Kami Tak Butuh Label Kiri atau Kanan

(Menanggapi Tulisan Berjudul Birokratisme dan Buruh yang Makin ke Kanan di Koran Pembebasan)

Oleh: (Kahar S. Cahyono – Kader Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia/KSPI)

Jakarta, KPonline – Alexi Algaf keliru ketika mengatakan, “KSPI sendiri membentuk Indonesia (GPI) di mana Kahar S. Cahyono, juru bicara KSPI menjadi juru bicara GPI.”

Alex harus tahu, KSPI tidak pernah membentuk GPI. Bahwa ada banyak aktivis KSPI yang berada di barisan GPI, itu benar. Tetapi GPI bukanlah bentukan KSPI. Sebagai serikat, tidak sekali pun keputusan itu dibuat.

Sebagai organisasi, KSPI tidak pernah membatasi aspirasi politik setiap anggotanya. Sebagai pribadi yang merdeka, setiap kader atau anggota KSPI memiliki kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Termasuk dalam hal keyakinan dalam politik dan agama. Memiliki anggota lebih dari 1 juta, KSPI memiliki banyak warna. Beragam latar belakang.

Di dalam GPI, para aktivis serikat buruh bergerak sebagai pribadi — tidak ada sangkut pautnya dengan KSPI. Mereka adalah orang-orang yang merasa terusik karena agamanya telah dinistakan. Ini bukan gerakan SARA. Justru mereka sedang melawan isu SARA yang dimainkan seorang Gubernur DKI Jakarta ketika membawa-bawa agama (QS al-Maidah) saat melakukan sosialisasi di Kepulauan Seribu. Sebagai contrario, jika saja tidak ada muatan SARA dalam sosialisasi di Kepuluan Seribu, aksi seperti ini tidak perlu terjadi.

Apakah sikap seperti ini salah? Tentu saja tidak. Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Keyakinan beragama dijamin oleh konstitusi. Kebhinekaan adalah menghormati perbedaan. Oleh karena itu kita percaya, tidak boleh ada satu orang pun yang menistakan agama. Apapun itu agamanya. Keyakinan inilah yang dibela oleh mereka yang bergabung dalam GPI.

* * *

Massa FSPMI-KSPI demo di Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) menuntut penegakan hukum.

FSPMI/KSPI memang menempatkan Ahok sebagai “musuh” dalam gerakan. Musuh disini haruslah dibaca sebagai kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum buruh dan rakyat kecil. Jadi bukan Ahok sebagai pribadi.

FSPMI/KSPI melawan kebijakan upah murah, reklamasi, penggusuran di DKI Jakarta, dan konsens terhadap penegakan hukum.

Perlawanan itulah yang dilakukan FSPMI/KSPI. Kami melawan dugaan korupsi yang dilakukan Ahok, seperti yang disinyalir terjadi dalam kasus pengadaaan bus Trans Jakarta hingga RS Sumber Waras. BPK sudah menyatakan dalam kasus RS Sumber Waras ada kerugian negara. Ingin agar hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, FSPMI/KSPI mendemo KPK. Tujuannya adalah agar KPK tidak takut dan berpihak pada kekuasaan.

Ahok melakukan penggusuran. Kita tahu, dalam kasus Bukit Duri, pengadilan memutuskan bahwa penggusuran yang dilakukan bertentangan dengan hukum. Begitu juga dengan kasus reklamasi. Meskipun sudah ada penetapan dari pengadilan, tetapi Ahok memaksa tetap melakukan penggusuran dan reklamasi. Lagi-lagi, di posisi inilah KSPI bergerak.

Begitu juga dengan kasus upah murah. Di era Ahok, Jakarta yang notabene adalah Ibukota Negara, upah minimumnya lebih rendah dari Karawang dan Bekasi.

Mengapa Ahok? Dalam kasus dugaan korupsi, reklamasi, hingga penggusuran, FSPMI/KSPI berkesimpulan ada kekuatan besar di belakang Ahok yang menyebabkan dia tidak bisa tersentuh oleh hukum. Itulah yang disuarakan oleh FSPMI/KSPI.

* * *

Dimana tidak singgung perjuangan FSPMI/KSPI dengan perjuangan umat Islam?

Ketika kemudian isu penodaan agama menguat, sebagian kader FSPMI/KSPI terusik. Tetapi mereka sadar, FSPMI/KSPI – sebagai serikat buruh – tidak boleh masuk ke ranah itu. Maka kader-kader inilah yang atas inisiatifnya sendiri kemudian bergerak membentuk GPI dan bergabung dengan ummat Islam.

