Terpukul Corona

Jakarta, KPonline – Sudah lebih dari dua bulan ini mereka tidak mendapatkan upah. Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ironisnya, hak-hak mereka — para pekerja — yang sudah bekerja bertahun-tahun belum juga dibayarkan.

Perusahaan beralasan, tak ada uang untuk membayar pesangon. Tetapi bagi saya, jawaban itu hanya omong kosong. Pengusaha mestinya tahu, bahwa membayar pesangon adalah kewajiban.

Oleh karena itu, setiap bulan seharusnya dicadangkan. Sehingga ketika perusahaan tutup, tak ada alasan mengorbankan buruh dengan tidak memberikan uang pesangon.

Janjinya uang pesangon akan diberikan setelah asset-asset laku terjual. Tetapi seringkali ini pun cuma mimpi. Sebab fakta yang sebenarnya hanya akan membuat perut mual. Pembayaran pesangon tak kunjung terealisasi.

Tetapi bukan buruh kalau mudah luruh. Mereka terus berjuang. Demi apa yang disebut sebagai, hak.

Untuk bertahan hidup, apa saja dilakukan. Ada yang berjualan, menjadi pengemudi ojeg online, atau kerja serabutan. Apa saja.

Demi menopang ekonomi keluarga, istri para pekerja yang ter-PHK itu pun turun tangan. Tak sedikit yang menjadi pekerja rumah tangga. Mencuci, menyetrika, bersih-bersih di rumah orang yang lebih mapan hidupnya. Mereka bekerja hari ini untuk makan hari ini.

Semua berubah saja Covid-19 menyerang. Jika sebelumnya mereka bisa bertahan hidup dengan pekerjaan harian yang mereka lakukan, kini semuanya menjadi suram.

Jualan tidak laku, makin sedikit orang yang naik ojeg akibat banyak yang bekerja dari rumah dan melakukan sosial distancing. Pun tak ada lagi yang menggunakan jasa untuk mencuci dan menyetrika.

Bagi mereka, berada di rumah sama artinya tidak bekerja. Dan tidak bekerja adalah bencana.

Berbicara dampak ekonomi akibat Covid-19 bagi buruh, bukan sesederhana anjuran bekerja dari rumah atau ancaman kehilangan pekerjaan. Tetapi juga menyangkut mereka yang sampai saat ini masih berjibaku mencari keadilan. Sebagian dari mereka berada di tenda-tenda perjuangan, tanpa ada kejelasan.