Pentingnya Advokasi Non Litigasi

Sidoarjo, KPonline – Mungkin kita sudah mengenal apa yang biasa disebut dengan kata, advokasi. Rata-rata dalam pemikiran kita, arti dari advokasi adalah pembelaan saja. Apakah hanya cukup demikian penjelasannya? Uraian berikut bisa menambah pemahaman kita akan advokasi.

Dalam kegiatan Pendidikan Regular PC SPL FSPMI Kabupaten Sidoarjo pada hari Sabtu (25/03/2017) di Griya Ciptaningati Pacet, Mojokerto, Istigfar Ade Noordiyansyah dari LBH Surabaya menjelaskan bahwa advokasi adalah usaha untuk melakukan perubahan secara sistematis. Advokasi adalah bisa dilakukan semua orang, dengan batasan-batasan yang diatur dalam Undang-Undang.

Ternyata advokasi sendiri dibagi menjadi dua, yakni litigasi dan non litigasi. Advokasi litigasi adalah upaya penyelesaian kasus di dalam persidangan. Sedangkan advokasi non litigasi adalah kebalikannya, yakni penyelesaian kasus di luar persidangan (pengadilan).

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa dalam kasus di ranah perburuhan, misalkan kasus seorang buruh yang di PHK sepihak atau saat buruh tidak mendapatkan upah sesuai dengan aturan, disana tidak ada kesetaraan kekuatan diantara pelaku (pengusaha) dan korban (buruh). Pengusaha biasanya memiliki akses kepada kekuasaan. Memiliki relasi dengan pemerintah, aparat, dan lain-lain. Sedangkan di sisi lain, buruh sangat lemah di segala hal.

Jika ini dibiarkan bertarung dalam proses persidangan (litigasi), maka dipastikan tidak ada keseimbangan. Untuk itu advokasi non litigasi sangat diperlukan sebagai jalan lain untuk menyelesaikan sebuah kasus perburuhan. Advokasi non Litigasi dilakukan untuk menaikkan nilai tawar harus dilakukan agar terjadi negosiasi.

Jika nilai tawar buruh naik, maka disana ada kesetaraan kekuatan. Sehingga ada harapan munculnya sebuah negosiasi untuk penyelesaian kasus. Tidak mungkin akan ada negosiasi jika kesetaraan tidak diperjuangkan sebelumnya. Jadi sangatlah penting adanya kesetaraan itu. Untuk mewujudkan kesetaraan ini bisa dilakukan misalnya melalui aksi massa (demontrasi) dan pemogokan.

Jika suatu kasus bisa selesai di tingkat non litigasi, maka hal ini sangat sesuai dengan prinsip dasar pengadilan yang sederhana, murah, dan cepat.

Advokasi non litigasi dapat di lakukan dengan penyelesaian sengketa alternatif, yakni penyelesaian sengketa dengan meniadakan konflik dengan pihak-pihak yang berperkara di dalamnya meliputi mediasi (lobby), negosiasi, konsiliasi, dan abritase. Namun acap kali dalam upaya tersebut membutuhkan tenaga dan waktu yang besar, sehingga banyak tenaga yang terkuras dalam menjalani prosesnya. Oleh karenanya, LBH Surabaya memiliki konsep bantuan hukum struktural untuk mengatasi hal tersebut.

Dalam konsep Advokasi yang harus dipahami bukanlah kerangka kasusnya, melainkan kenapa kasus itu bisa muncul? Jika ada kasus sama terjadi berulang kali, maka pasti ada sistem yang tidak beres. Sistem tersebut bisa berupa produk kebijakan, aparatur penegak hukum, regulasi dan Undang-Undang.

Jika advokasi berangkat pada kerangka kasus maka apabila kasus tersebut selesai, sangat dimungkinkan akan terjadi lagi dilain waktu. Karena masih adanya system yang membentenginya. Oleh karena iitu lebih baik jika kita berfokus untuk mendobrak sistem untuk menyelesaikan sebuah kasus.

Sebagai contoh adalah kasus kriminalisasi yang terjadi pada Ketua PC SPL Surabaya, M Ismail dan kawan-kawan saat mogok kerja di Spindo beberapa saat lalu.

