Purwakarta, KPonline – Ribuan buruh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dari berbagai daerah di Jawa Barat, termasuk Kabupaten Purwakarta, bersiap menggelar aksi besar pada Rabu, 30 Oktober 2025, sebagai bagian dari gelombang aksi besar-besaran yang diinisiasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Aksi ini akan memusatkan tuntutan pada kenaikan Upah Minimum tahun 2026 di kisaran 8,5% hingga 10,5%, sebagaimana telah disuarakan secara bersama sejak awal Oktober.
Menjelang pelaksanaan aksi tersebut, Sekretaris Konsulat Cabang (KC) FSPMI Purwakarta, Ade Supyani menyampaikan harapan agar seluruh rangkaian kegiatan esok berjalan lancar, tertib, dan tanpa kekerasan.
Menurutnya, perjuangan buruh selalu berangkat dari semangat demokrasi dan tanggung jawab sosial, bukan tindakan anarkis.
“Kami berharap aksi besok berjalan damai. Tidak ada anarkisme, tidak ada kekerasan. Kita ingin menunjukkan bahwa buruh bisa menyuarakan aspirasi secara bermartabat, tertib, dan beretika,” ujar Sekretaris FSPMI Purwakarta saat ditemui usai rapat koordinasi aksi pada Selasa (29/10).
Ia menegaskan bahwa aksi 30 Oktober 2025 bukan sekadar demonstrasi, melainkan seruan moral dan politik buruh untuk mendesak pemerintah agar menepati amanat konstitusi dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2024, yang menegaskan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja serta keadilan dalam sistem pengupahan nasional.
Ade Supyani juga menyoroti lambannya proses penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) untuk tahun 2026.
Padahal, menurut Ade, kebutuhan hidup pekerja terus meningkat seiring inflasi dan kenaikan harga-harga bahan pokok.
“Kami meminta pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, segera merespons tuntutan buruh dan menetapkan UMK serta UMSK 2026 sesuai rentang 8,5% hingga 10,5%. Itu angka realistis berdasarkan data kebutuhan hidup dan mengacu pada keputusan MK Nomor 168 Tahun 2024,” tegasnya.
Sekretaris FSPMI Purwakarta itu pun menilai, keputusan MK tersebut telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap mekanisme pengupahan yang selama ini dianggap lebih berpihak pada kepentingan investasi daripada kesejahteraan buruh.
Putusan MK No. 168/PUU-XXII/2024 sendiri membatalkan sebagian norma dalam turunan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang mengatur formula upah minimum berbasis pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional semata. MK menilai, sistem itu telah mengabaikan aspek kebutuhan hidup layak (KHL) yang seharusnya menjadi dasar utama penentuan upah minimum.
Selain menuntut penetapan UMK dan UMSK, Ia bersama FSPMI Purwakarta juga mendesak pemerintah dan DPR segera membahas serta menetapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, yang berpihak kepada pekerja dan selaras dengan putusan MK No. 168 Tahun 2024.
Ade menilai, UU Ketenagakerjaan yang ideal harus mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengorbankan hak-hak dasar buruh. “Kami tidak menolak kemajuan dan investasi. Tapi regulasi harus adil. UU baru harus berpihak kepada kesejahteraan rakyat pekerja, bukan hanya kepentingan pasar,” ujar Ade Supyani.
Aksi 30 Oktober ini menjadi bagian dari mobilisasi nasional buruh di lebih dari 300 kabupaten/kota di 38 provinsi di Indonesia. Selain FSPMI yang berafiliasi dengan KSPI, aksi ini akan diikuti oleh Partai Buruh, Serikat Pekerja Nasional (SPN), serta berbagai elemen serikat pekerja lainnya.
Mereka kompak menyerukan “Kenaikan Upah, Keadilan Sosial, dan Pembaruan Regulasi!”
Menurut data yang dihimpun dari laman resmi KSPI dan berbagai media nasional, massa aksi di tingkat kabupaten/kota akan berkonsentrasi di depan kantor bupati dan kantor dinas tenaga kerja masing-masing. Sementara di tingkat nasional, pusat aksi akan berlangsung di depan Istana Negara dan Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta.
Ade Supyani pun kembali menegaskan bahwa aksi ini bukan ajang konfrontasi, melainkan panggilan nurani kolektif.
Buruh ingin menunjukkan bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan untuk keadilan sosial dan martabat manusia kerja.
“Kami ingin publik tahu, buruh bukan musuh negara. Kami bagian dari bangsa ini yang bekerja keras setiap hari. Aksi damai adalah cara kami mengingatkan pemerintah agar tidak lupa pada amanat konstitusi,” pungkasnya.
Ia juga mengimbau seluruh anggotanya agar tidak mudah terprovokasi, tetap fokus pada substansi tuntutan, dan menjaga nama baik organisasi.
Bagi para buruh, 30 Oktober bukan sekadar tanggal di kalender. Melainkan suatu momentum untuk memperjuangkan upah yang adil, perlindungan kerja yang manusiawi, dan masa depan yang lebih layak bagi keluarga pekerja.
Dan aksi ini menjadi suara nurani rakyat pekerja yang menuntut agar pemerintah tidak menunda lagi keadilan sosial yang dijanjikan.