Buruh outsourcing di Indonesia, Perang Melawan Perbudakan

persidangan di PHI Serang dalam perkara Nomor 18/Pdt.SUS-PHI/2015/PN.Srg. Ini adalah perkara antara Hasanudin dkk (67 orang) melawan PT. Indoseiki Metalutama (Ismu) dan PT. Akita Semesta (Akita). (foto Kahar )

Serang, KPonline – Kemarin, Selasa 8 September 2015, saya menghadiri persidangan di PHI Serang dalam perkara Nomor 18/Pdt.SUS-PHI/2015/PN.Srg. Ini adalah perkara antara Hasanudin dkk (67 orang) melawan PT. Indoseiki Metalutama (Ismu) dan PT. Akita Semesta (Akita). Agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh pihak Penggugat, Hasanudin dkk.

Tidak tim kuasa hukum. Kurang lebih seratus orang anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) juga hadir dalam persidangan. Mereka memberikan dukungan kepada saksi. Juga semacam pesan, agar pengadilan dalam memeriksa perkara ini berjalan: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa.

Bacaan Lainnya
persidangan di PHI Serang dalam perkara Nomor 18/Pdt.SUS-PHI/2015/PN.Srg. Ini adalah perkara antara Hasanudin dkk (67 orang) melawan PT. Indoseiki Metalutama (Ismu) dan PT. Akita Semesta (Akita). (foto Kahar )
persidangan di PHI Serang dalam perkara Nomor 18/Pdt.SUS-PHI/2015/PN.Srg. Ini adalah perkara antara Hasanudin dkk (67 orang) melawan PT. Indoseiki Metalutama (Ismu) dan PT. Akita Semesta (Akita). (foto Kahar )

 

Pada mulanya, Hasanudin dkk merupakan karyawan outsourcing dari perusahaan penyedia jasa pekerja, Akita. Karena ditempatkan di bagian produksi, maka pihak pekerja beranggapan hubungan kerja yang semula dengan perusahaan penyedia jasa pekerja berubah menjadi hubungan kerja dengan perusahaan penyedia pekerjaan, dalam hal ini adalah Ismu. Apalagi, beberapa diantara mereka sudah bekerja sejak tahun 2006. Lebih dari 8 (delapan) tahun berstatus outsourcing.

Beberapa aktivis serikat pekerja menyebut, outsourcing merupakan praktek perbudakan di dunia modern. Dan karena ia adalah perbudakan, maka semangat yang dikobarkan adalah, perang melawan perbudakan.

Dan karena ini peperangan, maka pilihan satu-satunya adalah dengan memenangkannya.

Dalam keterangannya, saksi menyampaikan dirinya bekerja di Ismu sejak tahun 2009. Ketika itu, saksi membuat lamaran kerja yang ditujukan kepada Ismu. Tak lama setelah menjalani tes, saksi diterima bekerja di Ismu tanpa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2010, saksi diminta menandatangani PKWT dengan Akita. Tahun 2013, saksi kembali diminta untuk menandatangani PKWT dengan Ismu. Dan pada tahun 2015, saksi di PHK.

Selama bekerja, saksi dipekerjakan di bagian produksi. Bercampur dengan karyawan tetap yang berasal dari Ismu. Bahkan mendapatkan ID Card dan seragam kerja atas nama Ismu.

Ketika saya tanyakan, apakah ada diantara 67 orang yang saat ini mengajukan gugatan ada yang memiliki cerita sama dengan saksi? Melamar ke Ismu tetapi kemudian diminta menandatangani PKWT dengan Akita? Saksi menjawab, ada. Kemudian ia menyebut satu nama.

Semua keterangan saksi semakin menguatkan dalil-dalil yang disampaikan pihak pekerja. Bahwa pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh ditempatkan di bagian yang berhubungan langsung dengan produksi. Bahwa perusahaan pemborongan harus terpisah dari pekerjaan utama. Tetapi dalam kasus ini, semua ketentuan itu dilanggar. Hampir semua karyawan outsourcing ditempatkan di bagian produksi yang berhubungan langsung dengan kegiatan utama.

Ini bukan tentang Hasanudin dkk yang berjumlah 67 orang.

Ini juga bukan tentang mereka yang bekerja di Ismu.

Tetapi ini tentang nasib buruh outsourcing di Indonesia, yang dipekerjakan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perkara ini akan menjadi acuan bagi pekerja di perusahaan lain dalam memperjuangkan kepastian kerja. (*)

Kahar S. Cahyono

Pos terkait