Jika kemudian FSPMI/KSPI menyerukan mogok nasional bersamaan dengan aksi bela Islam, karena FSPMI/KSPI melihat ada momentum yang sama. Sama-sama berjuang terhadap penegakan hukum. Sesuatu yang sudah lama diperjuangkan oleh FSPMI/KSPI.

Mustinya dibaca, bahwa aksi ummat Islam tersebut adalah penegakan hukum terkait pasal penistaan agama. Sebagaimana kita tahu, penistaan agama diatur dalam Pasal 156a KHUP. Itu hukum positif yang berlaku saat ini. Siapa saja, tidak pandang bulu, harus dihukum selama pasal ini masih ada. Sebagaimana beberapa nama yang pernah dihukum dengan pasal yang sama.

Kita tidak rela, jika ada orang dihukum karena melanggar pasal 156a KUHP, kemudian ada orang lain tidak dihukum. Hanya karena orang itu tidak sedang berkuasa.

* * *

Saya rasa, pernyataan Alex bahwa FSPMI dipengaruhi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah pernyataan yang mengada-ada. Sama sekali tidak mendasar. Hanya karena Said Iqbal menjadi caleg dari partai ini pada 2009 kemudian mengatakan FSPMI dipengaruhi PKS? Sebuah tuduhan yang tanpa dasar.

Sama tidak mendasarnya tuduhan Said Iqbal dipengaruhi Gerinda ketika mendukung Prabowo Subijanto pada 2014. Jangan-jangan, mereka juga akan mengatakan Said Iqbal dipengaruhi FPI ketika memutuskan mogok nasional bersamaan dengan Aksi Bela Islam.

Said Iqbal menjadi caleg 2009 adalah mewakili anggotanya (kaum buruh). Bukan mewakili anggota PKS. Said Iqbal menyakini, suara buruh harus terdengar di ruang-ruang pengambilan keputusan seperti DPR RI.

Terkait hal ini, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin yang juga merupakan adik kandung Said Iqbal menjelaskan, bahwa Said Iqbal tidak pernah menjadi anggota parpol manapun sejak lahir. Menurutnya, Pemilu 2009 dengan persyaratan menjadi caleg pada Pemilu 2009 berbeda dengan syarat caleg pemilu 2014. Pemilu 2009 tidak mewajibkan caleg menjadi anggota parpol yang mengusulkannya, sedangkan Pemilu 2014 caleg wajib menjadi anggota parpol bersangkutan.

Hal ini terbukti. Dalam Pemilu 2014, Said Iqbal kembali ditawari oleh banyak parpol untuk menjadi caleg, tetapi dia menolaknya. “Saya bukan anggota partai politik, bukan pengurus partai. Perjuangan ini hanya semata memperjuangkan nasib buruh,” ujar Said Iqbal.

Namun demikian, Said Iqbal tidak anti partai. Bahkan, saat ini bersama-sama dengan beberapa aktivis lintas sektoral, Iqbal sedang menggagas partai politik sebagai alat perjuangan kelas buruh. Sebuah partai yang murni digagas dari bawah. Partai kelas pekerja.

Kader-kader FSPMI/KSPI maju sebagai caleg dari berbagai partai dalam Pemilu tahun 2014. Ini menunjukkan FSPMI/KSPI bukan underbow PKS.

FSPMI/KSPI bahkan mendorong kader-kadernya untuk terlibat dalam Pemilu 2014, sebagai bagian dari apa yang disebutnya ‘Buruh Go Politik’. Secara spesifik, dia tidak mengarahkan ke partai politik tertentu. Beberapa kader KSPI yang kemudian terpilih menjadi anggota DPRD antara lain Nurdin Muhidin (melalui PAN) dan Nyoemarno (melalui PDI-P). Banyak kader FSPMI menjadi caleg dari berbagai partai seperti Golkar, Hanura, PPP, dan sebagainya. Tahun 2016, dalam Kongres FSPMI-KSPI memutuskan untuk mendukung Obon Tabroni untuk maju dalam Pilkada Kabupaten Bekasi melalui jalur independen. Said Iqbal aktif mendorong kaum buruh untuk mendukung Obon dan bahkan sempat ikut terjun ke lapangan untuk mengumpulkan KTP. Dengan fakta-fakta ini, bagaimana mungkin FSPMI underbow PKS?

