Purwakarta, KPonline – Ditengah gempuran liberalisasi pasar tenaga kerja dan semakin longgarnya perlindungan hukum bagi kaum kelas pekerja, saat ini peran serikat pekerja menjadi satu-satunya benteng terakhir. Dalam berbagai peristiwa, serikat pekerja tak pernah absen menunjukkan keberpihakannya terhadap nasib kaum pekerja. Dan satu hal yang tak bisa ditawar, serikat buruh pasti akan turun ke jalan jika hak-hak buruh atau anggotanya diabaikan.
Unjuk Rasa (Demonstrasi) bukan tujuan utama, melainkan bentuk puncak dari kekecewaan kolektif saat jalur dialog tak menghasilkan keadilan. Saat pengusaha menutup telinga, saat negara diam atas pelanggaran, maka jalanan menjadi ruang terbuka bagi buruh menyampaikan suara.
#Mengapa Unjuk Rasa Masih Relevan di Era Modern?
Sebagian orang menganggap demonstrasi buruh sebagai gangguan ketertiban. Bahkan, beberapa pengusaha dan pemerintah cenderung menyederhanakan aksi massa buruh sebagai bentuk “provokasi”. Namun, narasi tersebut menyesatkan. Karena demonstrasi bukanlah pilihan pertama, melainkan langkah terakhir setelah berbagai upaya penyelesaian tak membuahkan hasil.
Menurut Laporan Tahunan Ketenagakerjaan 2024 hingga pertengahan 2025 yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dari ribuan kasus perselisihan hak yang tercatat secara nasional, lebih dari 68% tidak selesai melalui jalur bipartit maupun mediasi tripartit. Ketika proses formal ini tak berhasil, serikat pekerja akhirnya mengorganisir demonstrasi sebagai sarana tekanan moral dan politik.
Menurut serikat pekerja, “Demonstrasi bukan gaya hidup. Tapi saat pekerja tak dihargai, saat kesepakatan dilanggar sepihak, maka serikat pekerja harus turun”
#Kasus-kasus Ketidakadilan yang Memantik Aksi
Selama tahun 2024 hingga pertengahan 2025, terdapat sejumlah kasus yang menjadi pemantik besar demonstrasi buruh secara nasional:
1. PHK Sepihak Pengurus Serikat
Di Bekasi, sebuah perusahaan manufaktur multinasional diketahui memecat dua pengurus serikat pekerja dengan alasan sudah sesuai dengan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun investigasi menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja itu bertepatan setelah para pengurus aktif menyuarakan tuntutan kenaikan upah pekerja yang sesuai dengan peraturan.
“Kalau pengurus kami bisa dipecat semena-mena, maka siapa yang akan membela buruh? Ini jelas bentuk pembungkaman,” tegas Rusmini sebagai salah satu anggota dari Ketua dan Sekretaris yang dipecat tersebut.
2. Penolakan Status Karyawan Tetap
Di Karawang, puluhan karyawan kontrak dengan masa kerja lebih dari 5 tahun tidak juga diangkat sebagai karyawan tetap, meski Undang-Undang Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa hubungan kerja lebih dari tiga tahun wajib menjadi permanen.
Ketika serikat memperjuangkan hak pengangkatan tersebut, pihak perusahaan justru merespons dengan intimidasi: rotasi sepihak, mutasi jarak jauh, hingga pembekuan iuran serikat. Akibatnya, terjadi aksi demonstrasi selama tiga hari berturut-turut.
3. Upah Dipotong karena Aksi Serikat
Di salah satu pabrik tekstil di daerah Jawa Barat, buruh yang mengikuti rapat serikat setelah jam kerja mendapati upah lemburnya dipotong. Pihak manajemen menyebut keikutsertaan dalam kegiatan serikat “mengganggu produktivitas”. Padahal kegiatan dilakukan di luar jam kerja dan di luar area pabrik.
Serikat pekerja akhirnya menggugat ke Disnaker dan melakukan aksi solidaritas di depan pabrik. “Ini kriminalisasi halus. Kalau dibiarkan, semua orang akan takut berserikat,” ucap Wulan Rahayu, anggota Serikat Buruh Garmen.
