Inilah Daftar Ketentuan UU Cipta Kerja yang Dibatalkan

Inilah Daftar Ketentuan UU Cipta Kerja yang Dibatalkan
Foto Ilustrasi by Google
Purwakarta, KPonline-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan hukum dengan membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang merupakan perubahan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam putusannya, MK menyatakan beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan ini menjawab sebagian besar gugatan yang diajukan serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil yang selama ini menilai UU Cipta Kerja cacat secara formil maupun materil.

Putusan MK: Tidak Semua Pasal Sah

Dalam sidang yang digelar pada 2 Oktober 2023, MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. MK memberikan waktu dua tahun untuk memperbaiki UU tersebut. Namun, karena pengesahan Perppu Cipta Kerja (yang seharusnya bersifat darurat) menjadi UU tidak memenuhi syarat kedaruratan, MK kembali menyatakan bahwa prosedur pembentukannya cacat.

Beberapa pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara substansi dan tidak berlaku antara lain:

1. Pasal 81 UU Cipta Kerja (Perubahan UU Ketenagakerjaan)

Pasal ini mengubah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, termasuk soal:

  • Outsourcing yang dibebaskan untuk berbagai jenis pekerjaan tanpa batasan.
  • Waktu kerja dan waktu istirahat yang dianggap mengabaikan perlindungan buruh.
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dipermudah dan tidak menjamin hak-hak pekerja secara layak.

MK menilai bahwa perubahan-perubahan ini tidak memperhatikan prinsip keadilan sosial dan bertentangan dengan hak atas pekerjaan layak sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan 28D UUD 1945.

2. Pasal 59 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan (Kontrak Berkepanjangan)

Pasal ini memungkinkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diperpanjang lebih lama dari ketentuan sebelumnya. MK menilai hal ini bertentangan dengan perlindungan terhadap status pekerjaan tetap, dan membuka ruang bagi praktik “kontrak seumur hidup” yang eksploitatif.

3. Pasal 88C dan 88D (Upah Minimum)

Pasal ini mengubah mekanisme penghitungan upah minimum dengan menghilangkan formula kenaikan berdasarkan kebutuhan hidup layak. MK menyatakan bahwa perumusan upah tanpa mempertimbangkan faktor kebutuhan dasar buruh tidak sejalan dengan prinsip negara kesejahteraan.

4. Pasal 175A dan 175B (Perubahan UU Ketenagalistrikan)

Ketentuan ini membuka ruang privatisasi sektor kelistrikan dan menyerahkan pengelolaan listrik kepada badan usaha swasta. MK menilai pengelolaan listrik sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.

Respon Serikat Pekerja: Kemenangan Rakyat Kecil

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan berbagai organisasi buruh menyambut gembira putusan MK. “Ini bukan hanya kemenangan hukum, tapi kemenangan moral rakyat kecil atas kesewenangan negara dan korporasi,” ujar Said Iqbal, Presiden KSPI.

Mereka mendesak pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja sesuai arahan MK, dengan melibatkan dialog sosial yang transparan dan partisipatif.

Respons Pemerintah: Evaluasi dan Penyesuaian

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengaku akan segera mengevaluasi pasal-pasal yang dibatalkan MK. “Pemerintah menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi dan akan menyesuaikan regulasi sesuai koridor konstitusional,” ujar Airlangga Hartarto dalam pernyataan resmi.

Meski demikian, pemerintah tetap bersikeras bahwa UU Cipta Kerja dibutuhkan untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Pakar Hukum Tata Negara: Bukti Kelemahan Legislasi

Guru Besar Hukum Tata Negara dari salah satu Universitas ternama di Indonesia menyebut keputusan MK sebagai koreksi terhadap praktik legislasi yang tergesa-gesa. “Ini membuktikan bahwa tidak semua omnibus law itu sesuai dengan prinsip negara hukum. Harus ada keterlibatan publik yang lebih bermakna,” katanya.

Arah Baru Pembentukan UU di Indonesia?

Putusan MK ini bisa menjadi titik balik dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia. Regulasi besar seperti UU Cipta Kerja tidak bisa lagi disusun secara sepihak, tanpa memperhatikan suara rakyat dan prinsip keadilan sosial.

Buruh, petani, nelayan, dan rakyat kecil yang selama ini merasa terpinggirkan oleh kebijakan pro-investor, kini mendapatkan secercah harapan dari lembaga yudisial tertinggi negara ini.