Bukankah konstitusi sudah menjamin adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan untuk berserikat? Lalu kenapa kenapa mereka masih di kriminalisasi? Berarti ada sistem yang tidak beres. Dalam hal ini aparatur penegak hukumnya maka dengan Undang-Undang yang ada bisa digunakan untuk mengingatkan aparat bahwa apa yang dilakukan itu salah. Sehingga kasus bisa selesai. Di sisi lain, kita juga menghantam sistem yang salah tersebut sehingga dikemudian kejadian sama tidak akan terulang.

Bukankah ini bentuk advokasi yang kita harapkan? Ini tidak bisa di lakukan dalam mekanisme hukum yang bersifat formal (pengadilan) dan juga tidak bisa dilakukan dalam mekanisme hukum yang tidak setara seperti yang dijelaskan sebelumnya. Jadi, sekali lagi, kesetaraan itu sangatlah penting.

Untuk mendukung penyelesaian sengketa alternatif perlu dilakukan upaya upaya sebagai berikut:

Pertama, Pengorganisasian (berserikat). Hal ini sangat perlu karena bila buruh masuk dalam serikat, maka jika terjadi satu kasus akan menjadi tanggung jawab bersama. Adanya rasa solidaritas karena merasa dalam satu organisasi dan kemungkinan kasus itu bisa menimpa pada anggota lain akan membentuk empati yang akan menggerakkan pergerakan massa yang besar. Ini menjadi kekuatan yang akan dipandang oleh lawan, secara tidak langsung kesetaraan kekuatan itu akan muncul.

Kedua, Kampanye. Bisa dilakukan dengan mogok kerja, demonstrasi, siaran pers, petisi, dan membangun jejaring. Dengan melakukan kampanye, maka satu permasalahan akan dilihat dan didengarkan oleh orang-orang di luar komunitas (organisasi), ini akan mampu membentuk pemahaman dan dukungan pada advokasi yang dilakukan. Dengan sendirinya bargaining (nilai tawar) buruh akan naik dan setara dengan pengusaha/pemerintah, sehingga akan muncul adanya negosiasi.

Ketiga, Riset. Upaya ini yang harus banyak dilakukan oleh kaum buruh agar memiliki data dan pemahaman yang cukup ketika menghadapi suatu permasalahan. Setiap penyelesaian kasus dan hal-hal yang berhubungan dengan advokasi hendaknya diketahui oleh setiap anggota organisasi bukan hanya diketahui oleh pengurus saja. Ini juga berkaitan erat dengan pengkaderan di dalam sebuah organisasi.

Jika riset dan investigasi (pemantauan) dilakukan dengan baik oleh anggota, maka akan sangat membantu kinerja pengurus dan jika terjadi regenerasi maka mereka yang menjadi pengurus akan memahami problematika yang pernah dihadapi sebelumnya.

Contoh sederhana yang bisa dilakukan untuk melakukan riset, misalnya mengumpulkan slip gaji. Dengan melakukannya maka kita bisa mengetahui berapa upah pokok kita, berapa kenaikan tiap tahunnya, dan lain lain. Dalam persoalan upah murah dan outsourcing, kita bisa melakukan riset dengan mengumpulkan legal opini pakar perburuhan, mencari data-data tentang dinamika pasar.

Keempat, Pendokumentasian. Akan sangat berguna dikemudian hari dalam upaya advokasi di luar persidangan bila setiap penyelesaian kasus terdokumentasi dengan baik. Kita bisa belajar dan mengetahui bagaimana proses penyelesaian suatu kasus bila terjadi lagi dikemudian hari karena sangat dimungkinkan. Proses advokasi akan dilakukan oleh generasi selanjutnya.

Dokumentasi yang baik menjadi syarat mutlak organisasi modern,termasuk didalamnya database anggota dan peta konflik (pemetaan siapa yang menjadi lawan atau kawan ) dari pendokumentasian tersebut akan menjadi pola atau catatan penting dalam kerja advokasi selanjutnya.

Dalam prakteknya advokasi baik Litigasi maupun non Litigasi dapat dilakukan bersamaan atau sendiri sendiri dengan memperhatikan kondisi yang terjadi.

Penulis: Khoirul Anam