KSPI Hadir dalam High Level Trade Union Meeting bersama IMF dan World Bank: Mendorong Keadilan Sosial, Reformasi Utang, dan Transisi yang Adil

KSPI Hadir dalam High Level Trade Union Meeting bersama IMF dan World Bank: Mendorong Keadilan Sosial, Reformasi Utang, dan Transisi yang Adil

Jakarta, KPonline – Perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Mimin Ida Nurjanah, menghadiri High Level Trade Union Meeting with IMF and World Bank yang diselenggarakan di kantor pusat Bank Dunia, Washington DC, Amerika Serikat, pada 19 hingga 20 Februari 2025. Kehadiran KSPI (yang berafiliasi dengan ITUC) dalam pertemuan tingkat tinggi ini merupakan bagian dari upaya global gerakan serikat pekerja untuk memastikan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia tidak mengabaikan isu-isu fundamental terkait hak-hak pekerja, keadilan sosial, serta dampak transisi menuju ekonomi rendah karbon terhadap kehidupan pekerja dan masyarakat luas.

Dalam pertemuan ini, serikat pekerja dari berbagai negara menekankan urgensi perubahan paradigma kebijakan ekonomi yang selama ini terlalu berfokus pada deregulasi pasar tenaga kerja, penghematan anggaran, serta fleksibilitas bisnis semata. Para pemimpin serikat pekerja mendesak IMF dan Bank Dunia untuk meninggalkan kebijakan lama yang kerap mendorong pemotongan anggaran publik dan justru memperkuat perlindungan sosial, menciptakan lapangan kerja layak, serta menjamin upah yang adil bagi seluruh pekerja. Selain itu, serikat pekerja menyoroti pentingnya penerapan sistem perpajakan progresif sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatan negara, dibandingkan terus-menerus menekan anggaran melalui kebijakan penghematan yang berdampak langsung pada layanan publik dan kesejahteraan pekerja.

Salah satu isu sentral yang diangkat dalam pertemuan ini adalah krisis utang yang melilit banyak negara berkembang. Para pemimpin serikat pekerja mendorong reformasi mendesak terhadap sistem keuangan internasional agar tercipta mekanisme penyelesaian utang yang adil, transparan, dan tidak memberatkan rakyat. Reformasi ini dipandang krusial agar negara-negara yang terlilit utang dapat keluar dari tekanan fiskal tanpa harus mengorbankan hak-hak pekerja dan layanan sosial dasar.

Topik penting lainnya yang menjadi perhatian serius dalam pertemuan ini adalah agenda transisi menuju ekonomi rendah karbon atau transisi hijau. Serikat pekerja menegaskan bahwa transisi ini harus berjalan secara adil, dengan memastikan perlindungan terhadap pekerja dan komunitas yang terdampak oleh peralihan dari industri berbasis energi fosil menuju energi terbarukan. IMF dan Bank Dunia didesak untuk memperluas dukungan pendanaan bagi program transisi yang adil agar para pekerja mendapatkan akses pada pelatihan keterampilan baru, perlindungan sosial, serta kesempatan kerja yang layak di sektor hijau.

Selain itu, perhatian khusus juga diarahkan pada laporan terbaru Bank Dunia yang dikenal sebagai Business Ready atau B-Ready. Laporan ini dikritik karena cenderung memberi peringkat tinggi kepada negara-negara dengan deregulasi ketenagakerjaan yang longgar, bahkan kepada negara-negara yang memiliki catatan buruk dalam penghormatan hak-hak pekerja. Sekretaris Jenderal ITUC, Luc Triangle, dalam pidatonya menegaskan bahwa Bank Dunia dan IMF memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung demokrasi, menghormati kebebasan berserikat, serta menjunjung tinggi keadilan sosial. Ia menyerukan agar lembaga keuangan internasional ini bekerja bersama gerakan serikat pekerja untuk memastikan stabilitas ekonomi makro dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada kesejahteraan manusia.

