Ini Alasan Mengapa Dulu PTKP Dinaikkan 4,5 Juta. Sebelum Diturunkan, Sebaiknya Sri Mulyani Baca Kembali

Ilustrasi pekerja.

Jakarta, KPonline – Defisit anggaran negara kian mengkhawatirkan. Bahkan nyaris tembus 3 persen, batas maksimal yang dibolehkan oleh Undang-Undang. Tidak hanya itu, hingga akhir Mei 2017 lalu, jumlah total utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 3.672,33 triliun. Jumlah ini meningkat hingga Rp 1.067,4 triliun, sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014. Tidak aneh jika kemudian rakyat dikejar-kejar pajak untuk menutupi anggaran yang kurang.

Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, beberapa utang jatuh tempo dalam periode dua tahun ke depan, yani 2018 dan 2019. Dalam rincian DJPPR, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar Rp 420 triliun. Apabila dijumlah, totalnya sekitar Rp 810 triliun. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Barangkali itulah sebabnya, Pemerintah terlihat sibuk mencari tambahan dana. Salah satu yang terasa adalah pencabutan subsidi listrik. Tidak cukup dengan itu, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai upah minimum juga akan diterapkan. Padahal, sebelumnya pemerintah sudah menaikkan PTKP menjadi sebesar 4,5 juta per bulan.

Jika benar PTKP akan diturunkan sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), maka buruh yang penghasilannya Rp 1.337.645 ke atas akan kena pajak. Hal ini, karena, upah minimum Provinsi yang terendah adalah Provonsi Yogyakarta, sebesar Rp 1.337.645.

Kehidupan buruh akan semakin sengsara. Sudahlah pengeluaran semakin besar akibat subsidi listrik dicabut, upahnya yang minim itu masih akan dipotong pajak.

Penurunan PTKP bertolak belakang dengan pemikiran Menteri Keuangan sebelumnya, yang justru menaikkan PTKP ketika ada kenaikan upah minimum. Oleh karena itu, sebaiknya Sri Mulyani menyimak kembali apa alasan Menteri Keuangan sebelumnya. Bukankah presidennya masih sama? Jika ini tetap dipaksakan, maka wajar jika kalangan buruh beranggapan Pemerintah plin-plan.

Kenaikan PTKP Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Sebelumnya, tahun 2015, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari semula Rp 2.025.000 per bulan menjadi Rp 3 juta per bulan. Saat itu, Bambang mengungkapkan, setidaknya ada 3 alasan PTKP disesuaikan besarannya. Pertama, adanya perlambatan ekonomi. Kedua, perlunya meningkatkan daya beli masyarakat dan yang ketiga, yakni menyesuaikan dengan kenaikan upah minimum provinsi 2015.

Dengan adanya penyesuaian ini diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi, investasi, hingga meningkatkan konsumsi masyarakat. Berdasarkan perhitungannya, Bambang memaparkan, jika langsung berlaku, kenaikan PTKP bisa mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 0,09 persen, konsumsi Rumah Tangga 0,07 persen, investasi 0,19 persen, dan inflasi 0,04 persen.

Kenaikan PTKP sebelumnya dilakukan pada 1 Januari 2013, dari batasan semula sebesar Rp 15,8 juta pertahun menjadi Rp 24,3 juta, pada zaman Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Ketika itu, berdasarkan perhitungan pemerintah, kenaikan batasan PTKP akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi 2013 hingga 0,08 persen. Dengan adanya tambahan pertumbuhan ekonomi tersebut, lapangan kerja baru bertambah sebanyak 0,0031 persen dari target 2013.

Pada kuartal I-2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 4,7 persen. Konsumsi masyarakat sebagai penyumbang terbesar dari pertumbuhan ekonomi tersebut, mampu bertumbuh sebesar 5 persen atau stagnan dibandingkan kuartal IV-2014. Konsumsi masyarakat sempat mencapai 5,5% ketika kenaikan PTKP diberlakukan pada kuartal I-2013.

Kenaikan PTKP Mendorong Konsumsi Masyarakat

Setahun kemudian, tepatnya tahun 2016, Kementerian Keuangan menaikkan PTKP dari semula Rp 3 juta per bulan menjadi Rp 4,5 juta per bulan mulai diberlakukan Juni ini. Inilah yang berlaku saat ini.

Tujuan dari kebijakan ini untuk mendorong konsumsi masyarakat.

Dalam hitungan pemerintah, dengan kenaikan PTKP tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 0,16 persen. Lebih jauh Bambang mengatakan, pemerintah berharap kebijakan itu dapat kembali memperkuat daya beli masyarakat yang sempat terpuruk akibat pelemahan ekonomi nasional dan dunia, termasuk anjloknya harga komoditas.

Apalagi, kata dia, upah minimum di Provinsi, Kabupaten/Kota naik setiap tahun. Sebagai contoh Karawang yang memberlakukan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2016 sebesar Rp 3,3 juta per bulan atau yang tertinggi di Jawa Barat. Sehingga jika masih menggunakan batasan PTKP Rp 3 juta per bulan, maka buruh berpenghasilan Rp 3,3 juta dipungut pajak.

“Kita berharap ini bisa menyumbang penguatan daya beli masyarakat karena seorang yang gajinya di bawah Rp 4,5 juta tidak harus bayar pajak. Jadi bisa dipakai buat konsumsi. Sekarang saja yang di Karawang UMK Rp 3,3 juta sudah kena pajak karena PTKP kemarin kan Rp 3 juta,” jelasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *