Akankah Omnibus itu “Gilas” Buruh?

Jakarta,KPonline – Tahun 1820 “Bus Omni” pertama kali dipakai di Paris. Bus omni dipakai untuk mengangkut banyak orang dengan berbagai jenis barang milik penumpang. Apa saja bisa masuk.

Paris yang pertama kali menggunakan istilah Omnibus. Bus jenis Omni. Sejak saat itu segala sesuatu yang bisa dimasuki apa saja disebut Omnibus.

Bus Omni lantas sangat populer. Itulah kendaraan besar “pengangkut berbagai jenis” keperluan.

Omnibus pun dipakai sebagai istilah generik. Apa pun yang bisa dipakai ramai-ramai disebut Omnibus.

Pun di bidang hukum.Omnibus Law adalah satu paket hukum yang isinya berbagai jenis hukum.

Atau, satu UU yang di dalamnya melingkupi banyak UU terkait. Omnibus law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana.

Istilah hukum tersebut belakangan ini sedang marak di Indonesia. Pasalnya, pemerintah Indonesia sedang menyusun omnibus law yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM.

Secara proses pembuatan, pakar hukum menyebut bahwa tidak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya. Hanya saja, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait.

Sejauh ini, pemerintah telah menyisir 74 undang-undang yang akan terkena dampak omnibus law.

Menurut Presiden Jokowi, bila pemerintah hanya menyisir UU satu per satu untuk kemudian diajukan revisi ke DPR, maka proses dapat memakan waktu hingga lebih dari 50 tahun

Bagaimana dengan dampak terhadap perundangan perburuhan? Ekonom senior Faisal Basri kepada media menilai Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan berbahaya. Sebab, aturan baru itu tidak melibatkan buruh dan pemerintah daerah.

Menurut Faisal, buruh dan pemerintah daerah ialah elemen penting dalam perbaikan iklim investasi. Sayangnya, menurut Faisal, kedua hal itu dipandang sebelah mata dan hanya jadi obyek undang-undang.

“Sangat berbahaya, tidak ada kepentingan buruh yang terwakili dalam proses pembuatan UU ini. Tidak ada kepentingan daerah,” ujarnya di Jakarta Pusat, Rabu (18/12) malam.

Kemudian, lanjut dia, pembahasan omnibus law cenderung tertutup, tak ada kajian akademis yang dipaparkan ke publik. Akibatnya, publik hanya menjadi obyek dan seolah-olah dipaksa menerima barang jadi saja.