Gaji Tetap Rendah yang Lain Melaju, Berikut Negara-Negara Asia yang Bayar Buruh Lebih Tinggi dari Indonesia

Gaji Tetap Rendah yang Lain Melaju, Berikut Negara-Negara Asia yang Bayar Buruh Lebih Tinggi dari Indonesia

Purwakarta, KPonline – Isu klasik soal rendahnya upah buruh di Indonesia, bukan isapan jempol semata, data menunjukkan bahwa sejumlah negara tetangga di Asia telah melesat jauh dalam memberikan kompensasi yang lebih layak bagi para pekerja. Ironisnya, negara-negara tersebut bukan hanya negara maju seperti Jepang, Cina atau Korea Selatan, tetapi juga sesama negara berkembang yang secara ekonomi selevel atau bahkan lebih kecil dari Indonesia.

Berikut ini adalah daftar negara-negara di Asia yang memberikan upah minimum buruh lebih tinggi dari Indonesia, berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO), WageIndicator Foundation, serta situs resmi pemerintah masing-masing negara per 2025:

1. Tiongkok
Upah minimum rata-rata: Rp5.200.000 – Rp6.800.000 (bervariasi tergantung kota)

Kota besar seperti Shanghai dan Beijing memiliki standar upah minimum yang jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum provinsi di Indonesia. Bahkan kota industri tingkat kedua seperti Shenzhen tetap membayar buruh dengan gaji di atas Rp5 juta per bulan.

2. Thailand
Upah minimum: THB 354 per hari (setara Rp160.000)

Per bulan (26 hari kerja) yaitu Sekitar Rp4.160.000

Thailand mengalami peningkatan UMR nasional sejak 2023. Meskipun biaya hidup tidak jauh berbeda dari Indonesia, negeri Gajah Putih ini terbukti lebih menghargai tenaga kerja lokalnya.

3. Vietnam
Upah minimum: VND 4.680.000 per bulan (sekitar Rp3.000.000 – Rp3.800.000)

Meski hanya sedikit di atas upah minimum provinsi termurah di Indonesia, Vietnam menunjukkan tren positif. Karena dalam 5 tahun terakhir, upah buruh naik konsisten lebih dari 7% per tahun, sementara di Indonesia sering stagnan karena intervensi kebijakan upah murah.

4. Malaysia
Upah minimum nasional: RM 1.500 per bulan (sekitar Rp5.100.000)

Malaysia menetapkan standar upah minimum seragam untuk seluruh negara sejak 2023. Meski banyak tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia, negeri jiran tetap menjaga upah layak sebagai salah satu strategi menggenjot produktivitas.

5. Filipina
Upah minimum Metro Manila: PHP 610 per hari (sekitar Rp170.000)

Per bulan (26 hari kerja) yaitu sekitar Rp4.420.000

Filipina memberikan upah lebih tinggi bagi pekerja di kawasan urban, dan secara berkala menyesuaikan dengan inflasi serta kebutuhan hidup layak (KHL).

6. Korea Selatan
Upah minimum nasional: KRW 9.860 per jam (sekitar Rp119.000)

Per bulan (40 jam kerja/minggu): Sekitar Rp19.000.000

Keterangan: Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan upah minimum tertinggi di Asia, menjadikan negeri ginseng destinasi favorit bagi pekerja migran, termasuk dari Indonesia.

7. Jepang
Upah minimum rata-rata: JPY 1.000 per jam (sekitar Rp110.000)

Per bulan (40 jam kerja/minggu): Sekitar Rp17.000.000 – Rp20.000.000

Jepang menjadi simbol penghormatan terhadap pekerja, dengan struktur pengupahan yang profesional dan dilengkapi tunjangan sosial yang lengkap.

8. Singapura
Tidak memiliki upah minimum nasional, tetapi pekerja sektor tertentu (cleaning, security, retail) mendapat upah minimum sektoral mulai dari SGD 1.600 – SGD 2.200 per bulan (setara Rp18 – Rp25 juta)

Sistem meritokrasi Singapura mendorong pengupahan berdasarkan sektor dan produktivitas. Bahkan asisten rumah tangga migran pun bisa digaji di atas Rp6 juta per bulan.

Indonesia Masih di Bawah

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 tentang Penetapan UMP, upah minimum provinsi di Indonesia berkisar antara:

Rp1.982.000 (Jawa Tengah) hingga

Rp5.067.381 (DKI Jakarta).

Rata-rata nasional masih berkisar di Rp3.000.000 – Rp4.500.000 tergantung provinsi. Itu pun belum menyentuh komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) secara utuh.

Apa Penyebab Indonesia Tertinggal?

Beberapa pengamat ketenagakerjaan menyebutkan beberapa faktor utama:

• Kebijakan pengupahan berdasarkan PP Pengupahan 36/2021 pasca UU Cipta Kerja yang dinilai terlalu mengekang kenaikan upah.

• Tidak adanya indeks KHL yang tegas seperti sebelum era Omnibus Law.

• Daya tawar buruh yang lemah, terutama di sektor padat karya yang mudah digantikan dengan pekerja kontrak atau outsourcing.

• Union busting dan pembungkaman serikat buruh aktif turut berkontribusi terhadap stagnasi pengupahan.

Tuntutan untuk Revisi Kebijakan

Serikat pekerja atau Serikat buruh, seperti FSPMI – KSPI, telah berulang kali mendesak pemerintah untuk:

• Mengembalikan mekanisme KHL dalam penetapan UMP.

• Menghapus PP 36/2021 dan kembali ke sistem tripartit sejati.

• Mendorong pengusaha untuk memperlakukan buruh sebagai aset produktif, bukan beban biaya.

Intinya, kondisi ini menunjukkan bahwa upah buruh bukan sekadar soal angka, tapi juga soal penghargaan terhadap manusia pekerja. Ketika negara-negara tetangga mulai menghitung layak hidup dalam setiap rupiah gaji, Indonesia justru masih terjebak dalam logika upah murah demi menarik investasi.

“Pertanyaannya, sampai kapan kita akan menjual murah keringat rakyat sendiri?”