Cerita Prana Rifsana Aktivis Buruh Perbankan Indonesia

Bandung, KPonline – Partai Buruh telah lolos menjadi peserta Pemilihan Umum yang akan di helat pada tahun 2024 mendatang, lalu rapat-rapat dan konsolidasi-konsolidasi terus dilakukan di kantong-kantong suara para pekerja/buruh, terutama di pabrik-pabrik dimana tempat ribuan pekerja/buruh mencari nafkah, melalui persatuan buruh, beberapa organisasi di kota-kota di seluruh Indonesia yang tergabung dalam serikat pekerja/buruh menyatukan tekadnya dari mulai tokoh pendiri ulang hingga pendukung Partai Buruh, gencar melakukan pembentukan persatuan buruh serta mendeklarasikan diri siap untuk berjuang bersama-sama secara sukarela demi kemenangan Partai Buruh pada pemilu 2024 mendatang.

Lalu bagaimana dengan pekerja/buruh di sektor Perbankan tempat Prana Rifsana (Ketua Exco Partai Buruh Kota Bandung), yang telah mengabdi hampir selama 25 Tahun dan menjadi salah satu pendiri serikat pekerja di sektor Perbankan, bahkan ia menjabat selaku ketua umum selama 3 (tiga) periode berturut-turut, ia juga mengatakan bahwa hingga saat ini masih terbesit dalam ingatannya, ketika bersama-sama dengan kawan-kawan serikat buruh sektor Perbankan membangun aliansi yang bernama Indonesia Banking Union atau di singkat IBU pada tahun 2010 silam.

Indonesia Banking Union pada saat itu terdiri dari 12 (dua belas) serikat Perbankan, masing-masing berasal dari Federasi yang berbeda, diantaranya FSPSI NBA AGN, ASPEK, FSBSI NIKEUBA, OPSI dan FSPSI NBA Yoris, walau hanya sebuah aliansi, namun kala itu mampu menghadirkan para Direksi dari beberapa Bank yang memiliki permasalahan hubungan industrial dihadapan pengawas Bank Indonesia yang konon temuan-temuannya dapat efektif merubah kebijakan Bank tersebut. Tak hanya itu Indonesia Banking Union (IBU) juga pernah di undang oleh salah satu fraksi di DPR-RI dalam dengar pendapat menjelang pemilihan Gubernur Bank Indonesia.

Perjuangan serikat buruh Perbankan memang unik, mereka jarang sekali mengunakan jalur-jalur regular perselisihan hubungan industrial ke Dinas Tenaga Kerja (mediasi) ataupun ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebab penyelesaian permasalahan melalui jalur pengawasan Bank Indonesia (BI) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ternyata jauh lebih efektif, entah mengapa pihak manajemen perusahaan Perbankan lebih enggan berurusan dengan Otoritas Jasa Keuangan daripada dengan pihak Dinas Tenaga Kerja.

Setelah Indonesia Banking Union (IBU) meredup, karena salah satu faktornya adalah padatnya aktivitas internal para pengurusnya, kemudian pada tahun 2017 Prana Rifsana dan beberapa kawan serikat buruh sektor Perbankan lainya membentuk JARKOM SP Perbankan, keanggotaan pada saat itu cukup banyak yaitu ada 21 serikat pekerja/buruh yang tergabung didalamnya, dengan berbagai latar belakang Federasi mereka masing-masing termasuk Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

Menurut Prana JARKOM SP Perbankan pergerakannya lebih agresif, salah satunya dengan membuka jaringan kepada organisasi buruh dan gerakan rakyat lainnya, yang sering berdiskusi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, bersama KPBI, SGBN, KSN, LBH Jakarta dan organisasi gerakan rakyat lainnya, JARKOM SP Perbankan menjadi bagian dalam pendirian aliansi gerakan rakyat yang dinamakan Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK), dimana hingga saat ini KASBI masih bergabung didalamnya, “tuturnya.

Lalu JARKOM SP Perbankan saat itu menjadi motor penggerak gerakan-gerakan pekerja/buruh sektor Perbankan dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh GEBRAK, yang dimotori oleh serikat pekerja Bank Permata, serikat pekerja Bank Danamon, Bank Indonesia Banking Union, maupun JARKOM SP Perbankan, hal tersebut adalah salah satu upaya untuk mengkristalkan perjuangan buruh sektor Perbankan, pekerja/buruh sektor Perbankan memang tidak militan seperti halnya para pekerja/buruh sektor lainnya, sebab mereka sulit untuk dihadirkan dalam aksi-aksi jalanan dan kegiatan lainnya.

Kebangkitan Partai Buruh juga telah menjadi sarapan pagi dengan adanya berita-berita yang selalu mereka baca dan ikuti, walaupun tidak reaktif dengan memberikan komentar di media sosial, karena terbentur dengan kode etik masing-masing perusahaan yang mengedepankan nama baik perusahaan di mata nasabah, membuat mereka sangat hati-hati dalam berinteraksi di dalam media sosial, namun positifnya mereka tidak mempan dengan politik uang, sebab saat ini hampir setiap pemilu, baik Pileg, Pilpres dan Pilkada sudah menjadi penyakit menjijikkan dan menular di tengah-tengah masyarakat.

Merekalah yang melototi dan bisik-bisik membicarakan peredaran uang di saat berlangsungnya ajang kontestasi besar tersebut, setiap tahun mereka memiliki kewajiban mengikuti pendidikan Money Laundry, sehingga bagi mereka praktek-praktek mencurigakan para nasabah sudah diluar kepala. Selain itu mereka juga dapat mendeteksi adanya politik uang yang di lakukan, maka tak heran jika ada kebijakan di internal mereka untuk tidak diperbolehkan menjadi pengurus partai.

Sebagian dari mereka kadang muak dengan partai politik yang ada saat ini, bahkan lebih memilih untuk berlibur saat pemilu dilaksanakan, namun dengan Partai Buruh yang memiliki ideologi dan perjuangan yang sama dengan perjuangan organisasi pekerja/buruh yang kebetulan mereka ikuti di perusahaannya, membuat Pemilu di tahun 2024 mendatang adalah Pemilu yang berbeda.

Mereka sadar bahwa dirinya adalah bagian dari kelas pekerja, di saat politik bangsa ini sekarang yang sudah cenderung memihak kepada kaum kapitalis, maka dengan begitu kedepan harus dibuat seimbang dengan hadirnya partai kelas pekerja, karena Partai Buruh adalah partai rakyat sejati yang setiap harinya bekerja dan bersama dengan organisasi buruh masing-masing, tanpa harus menunggu pemilu datang baru berlomba-lomba hadir di tengah-tengah masyarakat, “tegas Prana Rifsana yang saat ini menjabat sebagai ketua Exco Partai Buruh Kota Bandung sekaligus pendiri serikat pekerja Bank Permata, pendiri Indonesia Banking Union (IBU) & JARKOM SP Perbankan”.