Jakarta, KPonline – Tren efisiensi dan konsolidasi di industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dinilai akan memicu pengurangan jumlah tenaga kerja. Hal itu menjadi konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari akibat berubahnya skema bisnis. Dalam hal ini, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, melihat pemutusan hubungan kerja tak bisa dihindari terutama dikaitkan dengan kapasitas perusahaan.
“Ibaratnya, kapal yang tadinya dua, sekarang tinggal satu. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua,” kata Hadi, sebagaimana diberitakan rmol.com, Senin (14/7/2017).
Pernyataan Hadi itu disampaikan menanggapi arah bisnis industri telekomunikasi dan teknologi informasi yang menuju efisiensi dan konsolidasi. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara pernah mengisyaratkan terjadinya konsolidasi antar operator telekomunikasi. Isu tersebut kemudian berkembang ke arah pemutusan hubungan kerja sebagai konsekuensi dari konsolidasi dan efisiensi di kalangan operator telekomunikasi.
Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait pemutusan hubungan kerja mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal. Sebab, biasanya ada dua situasi yang akan dihadapi.
Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru. Dalam situasi ini, lanjut dia, pemutusan hubungan kerja bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal sembilan bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain. “Merger ini kan sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal sembilan bulan dikalikan dua, ditambah tunjangan lain,” ujar Hadi.
Kedua, jika perusahaan yang menghendaki pemutusan hubungan kerja, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, menurut dia, perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.
Microsoft contohnya, perusahaan raksasa itu melakukan pemutusan hubungan kerja dengan empat persen karyawan atau sekira 4 ribu orang. Indonesia juga mengakomodasi hal tersebut, tapi tetap dengan memperhitungkan kelayakan bagi karyawan yang akan dirumahkan.
“Sangat boleh dilakukan (PHK), Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengatur itu,” kata Hadi.
Menanggapi hal ini, aktivis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Budi Santoso mengatakan bahwa tidak seharusnya konsolidasi di industri tekologi informasi dan komunikasi mengakibatkan PHK. Justru sebaliknya, seharusnya konsolidasi justru menyerap tenaga kerja baru. Membuat perusahaan lebih maju. “Untuk apa konsolidasi jika justru mengorbankan pekerja?” Tegasnya.
Pada prinsipnya, menurut Budi, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengatur agar semua pihak wajib dengan segala upaya berusaha agar tidak terjadi PHK.
“Jangan belum-belum sudah mengatakan boleh melakukan PHK,” kritiknya.