Buruh Indonesia dan Politik, Sosialisme Religius ?

Sejumlah relawan ‘Buruh Go Politics’ sedang bercengkerama di Kepsonic, berlatar belakang spanduk para caleg yang diusung oleh FSPMI.

Buruh Indonesia dan Politik

Kasus di Amerika Latin merupakan sebuah contoh yang menarik sebagai pembanding untuk Indonesia. Pertama, kondisi kultur masyarakatnya sama, yaitu paternalistik, miskin dalam ekonomi, terjajah lama dan mudah tersulut dengan isu-isu.

Bacaan Lainnya

Dalam satu dekade ini, mayoritas negara-negara di Amerika Latin, pemerintahannya dikuasai oleh partai politik yang disokong penuh kaum buruh dan serikat buruh, ditambah sokongan dari kalangan agamawan. Mayoritas penduduknya sudah muak dengan eksploitasi buruh, tani, dan nelayan. Belum lagi korupsi yang merajalela serta adanya ketimpangan sosial yang terlalu dalam. Angka pengangguran dan kemiskinan tinggi. Harga beras dan transportasi mahal. Serta tidak adanya keteladanan didalam kepemimpinan. Semua itu membuat partai politik disokong buruh, tani, nelayan dan agamawan di Amerika Latin, yang kemudian menjadikannya partai berkuasa.

Kondisi di atas, dalam kurun waktu sekarang hingga beberapa tahun yang akan datang, menyerupai kondisi sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Bukanlah hal yang mustahil, pada satu saatnya nanti, akan muncul pemimpin dan partai politik yang didukung kaum buruh, tani, nelayan dan agamawan sehingga ia akan menjadi partai berkuasa. Partai ini beraliran sosial religius (karena bangsa Indonsia bangsa yang agamis, hal ini tidak bisa dinafikkan) dengan mengusung tema HAM, lingkungan hidup, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, peningkatan upah, kesejahteraan dan perlindungan bagi buruh, tani, nelayan, kebebasan menjalankan agamanya masing-masing.

Kondisi ini akan lahir dengan didahului hal-hal sebagai berikut:

1. Ada satu tim independen yang meluas dan menyebarkan quesioner/jajak pendapat ke sejumlah buruh, tani, nelayan dan agamawan tentang perlukah adanya saluran politik bagi mereka.

2. Jika memang mereka menganggap perlu, maka langkah selanjutnya adalah mendorong bersatunya (mayoritas) serikat buruh yang ada (karena mereka merupakan organisasi kader yang sudah tertata) untuk mengadakan konvensi nasional diperluas tentang perlukah dibentuk partai buruh.

3. Bila mana konvensi memutuskan “perlu”, maka diadakan referendum nasional oleh tim yang dibentuk untuk itu. Tim inilah yang nantinya akan menanyakan kepada seluruh buruh, tani, nelayan dan agamawan, setujukah mereka dengan dibentuknya partai buruh ini.

4. Bila mayoritas menyatakan setuju pembentukan partai buruh, maka dibentuk pengurus dan struktur partai yang diperluas. Partai buruh tidak boleh semata-mata hanya karena keinginan elit serikat buruh: ia harus lahir dari rahim gerakan buruh.

5. Selanjutnya, peran Serikat Buruh kembali menjadi peran sosial ekonomi yang bersifat independen. Bukan under bouw partai. Tetapi memberikan sokongan kepada partai. Dan peran partai buruh memainkan peran sosial politik yang membawa aspirasi kepentingan kaum buruh dan turunanya.

Saya sangat yakin, pada saatnya nanti akan muncul satu kekuatan politik baru dari rakyat pekerja. Yaitu partai buruh dan serikat buruh yang saling mengisi dengan aliran sosialisme religius. Karena dimasa depan, sekat-sekat abangan, santri dan priyayi akan memudar. Dan aliran partai buruh sosialisme religius akan memperkaya aliran yang sudah ada, yaitu aliran keagamaan dan aliran nasionalis.

Sosialisme religius adalah jalan tengah. Wallahu alam bi’sawab. (*)

Tulisan diatas merupakan rangkaian tulisan dari Presedin FSPMI / KSPI Said iqbal yang pernah diterbitkan dan akan di jadikan sebuah buku

Pos terkait