Miris, Hari Gini Masih ada Keluarga Tinggal di Kandang Kerbau

Jakarta, KPonline – Satu keluarga di Pekalongan, Jawa Tengah, terpaksa tinggal di kandang kerbau karena belum beruntung secara ekonomi.

Wiwit Setianingsih (16) dan adiknya, Vivi Ratnasari (10), dua bocah yang memiliki keterbatasan fisik tersebut mau tak mau harus tinggal di atas bukit Mengger di Dukuh Mengger, Desa Sengare, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan.

Anak dari pasangan Dasirin (56) dan Tarkonah (50) itu menjalani keseharian dengan berdiam diri di dalam gubuk berukuran 4×6 meter.

Yang membuat warga sekitar prihatin, mereka tinggal bersama kerbau di tengah hutan. Terkadang, kedua orangtuanya pergi mencari nafkah sedari pagi hingga sore hari.

Jarak gubuk yang ditempati oleh keluarga tersebut sekitar lima kilometer dari permukiman warga, dan harus menembus hutan dengan beberapa tanjakan terjal untuk sampai ke lokasi tempat Wiwit dan Vivi tinggal.

Jerami dan kotoran ternak menjadi pemandangan sehari-hari ke dua bocah perempuan tersebut. Kondisi semakin parah jika menjelang gelap, karena keluarga Dasirin hanya mengandalkan lampu minyak untuk menerangi gubuk yang mereka tinggali.

Diketahui Wiwit mengalami kelumpuhan sejak menginjak kelas satu sekolah dasar. Sedangkan sang adik mengalami keterbelakangan mental.

Kedua orangtuanya hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keduanya harus membanting tulang dengan merawat kerbau milik orang dan menjadi buruh tani.

Saat Tribunjateng.com mengunjungi gubuk yang ditinggali Wiwit bersama keluarganya, ia menerangkan sangat ingin bermain bersama teman-teman lainya dan segera ingin pindah.

“Sangat ingin main bersama teman-teman dan ingin pindah,” ujar Wiwit terbata-bata, Sabtu (1/9/2018).

Wiwit dan sang adik sedikit susah untuk berkomunikasi karena jarang bertemu dan berbincang dengan orang lain.

Seolah ingin mengungkapkan sesuatu, sorot mata gadis 16 tahun itu terus tertuju pada orang asing yang mendatangi tempat tinggalnya.

Sembari duduk di sebelah sang adik, ia mengungkapkan pernah merasakan bangku sekolah, namun kemudian keluar.

“Dulu saya pernah sekolah tapi sampai kelas satu,” katanya dengan suara lirih.

Sementara itu, Dasirin menerangkan, terpaksa mengajak anak dan istrinya tinggal jauh dari permukiman karena tak punya tempat tinggal.

“Mau bagaimana lagi kami tidak punya apa-apa, untuk menyambung hidup saja kami harus banting tulang naik turun bukit menjadi buruh tani, dan merawat ternak berupa kerbau milik orang,” imbuhnya.

Dasirin sendiri sudah satu tahun tinggal di puncak Bukit Mengger, dan keluarganya ia ajak kurang lebih empat bulan lalu.

“Kedua anak saya tak pernah mengeluh, mereka tahu kondisi keluarga. Walaupun demikian kadang saya sangat sedih melihat kondisi kedua anak saya,” tambahnya.

Mata lelaki paruh baya itu berkaca-kaca kala menceritakan kehidupan keluarganya yang tinggal menyendiri di atas bukit.

“Ketika malam dan istri saya sering menangis melihat kondisi anak-anak, karena kedua anak kami punya keterbatasan ditambah ekonomi kami seperti ini,” katanya.

“Kadang Wiwit dan Vivi mengatakan kepada saya ingin jadi orang pintar dan ingin belajar terus menerus. Tapi apa daya kami keadaan ini memaksa kami hidup di kondisi seperti ini,” sambung Dasirin.

Guna mencukupi kebutuhan sehari-hari, tak jarang Dasirin memanfaatkan buah-buahan dan umbi yang ada di sekitar hutan.

“Adanya umbi ya kami makan, beruntung kalau ada buah. Hanya itu yang bisa kami berikan ke anak-anak,” jelas Dasirin.

“Beberapa waktu lalu saya juga salah memakan umbi hingga keracunan, kadang binatang hutan juga masuk ke gubuk kami saat anak-anak tinggal sendiri di gubuk. Kami tak bisa berharap apa-apa dan hanya bisa bertahan,” timpalnya. (Budi Susanto)

Artikel ini pernah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kisah Pilu Keluarga Miskin Tinggal di Kandang Kerbau di Hutan Pekalongan, Dua Anaknya Cacat