Konsep, Lobi, Aksi, dan Politik

Vice President FSPMI Kahar S. Cahyono, saat menyampaikan pandangan politik KSPI dalam diskusi bertajuk #PekerjaBicara

Jakarta, KPonline – Awalnya adalah strategi KLA. Kemudian, berdasarkan pengalaman dan realitas yang ada, ditambahkan politik.

KLA singkatan dari konsep, lobi, dan aksi. Ini adalah strategi perjuangan yang dirumuskan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan afiliasinya seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), PGRI, ASPEK Indonesia, SPN, FSP KEP, FSP FARKES Reformasi, FSP Pariwisata Reformasi, FSP PPMI, dan FSP ISI.

Melalui konsep, kita merumuskan gagasan perubahan dalam sebuah narasi. Data dan argumentasi kita persiapkan di sini.

Dengan memiliki konsep, serikat pekerja bukan lagi tong kosong yang nyaring bunyinya. Tetapi sebuah organisasi yang memiliki landasan kuat terkait dengan apa yang sedang diperjuangkan.

Tentu saja, selanjutnya, konsep tersebut harus disampaikan kepada pihak-pihak terkait di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Termasuk kepada kalangan pengusaha dan lembaga lain. Proses ini kita sebut sebagai lobi.

Bagaimanapun, kebijakan publik tidak bisa diupayakan sendiri. Ada pihak terkait yang harus dilibatkan. Tugas serikat adalah menyakinkan pemerintah, agar membuat kebijakan yang tidak merugikan rakyat. Utamanya kaum buruh.

Jika lobi diabaikan, bahkan tidak ditanggapi, aksi menjadi pilihan berikutnya.

Kita tidak menabukan demonstrasi. Turun ke jalan secara besar-besaran adalah sesuatu yang dengan sadar kita lakukan. Tujuannya adalah untuk menyampaikan aspirasi. Untuk menyanpaikan pendapat secara terbuka, hingga kemudian didukung rakyat.

Bagi organisasi perjuangan, seperti halnya serikat pekerja, kemampuan mengkonsolidasikan anggota untuk turun ke jalan adalah ukuran kekuatan. Tentu saja, aksi yang kita lakukan bukanlah aksi bayaran seperti halnya yang dilakukan pasukan nasi bungkus (panasbung). Aksi yang kita lakukan adalah bentuk kesungguhan terhadap agenda perjuangan.

Namun demikian, kita sadar, dengan turun ke jalan ternyata tidak cukup. Sebagaimana disebutkan di awal, sebuah kebijakan lahir di ruang-ruang pengambil keputusan. Dirumuskan di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Kita sering melakukan audiensi ke DPR RI atau DPRD untuk menyampaikan konsep dan melakukan lobi. Juga datang ke kementerian, gubernur, walikota atau bupati.

Pada titik itu kita sampai pada sebuah pertanyaan mendasar. Bagaimana jika anggota DPR RI atau DPRD itu adalah kader serikat pekerja? Kawan seperjuangan kita sendiri?

Lebih jauh lagi, bagaimana kalau presiden, gubernur, atau bupatinya adalah kader serikat atau orang yang kita dukung? Bukankah akses akan terbuka dan komunikasi menjadi lebih mudah dilakukan?

Itulah sebabnya, setelah KLA kita menambahkan politik. Kita dengan sadar mendukung kader-kader terbaik untuk ikut dalam pemilihan legislatif. Menjadi bagian dari eksekutif.

“Banyak aktivis yang susah jadi akhirnya tidak bernyali,” kata sebagian orang. Dalam konteks ini berbeda. Sebagian besar dari mereka maju atas nama pribadi. Tetapi yang kita lakukan adalah politik atas nama organisasi. Serikat tetap memiliki kontrol terhadap kader-kader tersebut.

Dengan kata lain, strategi politik adalah menempatkan kader yang ditugaskan sebagai kepanjangan tangan organisasi. Sebagaimana kita menempatkan wakil di Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit, begitulah kita menempatkan wakil di legislatif maupun eksekutif.