* * *

“Semakin hari, semakin berbahaya karena mereka tidak diisolir oleh kekuatan-kekuatan serikat buruh kiri yang paling tidak seharusnya bisa diharapkan dalam perjuangan demokrasi,” tulis Alex. Saya jadi bertanya-tanya, apa yang membahayakan dari FSPMI? Kok mirip dengan banyak penguasa dan pengusaha hitam yang memposisikan FSPMI sebagai ancaman.

“Hanya kesadaran anggota dan tindakan yang berani meningalkan elit serikat buruh yang mampu menjadikan mereka sebagai kekuatan yang demokratik.” Dengan kalimat ini, apakah Alex mengajurkan agar anggota keluar dari FSPMI? Kemana? Bergabung dengan serikat yang dipimpin Alex? Seorang kawan menjawab, dia saja tidak pernah terbukti berhasil dan memiliki kemampuan untuk membangun serikat yang kuat.

Namun demikian, saya tidak sependapat dengan kawan saya tadi. Bagi saya, apa yang disampaikan Alex adalah tanda cinta. Dengan kritiknya, dia ingin melihat FSPMI menjadi lebih baik. Ini adalah tugas seluruh kader untuk bersatu padu. Merapatkan barisan.

Jika Alexi menunjukkan contoh, ketika unsur-unsur kiri dalam Sarekat Islam yang keluar setelah kebijakan “disiplin partai”, lalu mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menegaskan kehendak merdeka, barangkali itulah yang dilakukan FSPMI saat ini. FSPMI juga memiliki hak untuk menjalankan disiplin dalam berorganisasi – tidak memberi ruang bagi orang yang ingin memecah belah dan mengadu domba gerakan buruh. Memiliki hak untuk menjaga rumah besar ini. Terus bergerak dan berjuang atas apa yang diyakininya, sebagaimana semua orang bisa melihatnya.

FSPMI tidak perlu mendapatkan label kiri. Juga tidak usah di cap sebagai kanan. Karena FSPMI hanya menyadari satu hal, bahwa tugasnya adalah membela, melindungi, dan memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh dan keluarganya. Tanpa peduli akan di cap sebagai kiri atau kanan.

* * *

Alex mengatakan, konsistensi mereka dalam melawan hanya ditujukan kepada elit-elit politik tertentu, seperti Jokowi dan Ahok. Nyaris tidak terdengar perlawanan yang serius terhadap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) yang kader PKS ini. Aksi-aksi menuntut kenaikan upah ke kantor Gubernur Jawa Barat hanyalah sebatas pengawalan, bukan kecaman terhadap Gubernur yang setiap tahunnya menetapkan upah yang jauh di bawah tuntutan buruh itu sendiri. Bukti lainnya, meskipun Aher mengeluarkan kebijakan penangguhan upah terbanyak, KSPI lebih memilih memberi gelar Bapak Upah Murah kepada Jokowi.

Jangan-jangan Alex belum tahu, jika saat ini Presiden RI bukan lagi SBY. Zaman SBY, demo FSPMI/KSPI lebih dahsyat lagi. Aksi-aksi besar terjadi di mana-mana. Jika saat ini kritik FSPMI/KSPI ditujukan kepada Jokowi. Karena, memang, Joko Widodo adalah Presiden Indonesia saat ini.

Barangkali Alex tidak tahu, perlawanan juga dilakukan oleh FSPMI/KSPI di Jawa Barat. Pemogokan-pemogokan daerah banyak di lakukan di daerah Jawa Barat seperti Bekasi, Bogor, Karawang, hingga Purwakarta. Terkait penangguhan UMK di Jawa Barat, KSPI pernah mengajukan gugatan ke PTUN atas kebijakan tersebut. (Baca: http://www.jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/39452/soal-penangguhan-umr-kspi-akan-gugat-tiga-gubernur-ke-pttun). Saat ini pun kami mengajukan gugatan di PTUN Bandung terkait upah minimum tahun 2017.

Soal kecaman, bagi kami semua Gubernur sama saja. Terkait kebijakan upah, baik Ahok maupun Aher sama saja (https://www.koranperdjoeangan.com/said-iqbal-semua-gubernur-sama-saja/).

