Pelalawan, KpOnline-
Warung kopi kecil di pinggir Jalan Lintas Timur sore itu tampak biasa saja, sebuah meja kayu usang, kursi plastik yang tak lagi simetris, dan suara kendaraan berat melintas seperti alunan yang sudah akrab bagi para buruh setempat. Tapi di balik setiap cangkir kopi hitam dan cemilan, tersimpan obrolan yang tak kalah penting.
Adi, salah satu buruh senior yang kini aktif sebagai kader serikat, duduk santai ditemani tiga kawannya: Surya, Wildan, dan Bowo, masing-masing mewakili generasi buruh yang berbeda. Obrolan santai dan canda tawa sampai ke topik serius tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai pekerja di negeri sendiri.
“Dulu mah, kerja buruh itu kayak ikut latihan bela diri, dilempar ke pabrik, disuruh kerja rodi, pulang bawa capek dan kadang cuma ucapan terima kasih yang nggak ngenyangin,” cerita Adi disambut tawa kawan-kawannya. Belum ada upah minimum yang pasti, lembur sering nggak dibayar, apabila ada buruh yang protes pasti perusagaan mengatakan kalau nggak suka, keluar aja.
Wildan yang merupakan aktivia muda, menanggapi, “sekarang setidaknya kita punya undang-undang. Kita bisa menuntut hak, punya BPJS, cuti tahunan, cuti melahirkan, bahkan ada aturan keselamatan kerja. Tapi ya itu, di lapangan banyak juga yang belum sesuai, terkadang manajemen pintar memutar balik fakta dan bermain-main dengan logika untuk mengelabui buruh yang minin pengetahuan akan haknya”.
“Gue sih mikir, kerja zaman sekarang itu kayak pacaran, ada komitmen, ada hak, tapi juga harus jaga tanggung jawab. Jangan sampai karena sibuk nuntut hak, lupa kalau kita juga wajib kerja bener dan jangan sampai kita saling sikut gara-gara beda bendera serikat pekerja”, ujar Bowo.
Adi mengangguk setuju, “tanggung jawab itu bukan cuma datang kerja tepat waktu, tapi juga solidaritas. Jangan sampai buruh disuruh lawan buruh. Kita ini satu nasib, satu perjuangan apalagi sekarang teknologi semakin maju, bisa jadi nanti pekerjaan kita digantikan robot, api nilai kebersamaan itu nggak bisa digantikan”.
Saat ditanya soal masa depan buruh, Adi menatap jauh ke jalan lintas yang mulai diselimuti gerimis. “Masa depan buruh itu tergantung dari kesadaran hari ini. Kalau kita terus belajar, bersatu, dan berani bersuara, buruh Indonesia akan kuat. Tapi kalau kita lengah, masa depan kita bukan diambil teknologi, tapi dirampas ketidakpedulian kita sendiri”.
Obrolan ditutup seirama dengan kopi yang sudah hampir habis, tapi di balik canda mereka, tersimpan makna besar bahwa perjuangan buruh tidak pernah selesai. Dari zaman kerja tanpa perlindungan, hingga hari ini untuk mendapatkan haknya buruh masih harus diperjuangkan bersama, hingga generasi penerus,l.
Penulis: Heri
Foto: Team Mp Pelalawan