Mbah Tjokro di Terjalnya Median Media Milenial

Mojokerto, KPonline – Meski belum begitu siang, terik pagi itu sudah terasa menyengat ubun-ubun. Udara​ kering, panas dan berdebu di jalanan, seakan mengingatkan bahwa awal oktober lagi musimnya kemarau.

Namun begitu, Mbah Tjokro menjadi yang pertama datang di kantor itu perlunya untuk mengikuti rapat. Tempat tinggalnya yang berjarak puluhan kilometer dari lokasi, ternyata tidak menambah alasan untuk ketidakhadirannya.

Bacaan Lainnya

” Lha ndi arek-arek, Kok durung enek sing teko? Sido rapat gak? (Lha mana kawan-kawan, Kok belum ada yang datang? Jadi rapat tidak? .Red) ” Tanyanya pada panitia begitu kepalanya nongol di pintu kaca ruangan kantor konsulat cabang FSPMI Mojokerto.

Sambil berjalan masuk dan clingukan karena ternyata ruangan itu ber AC, ia meletakkan tasnya disebelah meja proyektor. Kemudian ia membetulkan sarung kawungnya agar tidak melorot dan tidak lupa meluruskan blangkonnya agar tidak miring.

Makan gak makan pokoknya kumpul

Duduk dilantai, ia memelintir kumisnya yang mbaplang agar bisa melingkar keatas. Konon kabarnya beberapa hari sebelumnya, pada saat ia tidur kumisnya dicukur istrinya karena makanan sering tersangkut disana.

Sejurus kemudian semua barang-barang di dalam tasnya sudah pindah diatas meja, termasuk berhala kesayangannya yaitu handphone dan laptop. Mulailah ia bersemedi dihadapan berhala itu, tanpa bersuara. Khas budaya jaman milenial.

Mbah Tjokro adalah sosok imajiner dari kesenian ludruk yang oleh Khoirul Anam dipakai untuk menganalogikan dirinya. Anam sendiri adalah salah satu punggawa tim Media Perjuangan Jawa Timur, medianya kaum buruh Indonesia. Kaum yang masih setia dengan perlawanan, perjuangan dan idealismenya.

Ia beranggapan bahwa sosok Mbah Tjokro adalah perwujudan perjuangan kaum marjinal yang ingin menjungkirbalikkan penalaran milenial dan generasi instan ditengah molak-maliknya jaman. Baginya berkepribadian dan berkemanusiaan adalah ciri mahkluk “koncone” (kawan) Tuhan.

Mbah Tjokro berkawan dengan Tuhan

Walaupun anam sendiri harus mengakui bahwa KHL nya Mbah Tjokro sudah ketinggalan, dari radio menjadi televisi, dari tabloid menjadi gadget plus kuotanya. Namun eksistensinya Mbah Tjokro sebagai manusia berkepribadian, berkemanusiaan dan berketuhanan haruslah tetap dipertahankan ditengah tuntutan jaman.

Kian siang, satu persatu peserta undangan rapat tim media dari perwakilan daerah-daerah di Jawa Timur mulai berdatangan. Ketua KC FSPMI Mojokerto Ardian Safendra ditengah kesibukannya, menyempatkan diri mampir untuk mensupport tim media.

” Sebenarnya kita tidak ada rapat, cuma diskusi saja. Silahturahmi dan dialog itu penting, kita juga jarang berkumpul. Untuk itu, semua undangan harap santai, sesantai-santainya, kalau memang perlu silahkan sambil tiduran, ” Kata Mbah Tjokro A.k.a Khoirul Anam membuka rapat.

Bagi mereka yang belum tahu, tentu akan saling berpandangan dan mengernyit keheranan, acara macam apa ini. Tetapi yang sudah lama kenal, pasti saling senyum sambil melempar candaan.

Obrolan terus mengalir, bergelas kopi dan camilan telah berhasil melewati kerongkongan. Semua mencari strategi bagaimana memposisikan media di era milenial dengan tetap menyuarakan perjuangan tanpa harus terbungkam.

 

Ademnya AC sudah tidak mampu lagi meredam hangatnya pergulatan pemikiran dari pemerasan otak yang disengaja. Tim media di uji nalar dan akalnya, antara sastra atau berita, antara ideologi atau politisasi, antara kuota atau numpang WiFi.

Dalilnya jelas, silahkan santai

Mbah Tjokro tidak ingin banyak berceloteh sebab kerja media adalah menjadi contoh. Mbah Tjokro juga tidak terlalu berharap, karena media adalah harapan saat tersisih dan terbungkam. Di median terjal itu Mbah Tjokro, Mbah Wanto, Mbah Sur maupun Mbah Met, masih setia berikhtiar, entah KHL bisakah disesuaikan.

Hasil hari itu sangat fantastis, ” Hari kerja, kita kerja. Saat libur, kita lembur. ”
Ya… Semacam dagelan dalam ludruk, kiasan diri.

__________

Wilwatikta, Suro 1952
Penulis yang tidak merasa menulis
– Mbahmu –

Pos terkait