“Upah buruh bukan lagi urusan kami…”

Jakarta, KPonline – Sudah sama-sama kita ketahui, berapa besarnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Di berbagai daerah, Gubernur menetapkan kenaikan UMK sebesar 8,71%. Sesuai dengan PP 78/2015. Tak terkecuali di Kabupaten/Kota yang Walikota atau Bupatinya merekomendasikan keputusan lebih tinggi, seperti Tangerang, Serang, Cilegon, dan Pasuruan.

Terhadap keputusan ini, kaum buruh bereaksi. Penolakan dilakukan di mana-mana. Aksi besar-besaran. Bahkan hingga larut malam.

Namun apakah itu mempengaruhi keputusan Gubernur? Sejauh ini, tidak.

Jawaban para Gubernur tak mengenakkan hati. Bahwa persoalan upah bukanlah wewenangnya. Daerah hanya menjalankan peraturan. Mereka beranggapan demo ke kantor Gubernur salah alamat.

“Kalau menolak PP 78/2015, seharusnya demo ke pemerintah pusat,” argumentasi ini yang disampaikan.

Tetapi kita tahu, ini adalah cara untuk lepas tangan.

Jika Gubernur sudah mengatakan bahwa upah bukan lagi urusannya, lalu apa lagi yang bisa diharapkan buruh? Masih perlu kah melakukan aksi besar-besaran ke Gubernur? Mendesak mereka melakukan revisi?

Tentu saja, aksi di tiap-tiap daerah masih perlu dilakukan. Bahkan menjadi kewajiban. Semakin kaum buruh mundur dan tidak melakukan perlawanan, maka akan ada pemikiran bahwa dengan PP 78/2015 upah buruh akan baik-baik saja.

Kalau Gubernur merasa permasalahan upah bukan urusannya, tetapi bagi buruh jelas ini urusan mereka. Maka biarkan buruh melakukan apa yang harus dilakukan untuk memastikan upah mereka menjadi layak.

Sebab jika kaum buruh itu sendiri tak peduli, lalu kita akan berharap siapa lagi?