===

Birokratisme dan Buruh yang Makin ke Kanan (sebuah kasus)

Oleh: (Alexi Alqaf – kader Partai Pembebasan Rakyat)

Menggunakan sentimen bela agama (melawan penistaan agama) sangat efektif memobilisasi kalangan orang biasa yang dibesarkan oleh doktrin kesucian agama. Bahkan mampu memobilisasi mereka yang dalam keseharian bukan penganut yang taat dalam menjalankan ajaran agama. Agama mutlak harus dibela jika dihina, sebagai identitas yang dianggap sakral, tanpa cela. Hasilnya, mobilisasi massa semakin besar. Begitu mobilisasi pertama mendapatkan massa besar, maka mobilisasi selanjutnya lebih mudah, karena mobilisasi pertama dapat meyakinkan orang lain bergabung. Dukungan dari pemuka agama yang didapat dari legitimasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) semakin memperbesar kekuatan ini. Apalagi, yang penting juga, aksi-aksi ini minim represi, tidak seperti demo buruh di kawasan industri yang bisa langsung dibubarkan sebelum mampu berkumpul.

Tentu melihat para pelopor aksi bela Islam, Front Pembela Islam (FPI) memiliki hubungan di belakang dengan militer. Mereka sendiri awalnya adalah Pam Swakarsa yang didirikan oleh Wiranto yang kemudian berubah menjadi ormas Islam. Aksi-aksi mereka dibiarkan oleh aparat atau dihukum secara ringan. Mereka menjadi alat serang yang efektif melawan kelompok-kelompok kiri, kelompok identitas minoritas dan berbeda. Aksi Bela Islam ini memberikan alasan kuat bagi militer untuk turun dan ikut campur. Apalagi telah sejak lama gagasan-gagasan politik yang sejak lama disebarluaskan adalah kehidupan rakyat akan lebih baik jika dipimpin oleh militer; Orde Baru lebih baik daripada yang sekarang.

Kebijakan Ahok yang melakukan penggusuran dan reklamasi menyingkirkan orang miskin dan nelayan Jakarta. Dia memanipulasi bantuan-bantuan recehan untuk rakyat miskin menjadi seolah sangat berarti dan dapat menyelesaikan persoalan rakyat, mendapat sambutan dari kalangan kelas menengah yang aktif di media sosial, tapi tak berorganisasi apalagi mampu memobilisasi diri dalam aksi yang nyata.

Kebijakan Ahok yang represif dan anti kelas pekerja miskin menimbulkan korban dari kalangan kelas bawah yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan akibat penggusuran. Mereka menyalurkan perlawanan pada saluran yang kelihatan paling potensial menang (massanya besar) dalam menjatuhkan Ahok. Mereka menggabungkan diri ke dalam aksi-aksi Bela Islam yang terlihat semakin membesar. Hal yang sama juga digunakan dalam membenarkan membenarkan aksi buruh harus digabungkan dengan aksi bela Islam. Serikat buruh yang terlihat aktif dalam hal ini adalah PPMI dan FSPMI/KSPI.

PPMI sejak awal dengan cepat turut mengikuti kelompok-kelompok Islam reaksioner dalam aksi Bela Islam untuk menghukum dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Masalah dari aksi tersebut bukan pada pembelaan terhadap agama apapun, tapi pada rasisme, manipulatif, dimotori oleh kelompok-kelompok fasis yang selama ini kerap menyerang kebebasan berkumpul dan berekspresi serta bersama dengan kelompok elit politik yang hendak kembali mengembalikan Indonesia ke masa lalu, masa Orde Baru.

Latar belakang PPMI adalah serikat buruh Islam yang pernah mengalami perpecahan yang melahirkan PPMI dan PPMI 98. Belakangan, PPMI mengalami perkembangan yang pesat, khususnya PPMI Karawang karena menginternalisasi aksi-aksi geruduk pabrik sejak tahun 2012. Demi mempercepat pembesaran serikat, PPMI Karawang melakukan serangkaian taktik seperti melakukan koalisi dengan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS)[1] yang sama-sama masih setuju dengan aksi geruduk pabrik, bersatu dengan serikat buruh kiri dalam aliansi luas bernama Aliansi Jawa Barat tahun 2013, berjejaring NGO terutama LBH Jakarta dan merekrut serta memberi tempat untuk banyak advokat/pengacara.

Birokratisme masih bercokol kuat di dalam serikat ini. Kita tahu serikat ini berada di bawah pengaruh Eggi Sudjana [2], seorang broker politik dan pengacara senior, yang hari ini membawa unsur-unsur PPMI ikut membangun partai bentukan Tommy Suharto, Partai Pemersatu Bangsa (PPB) yang dipersiapkan untuk berlaga di Pemilu 2019. Pembesaran PPMI bagaimanapun juga menguntungkan birokrat-birokrat serikat buruhnya, tapi seperti dalam kasus PPMI, pembesaran itu tak bisa berlanjut selama masih di bawah syarat-syarat birokratisme yang mengizinkan serikat berkembang hanya sebatas melayani kepentingan-kepentingan transaksional-oportunis elitnya.

