Analisa Perlindungan, Perlakuan, Hak dan Status Kerja Buruh Perempuan Di Perkebunan Kelapa Sawit

Labuhanbatu, KPonline – “Buruh Perempuan Di Perkebunan Kelapa Sawit”

Oleh: Anto Bangun
Sekretaris KC FSPMI Labuhanbatu.

Keberadaan Buruh perempuan diperusahaan perkebunan kelapa sawit sebenarnya termasuk kepada unsur penentu keberhasilan pengelolaan perusahaan sawit itu sendiri.

Pekerjaan yang dilakukan oleh Buruh perempuan ini menurut management sifatnya dan jenisnya sebagai pendukung (supporting) proses produksi. Adapun jenis pekerjaannya meliputi bidang pemeliharaan dan perawatan tanaman kelapa sawit, yakni Dongkel Anak Kayu (DAK) Pembersihan Piringan Pokok, perawatan Pasar Pikul, Pemberantasan lalang menggunakan bahan kimia, pemupukan tanaman, pemberantasan hama dan penyakit menggunakan pestisida/fungsida, dan lain sebagainya.

Alasan lain management mengatakan pekerjaan sebagai pendukung proses produksi adalah karena pekerjaan bersifat sementara, tidak dilakukan terus menerus, padahal faktanya pekerjaan dilakukan secara terus menerus, misalnya saja pekerjaan pembersihan piringan pokok atau yang lajim dikenal P.150/1 bulan, pada Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Kelapa Sawit, setiap hari pekerja perempuan bekerja tanpa putus.

Kemudian Pembersihan Piringan Pokok pada Tanaman Menghasilkan (TM) atau yang dikenal dengan nama P.250/3 bulan. Orang awam beranggapan pekerjaan ini dilakukan setiap tiga bulan sekali, padahal faktanya setiap hari dikerjakan, sebab cara penentuan luasan pekerjaan ini adalah jumlah seluruh luas dibagi 3 rotasi, maka akan didapatkan luasan per-plotnya.

Misalkan luasan seluruh areal satu Afdeling atau satu Divisi adalah 900 Ha, maka untuk menentukan luasan pekerjaan per-plotnya adalah, luas satu Afdeling atau satu divisi dibagi 3 Rotasi, maka luas per plotnya adalah 300 Ha (900 Ha:3 rotasi) untuk bulan pelaksanaan pekerjaannya adalah : Plot:1.Januari, Pebruari Maret, Plot.2.April,Mei,Juni.Plot.3.Juli,Agustus, Sepetember, sedangkan untuk Bulan Oktober, Nopember dan Desember kembali ke Plot.1.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pekerjaan perawatan dan pemeliharaan tanaman belum bisa dibenarkan sebagai pekerjaan yang jenis dan sifatnya sementara atau musiman.

Analisa berikutnya, bagaimana bila seluruh pekerjaan dihapuskan dari “ALUR” apakah kegiatan proses produksi tidak terganggu.

Ketika seluruh jenis pekerjaan pemeliharaan dan perawatan tanaman dihapuskan dari “ALUR”, maka seluruh kegiatan proses produksi mulai dari Panen Produksi hingga pengolahan produksi terganggu, bahkan dapat terhenti seluruhnya. Hal itu dikarenakan areal semak menjadi hutan belantara, pemanen tidak akan bisa melakukan panen produksi.

Hubungan Kerja Buruh Perempuan ini rata-rata berdasarkan Buruh Harian Lepas (BHL), ada yang langsung kepada perusahaan dan ada pula yang melalui perusahaan pihak ke tiga (vendor).

Apakah hubungan kerja berdasarkan BHL bisa dibenarkan atau tidak..?

Dari ulasan tersebut diatas apakah pekerjaan pemeliharaan dan perawatan tanaman kelapa sawit bisa hubungan kerjanya berdasarkan BHL ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau sebaliknya wajib berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)/Buruh Tetap. Maka wajib dilakuan analisa, kajian dan evaluasi antara Pemerintah, Pengusaha, Serikat Pekerja, dan anggota legislatif yang membidangi perburuhan, sehingga didapatkan satu kepastian tentang hubungan kerja.