#Demonstrasi: Hak yang Dilindungi Undang-Undang
Aksi unjuk rasa oleh buruh bukan sekadar tradisi perjuangan, tetapi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Selain itu, UU Nomor 9 Tahun 1998 secara tegas memperbolehkan warga negara menyampaikan pendapat di muka umum secara damai dan tertib.
Namun, kenyataannya, buruh yang melakukan aksi kerap mengalami pembatasan, dari mulai ancaman PHK, intervensi aparat, hingga penggembosan dari pihak manajemen. Ironisnya, pemerintah kadang lebih cepat menindak aksi buruh dibanding menindak pelanggaran hak oleh perusahaan.
Namun demikian, aksi unjuk rasa buruh, sering dituduh mengganggu stabilitas. Tapi stabilitas siapa? Sebab bagi buruh, keadilan lebih penting daripada kenyamanan semu.
#Solidaritas Antar Serikat: Satu Terluka, Semua Bergerak
Dalam dunia buruh, solidaritas adalah senjata utama. Ketika satu serikat diserang, serikat lain ikut bergerak. Koalisi lintas sektor dan lintas pabrik menjadi pemandangan umum dalam setiap aksi. Bahkan di beberapa daerah, buruh dari sektor otomotif, garmen, dan logistik bisa bersatu untuk mendukung satu kasus.
Salah satu contohnya adalah aksi besar di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 8 Februari di Kementerian Ketenagakerjaan terkait Sritex adalah bentuk protes para buruh terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dialami oleh karyawan PT Sritex (Sri Rejeki Isman Tbk). Buruh menuntut kejelasan hak-hak mereka, termasuk pesangon dan Tunjangan Hari Raya (THR), serta meminta agar buruh yang di-PHK dapat dipekerjakan kembali oleh investor baru. Aksi ini juga menyuarakan kekhawatiran tentang potensi PHK massal yang lebih luas di industri tekstil.
#Peran Negara yang Minim, Perlawanan yang Menguat
Minimnya keberpihakan pemerintah terhadap buruh terlihat dari tidak tegasnya pengawasan ketenagakerjaan. Banyak perusahaan yang terbukti melanggar, namun tidak dijatuhi sanksi berat. Akibatnya, perusahaan merasa bebas menekan pekerja dan serikat.
Selain itu, UU Cipta Kerja yang sempat disahkan dan kemudian sebagian pasalnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, menjadi bukti bahwa regulasi pun bisa menjadi alat penindasan terselubung terhadap buruh.
“Kalau negara tidak bisa melindungi kami, maka kami akan melindungi diri sendiri. Demonstrasi adalah bentuk pertahanan kami,” kata Indah Purwaningsih, aktivis buruh perempuan dari Purwakarta.
#Demonstrasi Tak Akan Pernah Usai
Selama masih ada ketimpangan, selama hak-hak buruh masih dipermainkan, selama pengusaha merasa bisa membeli keadilan, maka demonstrasi buruh akan tetap hidup. Ini bukan tentang suka berdemo, melainkan karena tidak ada pilihan lain.
Buruh tidak bisa menunggu janji kosong. Mereka tak bisa menunggu keputusan hukum yang bertele-tele. Di tengah hidup yang serba mahal, saat kerja tak menjamin layak hidup, maka hanya keberanian dan solidaritas yang bisa membuat buruh tetap bertahan.
“Banyak dari kami hidup di batas kemiskinan. Tapi kami punya satu hal yang tak bisa dibeli: keberanian untuk melawan,” ujar Darto, buruh pabrik otomotif di Purwakarta.
#Intinya: Serikat adalah Nafas Perjuangan
Serikat buruh tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan kelas pekerja. Di tengah segala keterbatasan, merekalah yang berdiri paling depan melindungi hak-hak buruh dari perampasan dan penghisapan. Dan demonstrasi adalah bentuk paling konkret dari keberanian itu.
“Selama keadilan belum ditegakkan, selama buruh masih diperlakukan tidak adil, maka serikat pekerja akan terus bergerak. Karena bagi mereka,diam berarti tertindas, melawan adalah bangkit untuk hidup”