Belakangan, hubungan dengan unsur-unsur kiri dan sekutu lamanya, FSPS, makin renggang. FSPS sendiri sudah lama meninggalkan taktik aksi massa (karena keputusan pimpinannya) dan memilih memperjuangkan kasus buruh di pengadilan hubungan industrial (PHI). Setelah itu, kedekatan PPMI adalah dengan unsur-unsur organisasi/serikat kiri dalam Komite Persatuan Rakyat (KPR) pada 2015 lalu yang kemudian juga berakhir karena PPMI semakin dicengkrem oleh elit birokrasinya.

Organisasi ini semakin merosot dengan merekrut pengacara-pengacara yang kerap mengompromikan nasib buruh. Advokasi dianggap sekadar harus ditangani orang pandai, bukan memihak pada nasib buruh. Dilema dari keinginan membesarkan buruh selekas-lekasnya adalah dengan memasukan sebanyak mungkin orang-orang dari luar dengan patokan kapasitas belaka, bukan pemihakan. Mendidik buruh agar pandai membela diri sering dirasa terlalu lama. Kualitas pembelaan semakin menurun karena mengakomodir kepentingan elit politik yang didukung dalam Pilkada Karawang baru-baru ini.

PPMI kembali bersama dengan FSPMI/KSPI. Begitu juga dalam aksi bela Islam. KSPI sendiri membentuk Indonesia (GPI) di mana Kahar S. Cahyono, juru bicara KSPI menjadi juru bicara GPI. Kelompok ini berusaha menggabung aksi buruh dengan aksi bela Islam dan kembali membunyikan mogok nasional dengan harapan mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok Islam. Mereka memiliki musuh yang sama: Ahok.

Baik FSPMI maupun PPMI berangkat dari kondisi yang sama. Pertama, birokratisme yang kuat yang mencengkram massa anggotanya yang berkait dengan kondisi kedua, kedekatan dan pengaruh dari kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan militeris–FSPMI sendiri dipengaruhi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan pendukung Prabowo. Begitu juga presiden PPMI, Ahmad Fuad Anwar bersama Eggi Sudjana juga adalah pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 dengan menggunakan alat Amanat Indonesia Raya (AIR).

Hal ini menjadikan serikat buruh ini tidak sanggup menjadi kekuatan yang demokratik, apalagi sosialis. Hanya kesadaran anggota dan tindakan yang berani meningalkan elit serikat buruh yang mampu menjadikan mereka sebagai kekuatan yang demokratik.

Semakin hari, semakin berbahaya karena mereka tidak diisolir oleh kekuatan-kekuatan serikat buruh kiri yang paling tidak seharusnya bisa diharapkan dalam perjuangan demokrasi. Kita telah memutuskan untuk tidak bersatu dengan FSPMI sejak mereka mendukung Prabowo Subianto. Dalam kasus PPMI, mereka memutuskan kontak dengan unsur-unsur kiri setelah merasa kiri adalah ancaman yang dapat membahayakan pengorganisiran dan perluasan mereka seperti dalam kasus Sarekat Islam pada awal abad 20. Persis seperti FSPMI membersihkan unsur-unsur yang progresif dan dicap kiri sejak 2013.

Kondisi terakhir memperlihatkan posisi FSPMI/KSPI dan PPMI bahwa Ahok dapat dilawan dengan berbagai cara, sebenarnya adalah ungkapan ketidaksanggupan mereka untuk memimpin gerakan buruh, apalagi gerakan rakyat. Politik menumpang ke isu Islam yang dirasa lebih kuat dan relatif lebih bebas represi (karena “dipelihara” oleh militerisme) memperlihatkan mereka tak sanggup menjadi militan.[3] Kondisi ini adalah hasil dari siasat mundur, mundur dan mundur yang selama ini elitnya instruksikan. Pembenaran bahwa bersatu dengan FSPMI/KSPI akan menghasilkan gerakan buruh yang lebih kuat runtuh dengan kenyataan ini. Dengan masuknya FSPMI/KSPI ke kubu “Bela Islam” mereka menjadi tak lebih dari sekadar peliharaan militer!

