dan buruh kasar. Mereka bekerja di sektor-sektor strategis seperti manufaktur, konstruksi, pertanian, hingga transportasi. Meski menjadi penopang utama sektor riil, kesejahteraan mereka masih jauh dari kata layak.

Seluruh serikat pekerja di tanah air dan salah satunya adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyoroti bahwa upah minimum di banyak daerah belum mencerminkan kebutuhan hidup layak. Selain itu, banyak buruh yang bekerja tanpa perlindungan sosial memadai, seperti jaminan kesehatan, tunjangan hari tua, dan jaminan kehilangan pekerjaan.

Sebagai catatan, negara ini bisa berjalan karena ada keringat buruh. Tetapi yang mereka terima belum sepadan dengan apa yang mereka berikan. Bahkan, nilai upah di beberapa daerah masih sangat jauh dari/untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Contohnya, Kabupaten Banjarnegara, yaitu dengan upah minimum sebesar Rp2.038.005.

karena itu, pentingnya intervensi pemerintah untuk memperkuat daya beli buruh dengan upah sesuai kebutuhan hidup layak. Sebab, jika buruh sejahtera, konsumsi rumah tangga akan meningkat, dan itu menjadi penopang utama ekonomi nasional yang berbasis konsumsi.

Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program seperti Kartu Prakerja dan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun implementasi dan jangkauannya masih dinilai belum menyentuh semua kelompok pekerja yang rentan.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan tahunannya juga mengingatkan bahwa negara yang berhasil membangun ekonomi inklusif adalah negara yang menghargai pekerjanya dengan memberikan upah layak, perlindungan hukum, serta ruang dialog sosial yang kuat.

Momentum kenaikan upah dalam setiap tahun, seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah dan pemangku kebijakan untuk merumuskan kebijakan kenaikan upah yang benar-benar pro-buruh dengan memenuhi segala kebutuhan hidup layak kaum buruh, dan kenaikan upah layak bukan hanya sekadar retorika tahunan.

Saat para buruh bekerja keras untuk menggerakkan perekonomian bangsa, sudah semestinya negara hadir untuk memastikan mereka hidup dengan martabat dan mendapatkan hak-hak dasarnya secara adil.