Mujahidah Dari Purwakarta
Oleh: Yeni Kartikasari
Ini kisah usang yang tak diketahui banyak orang. Tentang sosok hebat yang membuka jalan perubahan. Ia seorang perempuan. Tidak memiliki otot kekar. Tetapi berjiwa tegar.
Ia mujahidah. Pejuang perempuan. Telah banyak memberikan inspirasi kepada banyak orang untuk melawan ketidakadilan. Menumbuhkan keberanian kepada orang-orang kecil untuk tidak takut pada penguasa kejam yang sedang berkuasa.
Namanya Siti Zuba’edah. Akrab dipanggil Teh Ida. Perempuan ini lahir di Palembang pada tanggal 9 Agustus 1980. Ia menginjakkan kaki di Purwakarta tahun 1999, hanya dengan bermodal keberanian dan doa ibunya. Satu prinsip hidup yang sampai saat ini dipegangnya adalah. “Jika kamu benar maka tak perlu takut. Karena kebenaran akan keluar dan dibuktikan oleh Allah.”
Di Purwakarta, ia menjadi karyawati sebuah perusahaan garment. Ia bekerja dengan cekatan. Dengan kemampuan yang dimilikinya, akhirnya ia mendapatkan kepercayaan dari atasan. Diberi perhatian lebih dan juga dibanggakan.
Setelah bekerja sekian lama, akhirnya ia tahu, ada banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Itulah yang membuatnya geram, marah dan kecewa. Semacam perasaan sakit hati karena tak dihargai.
Sejak awal bekerja, ia selalu mentaati peraturan perusahaan. Kewajiban sudah ditunaikan. Karena itulah, ia tak terima jika kemudian perusahaan tidak memberikan apa yang seharusnya menjadi haknya. Misalnya, jam kerja yang melebihi batas kewajaran, cuti-cuti yang tidak dipenuhi (cuti haid, cuti hamil, cuti tahunan), dan upah yang dibawah UMK.
Ia mulai melakukan protes. Atas sikapnya ini, ia berhadapan dengan para atasan yang pernah membanggakan dirinya. Ia yang dulu dibanggakan, kini dibenci. Dianggap kacang lupa pada kulitnya. Tak lama setelah itu, ia dimutasi dari QC menjadi operator mesin printing. Tapi ia tak merasa menyesal dan mundur. Ia berpikir, inilah kesempatan untuk membangkitkan semangat teman-temannya dalam berjuang.Pada tahun 2002, ia bergabung dengan serikat pekerja yang ada di perusahaannya. Saat itu, ditempatnya bekerja ada tiga serikat pekerja.
Hingga satu ketika, ia bertemu Mikha. Mikha adalah mahasiswi Universitas Micighan di Amerika, yang juga aktifis sebuah LSM bernama WRC (Work Right Consorsium). Melalui WRC, ia mengadukan semua pelanggaran hukum yang terjadi diperusahaan kepada buyer perusahaan garmen ini ke Amerika.
Mendapat pengaduan itu, beberapa teman dari luar negeri datang ke Indonesia. Mereka datang untuk mendukung pergerakan dan perjuangan di perusahaan garmen itu.
Ia tahu, perusahaan tempatnya bekerja telah menutup-nutupi keadaan dan kenyataan yang ada. Perusahaan tempatnya bekerja telah berjanji menyanggupi semua prasyaratan dan peraturan kode etik pekerja (COC, Code Of Conduct) yang tidak dipenuhi pihak perusahaan. Isi dari COC sama seperti yang dicantumkan perjanjian ILO. Memberi upah para karyawannya diatas normatif, memberikan hak para karyawannya seperti cuti dan kebebasan berorganisasi.
Ia diundang untuk datang ke kantor YTKI (Yayasan Tenaga Kerja Indonesia) di Jakarta. Disana teman-teman mahasiswa Jerman yang tergabung dalam FES (Friedrich Ebert Stiftung) mengadakan sebuah acara yang membahas COC (Code Of Conduct Workshop) kode etik pekerja. Sesuai dengan peraturan perusahaan, ia dan sahabatnya, Evi, meminta dispensasi atau cuti tahunan kepada pihak perusahaan untuk menghadiri undangan itu. Alih-alih memberikan izin, pihak perusahaan justru menyodorkan surat pemecatan kepada dua orang sahabat ini.
Tentu saja, keduanya menolak di PHK. Keduanaya juga tetap berangkat ke YTKI untuk menghadiri acara tersebut selama lima hari. Pihak perusahaan merasa bingung, takut, dan resah. Pihak perusahaan berdalih, bahwa kedua orang tersebut telah mangkir dari tanggung jawabnya. Dan dengan atas dasar itu pihak perusahaan melakukan PHK.
Sekembalinya dari Jakarta, ia bekerja seperti biasa. Namun management memanggilnya dan memberitahukan jika perusahaan tidak lagi mengijinkan keduanya bekerja. PHK sudah dilakukan.
Dengan semua keberanian yang dimiliki, keduanya menolak di PHK. Mereka percaya, bahwa apa yang dialakukannya bukanlah sebuah kesalahan. Mereka telah memberi balasan surat kepada pihak perusahaan dan mencantumkan keterangan didalamnya.
Dua orang pejuang buruh ini bersikeras untuk tetap datang bekerja. Pihak perusahaan tak mau kalah. Mereka mengancam kedua orang tersebut. Bila tetap bersikeras datang, maka pihak perusahaan akan menangkap dan mengeluarkan paksa mereka dari lingkungan perusahaan.
Sudah tiga minggu, keduanya tidak masuk bekerja. Bukan berarti terbebas dari intimidasi pihak management. Mereka merasa seperti diikuti orang suruhan perusahaan. Mereka juga pernah mendapat acaman oleh orang yang tak dikenal. Atas hal ini, keduanya mendatangi pihak keamanan untuk meminta perlindungan.
Berita tentang PHK itu sampai ke WRC. Mereka melakukan kampanye di Amerika dan Jerman untuk memboikot produk andalan perusahaan. Didalam negeri, dukungan teman-teman buruh disuarakan.
Melihat perlawanan yang gigih itu, akhirnya pihak perusahaan memanggil keduanya untuk kembali bekerja. Meskipun demikian, pihak perusahaan tetap melakukan intimidasi kepada kedua orang sahabat itu. Bahkan menawari harta dan jabatan.
Alih-alih menerima tawaran itu, ia justru mengatakan bahwa permintaannya sederhana. Kami hanya ingin pihak perusahaan memenuhi hak karyawan serta tanggung jawabnya terhadap karyawan. Dibuat Perjanjian Kerja Bersama dan keberadaan serikat pekerja di perusahaan diakui.
Berhasil.
Tahun 2004, untuk pertamakalinya, pengusaha dan pekerja di perusahaan ini menandatangani PKB.
Ia aktif didalam serikat hingga tahun 2008. Karena satu dan lain hal, juga masalah yang menyangkut rumah tangganya, ia memutuskan untuk vakum dari serikat.
Setahun yang lalu, perusahaan kembali melakukan pelanggaran dan mangkir dari tanggung jawabnya untuk memberikan hak karyawan. Ia kembali turun tangan. Dengan serikat yang baru, ia kembali memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran.
Inilah semangat mujahidah. Semangat pejuang perempuan yang tak pernah padam dalam menegakkan keadilan, persamaan, dan kesejahteraan. (*)