Hendri Saparini: Upah Riil Buruh dan Nilai Tukar Petani Menurun

Jakarta, KPonline – Menurut Ketua Kelompok Kerja Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi Komite Ekonomi dan Indonesia Nasional (KEIN) Hendri Saparini, data-data yang ada menunjukan bahwa konsumsi rumah tangga arahnya cenderung melambat. Menurutnya, pelemahan konsumsi rumah tangga terlihat dari upah riil buruh dan nilai tukar petani yang menurun. Dengan begitu, maka daya beli masyarakat juga mengalami penurunan.

Pemerintah harus waspada dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga nasional. Hal ini, karena, sebagian besar PDB disumbang konsumsi. Terlebih lagi, saat ini Indonesia menghadapi perlambatan konsumsi rumah tangga.

Hendri menambahkan, daya beli masyarakat yang melemah harus dicermati oleh pemerintah. Kalau pelambatan itu terjadi di kelompok atas, kegalauan kita tidak sebesar jika terjadi di kelompok bawah.

Berdasarkan data BPS, 40% masyarakat bawah di Indonesia pertumbuhan konsumsinya hanya 2%, sedangkan kelompok menengah ke atas tumbuh 7%. Oleh karena itu, pemerintah harus segera membenahi perlambatan konsumsi yang terjadi di kelompok bawah.

“Karena fakta dan data sudah ada dan menunjukan demikian. Kenapa orang mengurangi konsumsinya, alasannya harga sembako naik, BBM juga, premium tidak naik tapi kan ada produk BBM baru yang harus dibeli dengan harga lebih tinggi, lalu juga TDL naik, serta biaya pendidikan. Ini fakta ada bahwa semester I tidak tinggi, ini ada kekhawatiran,” ujar Hendri Saparini.

Hendri mengungkapkan, perlambatan konsumsi yang terjadi di kelompok bawah memang disebabkan menurunnya harga komoditas sejak 2010. Misalnya harga karet yang dulu sangat memengaruhi konsumsi masyarakat. “Jadi memang masuk akal dan ada sebabnya mereka konsumsinya menurun, ada perlambatan konsumsi yang perlu diwaspadai,” ujar dia.

Pemerintah masih bisa memperbaiki kondisi konsumsi rumah tangga baik di kelompok bawah maupun menengah atas dengan tidak lagi menaikkan tarif dasar listrik, melakukan cash transfer atau bantaun langsung tunai, serta mendorong distribusi kartu Program Keluarga Harapan (PKH).

“Juga perlu ciptakan optimisme. Jangan ada kebijakan fiskal atau kebijakan pajak yang membuat orang berpikir untuk konsolidasi,” kata Hendri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *