Purwakarta, KPonline-Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) adalah salah satu regulasi paling kontroversial dalam sejarah legislasi Indonesia. Didesain dalam format omnibus law, UU ini mencakup revisi lebih dari 70 undang-undang sekaligus, termasuk UU Ketenagakerjaan, UU Lingkungan Hidup, UU Ketenagalistrikan, dan lainnya. Pemerintah beralasan bahwa UU ini dibuat untuk menciptakan kemudahan berusaha, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, dari awal kemunculannya, UU Cipta Kerja sudah menuai gelombang protes dari serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga mahasiswa. Salah satu kritik paling tajam datang dari proses pembentukannya yang dinilai tergesa-gesa, minim partisipasi publik, dan penuh inkonsistensi.
Puncaknya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat. Kemudian, putusan ini diperkuat dengan pembatalan sejumlah pasal dalam putusan-putusan berikutnya yang dikeluarkan MK atas uji materi terhadap pasal-pasal spesifik dalam UU Cipta Kerja dan UU Nomor 6 Tahun 2023 (Perppu yang disahkan menjadi UU).
#Tergesa dan Minim Partisipasi
UU Cipta Kerja disusun dalam waktu singkat tanpa pembahasan yang memadai. Draf yang berubah-ubah, ketidaksingkronan antar pasal, hingga ketertutupan proses legislasi menjadi kritik utama. MK menyoroti bahwa dalam proses pembentukan undang-undang harus ada partisipasi publik yang bermakna, bukan hanya formalitas.
“Partisipasi publik yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR hanya bersifat seremonial, tidak menjamin adanya masukan yang diakomodasi secara substansial,” demikian bunyi pertimbangan MK.
Daftar Pasal yang Dianulir MK
1. Pasal 81 tentang Perubahan UU Ketenagakerjaan.
Pasal 81 UU Cipta Kerja mengubah banyak ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa perubahan yang dianulir MK antara lain:
•Penghapusan ketentuan batasan jenis pekerjaan alih daya (outsourcing)
Sebelumnya hanya pekerjaan penunjang yang boleh di-outsourcing-kan. Setelah UU Cipta Kerja, semua jenis pekerjaan bisa dialihkan. MK membatalkan ketentuan ini karena tidak memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja.
•Perubahan waktu kerja dan istirahat
UU Cipta Kerja membuka ruang kerja kontrak lebih panjang, jam kerja fleksibel tanpa jaminan kelelahan kerja, dan pengurangan cuti. MK menilai ini melanggar hak pekerja atas waktu istirahat.
•Kemudahan PHK tanpa pertimbangan sosial. Beberapa pasal terkait prosedur PHK dipermudah, termasuk alasan PHK karena efisiensi tanpa menutup perusahaan. MK menilai ini tidak adil bagi pekerja dan bertentangan dengan prinsip perlindungan kerja.
2. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan (PKWT)
Pasal ini memungkinkan kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) diperpanjang lebih lama dari sebelumnya, tanpa kejelasan batasan maksimal. MK menyatakan ketentuan ini membuka ruang praktik “kontrak abadi” yang bertentangan dengan jaminan kepastian kerja.
3. Pasal 88C dan 88D tentang Upah Minimum
UU Cipta Kerja mengubah formula penghitungan upah minimum yang sebelumnya mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. MK membatalkan pasal ini karena:
•Tidak menjamin kesejahteraan pekerja.
•Mengabaikan prinsip keadilan sosial.
•Tidak sesuai dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang adil dan layak.
4. Pasal 175A dan 175B UU Ketenagalistrikan
Perubahan ini memungkinkan swasta mengelola sektor ketenagalistrikan tanpa kendali negara. MK menilai bahwa listrik adalah cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
#Gelombang Perlawanan Buruh
Protes terhadap UU Cipta Kerja telah berlangsung sejak 2020. Serikat pekerja seperti KSPI, FSPMI, KSPSI AGN, hingga Partai Buruh menggelar aksi nasional menolak omnibus law. Unjuk rasa, mogok kerja, hingga judicial review ke MK menjadi rangkaian strategi perjuangan.
“UU ini menghancurkan perlindungan kerja yang dibangun sejak reformasi. Kami tidak akan diam,” ujar Said Iqbal dalam pidatonya saat aksi besar Oktober 2020.
Putusan MK disambut sebagai kemenangan moral oleh buruh. “Ini buah dari konsistensi perjuangan kelas pekerja. Hukum bisa dibalikkan oleh tekanan publik,” ungkap Jumisih, Ketua Umum KASBI.
#Respons Pemerintah dan DPR
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan menghormati putusan MK. Namun tetap menyatakan bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Sementara DPR dinilai tidak cukup reflektif. Sebagian fraksi menilai koreksi MK tidak substansial, padahal putusan MK bersifat final dan mengikat.
#Perspektif Akademisi dan Pakar Hukum
Prof. Zainal Arifin Mochtar (UGM) menyebut UU Cipta Kerja sebagai contoh buruk legislasi. “Ini sinyal bahaya terhadap praktik legislasi yang dibajak oleh kepentingan elite ekonomi,” ujarnya.
Sementara Prof. Bivitri Susanti (STH Indonesia Jentera) mengatakan bahwa judicial review ini membuktikan pentingnya peran masyarakat sipil dalam menjaga konstitusi. “Ujian sebenarnya adalah apakah pemerintah dan DPR akan tunduk pada konstitusi atau tetap membangkang dalam bentuk regulasi baru dengan substansi sama,” tegasnya.
Apa Dampaknya bagi Buruh dan Rakyat Kecil?
1. Perlindungan Kerja Lebih Terjamin
Dengan pembatalan pasal-pasal tersebut, posisi pekerja kontrak, buruh outsourcing, dan karyawan dengan upah minimum mendapat dasar hukum yang lebih kuat.
2. Revisi Regulasi Diperlukan
Pemerintah harus merevisi pasal-pasal yang dibatalkan agar sesuai dengan Putusan MK. Proses ini harus transparan dan partisipatif.
3. Penguatan Serikat Pekerja
Keberhasilan judicial review ini menegaskan pentingnya kekuatan kolektif serikat pekerja dalam melawan regulasi yang tidak berpihak.
#Pelajaran Konstitusional dan Jalan Ke Depan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja bukan sekadar koreksi hukum. Ini adalah koreksi moral dan konstitusional terhadap kesewenangan dalam proses legislasi. Ke depan, pembentukan undang-undang harus menjamin partisipasi publik yang bermakna, bukan sekadar formalitas belaka.
Lebih dari itu, perjuangan melawan ketidakadilan harus terus dijaga. UU Cipta Kerja adalah pelajaran bahwa suara rakyat, jika disuarakan bersama dan konsisten, bisa mengguncang kekuasaan.
Sebagaimana kata pepatah lama. “Ketika hukum tak lagi melindungi rakyat, maka rakyatlah yang harus melindungi hukum”
Catatan:
Artikel ini disadur dan dirangkum dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dokumen UU Cipta Kerja, serta berbagai sumber terpercaya seperti Kompas, Tempo, CNN Indonesia, dan Liputan6.