Kelapa Sawit merupakan salah satu komoditas eksport andalan Indonesia, dan penyumbang devisa bagi anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta Indonesia saat ini merupakan produsen sawit terbesar didunia, juga Pemerintah meyakini industri kelapa sawit ini menjadi sektor yang menjanjikan dalam pembangunan nasional karena keberadaannya mampu menyerap banyak tenaga kerja, sehingga sangatlah wajar seluruh Buruhnya mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk diperlakukan adil dan sama atas semua syarat-syarat kerja dan hubungan kerja.

Sayangnya, perlindungan pemerintah kepada Buruh perempuan di perusahaan perkebunan kelapa sawit masih sangat minim sekali dan bisa dibilang tidak ada. Sebaliknya Pemerintah seperti menikmati hasil eksploitasi Buruh Perempuan ini yang terus berlangsung hingga saat ini dibeberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta dan BUMN.

“Keuntungan berlipat ganda akan dapat diperoleh bila harga pokok produksi bisa ditekan sekecil mungkin, dan untuk memperolehnya salah satu caranya dengan mengeksploitasi tenaga kerja”

Resiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Buruh perempuan diperusahaan perkebunan kelapa sawit juga relatif sangat tinggi, terutama resiko terpapar bahan kimia, karena terjadi kontak langsung dengan bahan kimia aktif saat melakukan pekerjaan pembersihan gulma menggunakan bahan kimia, juga saat melakukan pemupukan tanaman, dan pekerjaan pemberantasan hama penyakit yang menggunakan pestisida maupum fungsida.

Sangat rentan mengalami penyakit yang timbul akibat kerja, karena Buruh perempuan ini dibeberapa Perusahaan perkebunan kelapa sawit bekerja tidak dilengkapi Alat Pelindung Diri (APD) tidak diberikan Extra Voeding bagi yang bekerja berhubungan dengan bahan kimia, bahkan dapat dimungkinkan kesehatannya tidak diperiksa secara berkala.

Selain itu Buruh perempuan kerap mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diperlakukan sangat diskriminatif, seperti upah yang dibayar sangat murah, jauh dibawah nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai pekerja lajang dengan kadar 3.000 Kalori Perhari, tidak mendapatkan santunan dan jaminan sosial. Dalam hal ini tidak dipesertakan sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan, Bonus dan hak normatif lainnya sesuai yang tersebut dalam Undang-Undang dan/atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Perusahaan perkebunan kelapa sawit biasanya merekrut Buruh perempuan ini dari Desa-Desa disekitar perusahaan, dan pada pagi hari saat berangkat bekerja, begitu juga ketika pulang bekerja, diangkut dengan kenderaan bak terbuka, seperti truk dan pikc-up, diperlakukan sama dengan mengangkut hewan, padahal mereka adalah manusia, ibu dari anak-anaknya. Tentu tidak dapat kita bayangkan bila terjadi kecelakaan lalulintas.

Lahirnya organisasi nirlaba Roundtaible on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan di sektor industri kelapa sawit dan bertujuan untuk mengimplementasikan standar global produksi minyak sawit berkelanjutan (sustainable) dan diharapkan mampu memberikan perhatian tentang aspek gender, (Gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan
tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan) ternyata sama sekali belum mampu membawa perubahan. Hal ini dapat dilihat pada sebagian Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah terdaftar sebagai anggota RSPO dan sudah memiliki sertifikat RSPO baik swasta maupun BUMN masih melakukan eksploitasi tenaga kerja, khususnya kepada Buruh Perempuan.

Sementara status “sustainable” diberikan melalui sertifikasi kepada pabrik kelapa sawit adalah Pabrik Kelapa Sawit beserta rantai pasoknya yang telah mematuhi prinsip dan kriteria RSPO untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, termasuk aspek gender.

Proses audit sertifikasi secara berkala yang dilakukan oleh beberapa lembaga sertifikasi diduga hanya sebagai formalitas saja, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan audit sertifikasi, stakeholder yang berhubungan dan berkaitan tidak di ikut sertakan.

Sementara untuk menghilangkan isu “Gender”, ini Indonesia sudah memiliki beberapa regulasi, mulai dari konstitusi Negara UUD-1945, Piagam HAM, DUHAM, UU.No.39/1999 tentang HAM dan Undang- Undang tentang ketenagakerjaan.

Sangat disesali dan disayangkan, semua regulasi tersebut ternyata tidak mampu memberi perlindungan kepada Buruh perempuan di perusahaan perkebunan kelapa sawit.