Barangkali ada yang tidak akan setuju dengan saya dan menyodorkan kenyataan FSPMI/KSPI mengangkat tuntutan-tuntutan buruh seperti kenaikan upah dan pencabutan PP Pengupahan–dengan demikian, FSPMI/KSPI masih dianggap membela buruh. Saya ingin katakan bahwa pandangan seperti itu ingin menukar kebebasan kita dengan sepotong roti busuk. Mengenyangkan harapan-harapan (dan mungkin perut) buruh dengan tujuan-tujuan ekonomis sembari menyerahkan kebebasan kepada kelompok fundamentalis dan militeris yang ada di belakangnya. Lagipula dari sekarang kita sudah bisa mengukur implikasinya, tujuan-tujuan yang akan menguat adalah tujuan-tujuan kelompok fundamentalis dan kelompok militer di belakangnya.

FSPMI/KSPI berupaya mengilusi massa bahwa seolah-olah mereka sedang berjuang untuk seluruh rakyat dan demo Ahok kali ini bukan yang pertama. Benar, demo melawan Ahok bukanlah kali pertama yang mereka lakukan. Namun, konsistensi mereka dalam melawan hanya ditujukan kepada elit-elit politik tertentu, seperti Jokowi dan Ahok. Nyaris tidak terdengar perlawanan yang serius terhadap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) yang kader PKS ini.

Aksi-aksi menuntut kenaikan upah ke kantor Gubernur Jawa Barat hanyalah sebatas pengawalan, bukan kecaman terhadap Gubernur yang setiap tahunnya menetapkan upah yang jauh di bawah tuntutan buruh itu sendiri. Bukti lainnya, meskipun Aher mengeluarkan kebijakan penangguhan upah terbanyak, KSPI lebih memilih memberi gelar Bapak Upah Murah kepada Jokowi.

Serikat-serikat kiri yang berada dalam gerbong KPBI semakin memantapkan persatuan dengan kelompok FSPMI/KSPI di dalam Rumah Rakyat Indonesia (RRI). Mereka tidak melakukan tugas mereka untuk memboikot serikat buruh yang nyata-nyata reaksioner dan semakin bertambah kereaksionerannya; serikat buruh yang memainkan kaki di kelompok kiri dan kanan. Kita bisa melihat bagaimana Koran Perdjoengan, corong FSPMI, dapat mempromosikan RRI dan GPI (Aksi Bela Islam).

Dalam sejarah kita, justru memperlihatan kekuatan kiri dapat bangkit setelah memblejeti kekuatan kanan dan mendirikan alat politiknya sendiri yang menegaskan prinsip-prinsipnya. Seperti yang ditunjukan oleh unsur-unsur kiri dalam Sarekat Islam yang keluar setelah kebijakan “disiplin partai”, lalu mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menegaskan kehendak merdeka. Definisi kanan di sini, bukan berarti agama, tapi adalah kelompok penindas, konservatif, anti demokrasi, militeris–mereka yang ingin terus melanggengkan penindasan.

Politik bersatu dengan kelompok reaksioner hanya membingungkan massa belaka. Inilah dosa yang telah dilakukan oleh kelompok KPBI yang bersatu dengan FSPMI/KSPI sejak 2013 dan terus melanjutkan persatuan tersebut bahkan setelah FSPMI/KSPI mendukung Prabowo pada Pemilu 2014 lalu. Jika tak mau disebut kiri gadungan, politik main di dua kaki ini harus segera ditanggalkan. Akan lebih baik jika konsisten bersekutu dengan elemen-elemen pro demokrasi.

Situasi ini akan mengancam kita semua, baik unsur-unsur yang melek demokrasi maupun kelas buruh biasa yang tidak tahu apa-apa. Demokrasi adalah kebutuhan massa tak peduli masih banyak orang yang merasa tidak membutuhkannya dan setuju kembali ke masa lalu.

Kita memerlukan suatu blok demokratik yang kuat, suatu alat untuk melancarkan aksi-aksi membela demokrasi yang semakin terancam oleh militerisme yang ingin kembali berkuasa. Militerisme, yang seperti tahun 1960-an memainkan sekutu-sekutu sipilnya, elit reformis yang pengecut, ormas-ormas reaksioner dan serikat buruh. Blok yang paling mungkin dipelopori oleh serikat buruh, NGO, mahasiswa dan akademisi. Propaganda untuk menyakinkan kelas pekerja dan mobilisasi-mobilisasi akan menjadi penentu kesuksesan gerakan demokrasi.