Turunkan Harga-Harga Barang

Unjuk rasa buruh menuntut harga sembako diturunkan.

Jakarta, KPonline – Salah satu kritik yang disampaikan terhadap serikat buruh adalah, mengapa selalu menuntut upah naik? Sementara tidak pernah terdengar tuntutan untuk menurunkan harga barang. Menurut mereka, percuma upah naik tinggi apabila kemudian diikuti dengan naiknya harga-harga. Lebih baik upah tidak naik, tetapi harga tetap murah.

Perihal serikat buruh tidak menyuarakan penurunan harga kebutuhan tentu tidak benar. Dalam May Day 2018, juga bertahun-tahun sebelumnya, KSPI menuntut turunkan harga BBM, listrik, dan sembako. Lebih jauh lagi, KSPI mendesak Pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pangan dan energi.

KSPI setuju dengan subsidi. Dalam hal ini, Pemerintah harus ikut campur tangan dan melakukan intervensi terhadap pasar agar harga-harga bisa dikendalikan. Subsidi mutlak diperlukan untuk barang-barang yang menjadi kebutuhan utama masyarakat.

Jika kemudian tuntutan terkait upah masih mendominasi, sebab itulah problem utama buruh di Indonesia. Daya beli masih rendah. Belum lagi jika dibandingkan dengan upah di beberapa negara tetangga. Kita masih jauh tertinggal.

Mengapa Upah?

Upah rata-rata pekerja di Asia Tenggara.

Mengapa banyak pihak yang merasa terganggu dengan tuntutan kenaikan upah?

Kalau itu pengusaha, saya bisa memahami. Sebab mereka tentu akan berhitung ketika diminta untuk membagi keuntungannya. Tetapi jika sesama buruh?

Pertanyaan ini mengingatkan saya dengan perbincangan di commuterline, beberapa bulan yang lalu. Saya baru pulang dari menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Perempuan itu naik dari stasiun Sudirman. Terlihat berkelas. Tas hitam dengan high heels di kakinya yang jenjang.

Ia duduk di samping saya yang sedang menerima telepon dari wartawan. Saat itu, si wawancara menanyakan seputar tuntutan KSPI mengenai upah layak.

Dari situ awalnya. Seusai wawancara via telepon itu, ia menyapa saya.

“Dari SPSI ya, mas?” Yang kemudian saya luruskan, bahwa saya dari KSPI.

Sambil mendekap tas hitamnya, ia menanyakan mengapa buruh selalu menuntut kenaikan upah? Nggak takut perusahaan bangkrut? “Teman-teman saya yang kerja di kawasan Thamrin aja masih banyak yang belum UMK. Mereka kebanyakan sarjana lo, mas.”

Saya dengan cepat bisa menyimpulkan. Kerja di kawasan elit ibukota, sarjana, gajinya tak lebih besar dari “buruh rendahan di pabrik” yang barangkali tak lulus SMA.

Saya bertanya-tanya. Apakah ini sebabnya? Iri melihat buruh-buruh yang dengan gagah berani menuntut upah tinggi karena tak sudi upahnya dibayar murah sekali? Sementara para pekerja yang merasa memiliki kelas lebih tinggi ini tidak bisa melakukan hal serupa.

Berjuang untuk upah layak itu berat. Biarkan serikat yang melakukannya. Sila duduk manis menunggu hasil. Tidak usah nyinyir dengan perjuangan kaum buruh, yang jika berhasil, toh itu berlaku untuk semua.

Kembali ke soal tuntutan buruh untuk menurunkan harga-harga.

Sebenarnya, tuntutan itu senafas dengan tuntutan kenaikan upah. Dalam regulasi, kenaikan upah minimum salah satunya didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL). Nilai KHL sendiri didasarkan pada hasil survey terhadap harga-harga kebutuhan tertentu.

Tentu saja, kualitas dan kuantitas KHL harus ditinjau ulang. KSPI menuntut 84 item, dengan kualitas yang benar-benar layak. Sementara saat ini baru 60 item dengan kualitas yang belum memadai.

Jika pemerintah berhasil menurunkan harga, dengan sendirinya hasil survey KHL akan rendah. Karena harga-harga murah, tentu dengan sendirinya tuntutan kenaikan upah tidak setinggi saat ini.

Apa lacur, berdasarkan PP 78/2015, KHL tidak lagi digunakan sebagai acuan yang akibatnya harga kenaikan barang tak terkejar dengan kenaikan upah. PP 78/2015 merusak sistem pengupahan di Indonesia yang semula didasarkan pada perundingan unsur tripartit di Dewan Pengupahan menjadi sekedar otoritas sepihak dari penguasa.

Catatan Ketenagakerjaan: 4 Ramadhan 1439 H