Lebih jauh, kritik terhadap B-Ready semakin menguat setelah diketahui bahwa indeks ini tidak hanya memberikan penghargaan kepada negara-negara dengan catatan pelanggaran hak buruh yang tinggi seperti Indonesia, Filipina, dan Kolombia, tetapi juga melemahkan perlindungan sosial dengan memberikan penalti kepada negara-negara yang mendanai jaminan sosial melalui pajak gaji. Metodologi ini dinilai sangat berbahaya karena hampir semua negara dengan sistem perlindungan sosial yang kuat menggantungkan pendanaannya pada kontribusi pajak gaji. Hal ini pada akhirnya justru mengikis kualitas perlindungan sosial itu sendiri.

Lebih dari itu, B-Ready juga dianggap mendorong ketidakpastian kerja dengan mempromosikan kebijakan ketenagakerjaan yang lemah seperti kontrak kerja jangka pendek yang tidak terbatas dan penetapan upah minimum yang rendah. Hal ini tidak hanya menurunkan kualitas pekerjaan, tetapi juga secara langsung membatasi ruang gerak serikat pekerja dalam memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik melalui perundingan bersama.

ITUC mendorong agar Bank Dunia segera menghapus indikator ketenagakerjaan dari B-Ready karena isu ketenagakerjaan tidak bisa dinilai secara sempit dan teknokratis dengan hanya mengutamakan kepentingan bisnis. ITUC juga menegaskan pentingnya dialog sosial yang sejati dengan melibatkan pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan, serta mengakui pekerja sebagai aktor utama pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Dalam kaitannya dengan transisi hijau, serikat pekerja juga memaparkan tantangan besar yang dihadapi pekerja dalam peralihan menuju ekonomi rendah karbon. Saat ini, pekerjaan ramah lingkungan cenderung terkonsentrasi di sektor-sektor yang masih padat polusi, sementara perempuan hanya mengisi sekitar sepertiga dari total pekerjaan hijau meskipun mendapatkan upah yang relatif lebih tinggi. Tanpa kebijakan pendukung yang kuat, kesenjangan pendapatan diperkirakan akan semakin melebar, dan pekerja yang bergantung pada sektor-sektor berpolusi menghadapi risiko kehilangan pekerjaan tanpa adanya perlindungan yang memadai.

Sebagai solusi, serikat pekerja menekankan pentingnya investasi dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan baru, terutama dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), termasuk dengan memastikan partisipasi perempuan. Diperlukan paket kebijakan komprehensif yang mengintegrasikan penerapan pajak karbon, investasi pada infrastruktur publik hijau, subsidi untuk riset dan pengembangan, program pelatihan terarah, serta insentif pajak bagi pekerja agar transisi hijau tidak hanya menciptakan peluang kerja baru, tetapi juga mengurangi ketimpangan sosial.

Kondisi pasar tenaga kerja yang adil dan inklusif menjadi kunci untuk memastikan transisi hijau berjalan tanpa meninggalkan kelompok pekerja yang rentan. Prinsip keadilan sosial harus menjadi dasar agar semua pihak dapat memperoleh manfaat dari perubahan ini.Pertemuan antara serikat pekerja, IMF, dan Bank Dunia ini juga menyoroti tantangan global yang lebih luas, seperti tekanan inflasi, ketidakpastian pasar keuangan, serta dampak geopolitik terhadap pertumbuhan ekonomi.

Melalui partisipasi dalam pertemuan ini, KSPI menunjukkan bahwa gerakan serikat pekerja Indonesia tidak hanya berjuang di dalam negeri, tetapi juga aktif memperjuangkan keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan di tingkat global. Kehadiran ini sekaligus menjadi pengingat bahwa suara pekerja harus menjadi bagian utama dalam setiap pengambilan kebijakan internasional yang menentukan arah masa depan dunia kerja.