Purwakarta, KPonline – Hubungan antara buruh, pengusaha dan penguasa, tersimpan dinamika yang kompleks dan kerap penuh ketegangan. Ketiganya merupakan aktor utama dalam roda perekonomian nasional. Namun, relasi diantara mereka tidak selalu harmonis. Ada tarik-menarik kepentingan, kompromi, hingga benturan yang tak jarang mencuat ke permukaan dalam bentuk demonstrasi, regulasi kontroversial, atau PHK massal.
Perlu diketahui, buruh adalah fondasi dari produksi dan pertumbuhan ekonomi. Tanpa tenaga kerja, mesin-mesin pabrik tak akan bergerak, jasa tak akan tersampaikan, dan produk tak akan sampai ke tangan konsumen. Namun, peran vital ini sering kali tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diterima.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga awal 2025, sekitar 60% buruh Indonesia masih tergolong dalam kategori pekerja informal dan rentan terhadap pelanggaran hak normatif, seperti upah di bawah UMK, status kerja kontrak berkepanjangan, hingga tidak adanya jaminan sosial ketenagakerjaan.
Bahkan, seringkali buruh hanya dianggap sebagai angka produktivitas. Hak-hak mereka pun kerap dilanggar dengan dalih efisiensi perusahaan.
Disisi lain, pengusaha memikul tanggung jawab besar dalam menjaga keberlangsungan bisnis, menghadapi kompetisi global, dan mengatur strategi agar perusahaannya bertahan. Dalam sistem ekonomi pasar, efisiensi menjadi kata kunci. Namun di balik efisiensi, kerap terselip praktik eksploitasi.
Organisasi pengusaha seperti Apindo dan Kadin Indonesia berkali-kali menyuarakan perlunya fleksibilitas dalam hubungan kerja agar bisa bersaing dengan negara lain. Mereka menyambut baik kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibuslaw) yang mempermudah perekrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Namun bagi serikat buruh, kebijakan semacam itu justru membuka ruang eksploitasi. Karena, dengan alasan fleksibilitas, mereka ingin seenaknya merekrut dan mem-PHK tanpa mempertimbangkan keadilan sosial.
Sedangkan, penguasa (pemerintah dan lembaga legislatif) berperan sebagai penentu arah kebijakan. Namun posisi ini tidak netral. Tekanan dari investor dan pelaku usaha besar sering kali mempengaruhi keputusan politik.
UU Cipta Kerja adalah contoh nyata bagaimana penguasa cenderung berpihak pada pengusaha dengan dalih meningkatkan investasi. Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri sempat menyatakan beberapa pasal dalam UU tersebut inkonstitusional bersyarat. Bahkan, terhangat adalah dimana MK menganulir beberapa pasalnya setelah Partai Buruh melakukan Juducial Review terhadap UU tersebut.
“Disini, ada indikasi pemerintah seperti berjalan di dua kaki, mengaku melindungi buruh, tapi justru meloloskan regulasi yang menyulitkan buruh”
Dan atas hal hal tersebut, Konflik buruh-pengusaha-penguasa ini seperti benang kusut. Setiap pihak merasa punya alasan dan kepentingan yang sah. Buruh menuntut hak dan kesejahteraan, pengusaha ingin efisiensi dan keuntungan, sedangkan penguasa harus menjaga iklim usaha sekaligus meredam gejolak sosial.
Selain itu, titik konflik seringkali muncul saat tidak ada ruang dialog yang memadai. Buruh merasa diabaikan, pengusaha merasa ditekan, dan pemerintah berada dalam posisi ambigu. Hal ini tercermin dalam gelombang aksi buruh menolak UU Cipta Kerja dan dalam gelombang PHK pasca-pandemi yang minim perlindungan hukum bagi pekerja.
“Dialog sosial adalah kunci. Bukan siapa paling kuat, tapi bagaimana semua pihak mencari solusi bersama” Karena, tantangan ke depan tidak makin ringan. Disrupsi teknologi, otomatisasi, dan tekanan ekonomi global menuntut fleksibilitas dan adaptasi”
Reformasi ketenagakerjaan yang sejati harus berangkat dari pengakuan terhadap martabat buruh, tanggung jawab sosial pengusaha, dan netralitas serta keberpihakan negara kepada prinsip keadilan. Dan negara seharusnya bukan penengah yang canggung, tapi pengayom bagi semua, terutama mereka yang paling rentan.
Singkatnya, jika segitiga kuasa antara buruh, pengusaha, dan penguasa terus diwarnai ketegangan dan ketidakadilan, maka keseimbangan sosial akan rapuh. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran bersama bahwa keberlangsungan ekonomi bukan semata soal laba, tapi juga martabat manusia.
“Saat buruh sejahtera, pengusaha tidak merasa dirugikan, dan penguasa bertindak adil, disitulah masa depan Indonesia yang adil dan berdaya bisa benar-benar dimulai”