FSP RTMM-SPSI Uji UU Cipta Kerja

Jakarta,KPonline – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Permohonan Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 diajukan Sudarto dan Yayan Supyan selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum pada Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI.) Sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/4/2021) siang.

Andri yang mewakili Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 melakukan pengujian materiil Pasal 81 angka 15, Pasal 81 angka 16, Pasal 81 angka 17, Pasal 81 angka 42, dan Pasal 81 angka 44 Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Para Pemohon adalah pengurus federasi serikat buruh tingkat nasional yang dibentuk dari, oleh dan untuk buruh yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Bacaan Lainnya

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan berlakunya Bab IV UU Cipta Kerja—yang oleh pemerintah dan menjadi pengetahuan masyarakat disebut klaster ketenagakerjaan—dinilai sangat merugikan hak-hak konstitusional pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang diatur dalam UUD 1945. Hal yang merugikan, antara lain pengurangan upah, penghapusan lama kontrak atau hubungan kerja dalam pola Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), perluasan outsourcing, pengurangan pesangon, ketakutan pekerja buruh menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan/atau menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh.

Para Pemohon juga mendalilkan muatan materi Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja yaitu Pasal 59, Pasal 61 ayat (1) huruf c, Pasal 61A, Pasal 154A, Pasal 156, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena mengurangi (mendegradasi) hak-hak dasar/asasi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. UU Cipta Kerja bertentangan dengan yang sudah diatur UU 13/2003 serta bertentangan dengan filosofi Pancasila. Kemudian, secara sosiologis muatan materinya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pekerja/buruh, dan menimbulkan kekosongan hukum di bidang hubungan industrial. Selain itu, materi muatan tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia (HAM), dan sejumlah instrumen hukum internasional seperti Konvensi ILO dan DUHAM.

Menurut para Pemohon, Pasal 59, Pasal 61 ayat (1) huruf c, Pasal 61A, Pasal 154A, Pasal 156 dalam Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja saling terkait erat, karenanya walaupun para Pemohon tidak secara eksplisit menyebut setiap pasal dalam argumentasi hukum terhadap setiap pasal dalam Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020, namun dalam permohonan a quo bermaksud juga mengajukan permohonan pengujian materil atas seluruh pasal yang termuat dalam Bagian Kedua Bab IV UU No. 11/2020. Karenanya para Pemohon berpendapat, seluruh pasal dalam Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerjaberalasan menurut hukum untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Selain itu, para Pemohon mendalilkan dalam UU Cipta Kerjapengaturan PKWT dilakukan tanpa batas waktu, maka hakikat perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang menjadi terabaikan. Demikian pula dalam hal masa depan, PKWT menyebabkan masa depan buruh/pekerja menjadi tidak menentu karena selalu dibayangi sulitnya mencari pekerjaan baru setelah berakhirnya kontrak kerja, jenjang karier juga tidak dapat dibangun, demikian pula dengan keahlian, sementara kenaikan upah dan tunjangan sulit terwujud.

 

Untuk itulah, para Pemohon dari kedua perkara meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku anggota panel hakim, mempertanyakan identitas Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 sebagai Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Menjawab pertanyaan Ariefm Tim kuasa hukum Pemohon menyatakan para Pemohon adalah serikat pekerja.

“Kalau serikat pekerja, diwakili oleh siapa, menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya?” tanya Arief. Tim kuasa hukum Pemohon menjawab, serikat pekerja umum diwakili ketua umum dan sekretaris umum.

“Kalau begitu, Pemohonnya diwakili oleh satu badan atau peorangan?” tanya Arief lagi. Tim kuasa hukum Pemohon mengatakan diwakili badan, dalam hal ini serikat pekerja. Arief menegaskan, semestinya dalam permohonan dituliskan Pemohon adalah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, bukan menyebutkan ketua umum dan sekretaris umum selaku para Pemohon. Oleh sebab itu, nasehat Arief, Pemohon harus menjelaskan alasan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia memiliki kedudukan hukum.

Selanjutnya, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti cara penulisan dan format permohonan para Pemohon. Manahan memulai komentar terhadap permohonan Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 pada ‘perihal’ pengujian UU No. 11 Tahun 2020.

“Semestinya sudah ada pasal yang diuji. Kalau hanya membuat seperti ini seolah-olah adalah pengujian formil. Padahal yang dimaksud di sini adalah pengujian materiil. Terlihat ada keraguan dari para Pemohon. Pasal-pasal dalam Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 itu apakah diuji secara keseluruhan atau hanya pasal-pasal yang disebutkan tadi? Itu harus ditegaskan, ada hubungannya dengan isi permohonan,” kata Manahan yang juga meminta petitum para Pemohon diperbaiki dengan sejumlah masukan, antara lain petitum harus lebih konkret.

Sementara itu, Ketua Panel Aswanto menegaskan bahwa hal-hal yang sudah disampaikan anggota panel Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul sudah cukup komprehensif. Meski dalam ‘perihal’ permohonan, pada Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 tidak mencantumkan pasal-pasal yang diuji. Namun ada catatan sedikit dari Aswanto. Terkait Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 memang harus ada keterkaitan antara posita dengan petitum, seperti sudah dijelaskan sebelumnya oleh Arief Hidayat.

Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi para Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya dengan agenda pemeriksaan perbaikan akan digelar pada Senin, 3 Mei 2021 mendatang. mk

Pos terkait