BAB 14
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Xu Liang, kami tidak tahu pasti apa yang terjadi di balik layar. Namun, setiap langkah yang dia ambil membawa sedikit harapan bagi kami, dan kini, saatnya kami mengetahui lebih banyak.
Pagi itu, saat aku tiba di pabrik untuk melanjutkan perjuangan, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih tegang, lebih berat. Semua karyawan terlihat cemas, seolah menunggu kabar buruk atau mungkin, kabar baik. Aku tahu ini adalah titik balik yang bisa membawa kami ke arah yang lebih baik, atau malah semakin terperosok ke dalam ketidakpastian.
Tepat saat aku melangkah masuk ke area pabrik, aku melihat beberapa manajer berkumpul di sudut ruangan, tampaknya sedang berbicara serius. Namun, aku tidak bisa mendengar percakapan mereka. Suara mesin yang berputar dan bising menutupi semua itu. Tetapi yang membuatku merasa aneh adalah mereka tidak melihat kami dengan tatapan yang sama lagi. Ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berbuat seperti biasa. Aku merasa kami mulai mempengaruhi mereka—atau setidaknya, ada ketakutan di mata mereka.
Kemudian, tiba-tiba, Xu Liang muncul di depan kami. Dia berjalan dengan penuh keyakinan, matanya tajam memandang ke arah para manajer yang terkejut melihat kehadirannya. Semua orang diam, seolah terkejut dengan keberanian Xu Liang untuk datang ke pabrik pada jam kerja seperti ini.
“Saya telah melakukan investigasi internal,” kata Xu Liang, suaranya tegas dan penuh wibawa. “Saya menemukan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di bawah pengawasan manajemen lama. Ada banyak hal yang tidak sesuai dengan peraturan tenaga kerja yang berlaku.”
Seperti halnya ketika ada ledakan kecil di dalam kerumunan, seluruh pabrik tiba-tiba hening. Bahkan mesin-mesin yang biasanya bising pun terasa mereda. Semua mata tertuju pada Xu Liang. Suasana berubah sangat cepat dari ketegangan menjadi penuh keingintahuan.
Aku berdiri di sana, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Xu Liang. “Saya sangat terkejut mengetahui bahwa manajer pabrik ini, beserta beberapa bawahannya, telah menyembunyikan informasi penting tentang kondisi kerja, jam lembur yang melampaui batas, bahkan pengurangan upah secara sepihak. Ini semua melanggar hak-hak pekerja yang dilindungi oleh undang-undang.”
Aku merasa hatiku berdetak lebih cepat. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah aku duga. Ternyata, bukan hanya kami yang telah diperlakukan tidak adil, tetapi juga mereka yang sebelumnya berpura-pura tidak tahu. Tidak hanya diriku dan teman-temanku yang tersakiti, melainkan seluruh karyawan di pabrik ini. Rasa marah dan kecewa begitu menggelora dalam dada, namun ada secercah harapan yang tumbuh di dalam diriku.
Xu Liang melanjutkan, “Saya akan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku. Mulai hari ini, mereka tidak akan bekerja di pabrik ini lagi. Semua kebijakan yang melanggar hak-hak buruh akan dicabut, dan setiap pengurangan gaji atau jam kerja yang tidak sesuai dengan aturan akan dibayar kembali kepada karyawan yang terpengaruh.”
Sebuah gemuruh perlahan muncul dari teman-teman buruh yang ada di sekitarku. Aku bisa melihat air mata kegembiraan di wajah beberapa orang. Kami berjuang keras selama ini, dan akhirnya, ada orang yang berkuasa yang mendengar dan bertindak untuk kami.
Tetapi, aku tahu bahwa ini belum berakhir. Aku melihat beberapa manajer yang tadi berkumpul, kini tampak kebingungan dan marah. Mereka tidak terima dengan keputusan Xu Liang. Aku bisa merasakan suasana yang semakin panas. Mereka pasti akan melawan. Tapi kali ini, aku yakin kami sudah terlalu kuat untuk ditakut-takuti.
Xu Liang menambahkan, “Untuk sementara, saya akan menempatkan pengawas baru untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang diberlakukan benar-benar memenuhi standar yang ada. Kami akan melakukan perbaikan, dan saya mengundang para wakil buruh untuk berdialog lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang perlu diambil.”
Mendengar kata-kata itu, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di depan mata kami. Ini bukan hanya tentang mengubah kebijakan pabrik atau mendapatkan hak-hak kami yang selama ini terabaikan. Ini lebih dari itu. Ini tentang menegakkan keadilan, tentang memastikan bahwa setiap buruh yang ada di pabrik ini tidak hanya menjadi alat produksi, tetapi juga dihargai sebagai manusia.
Namun, meskipun Xu Liang memberi harapan baru, aku tahu bahwa tantangan kami belum selesai. Manajemen yang lama pasti akan berusaha untuk mengembalikan keadaan seperti semula, mereka tidak akan menyerah begitu saja. Aku melihat beberapa teman yang mulai merasa cemas, mereka takut perubahan ini hanya akan berlangsung sementara.
“Rina, apakah kamu yakin kita bisa memenangkan ini?” tanya Aji, salah satu teman yang selalu mendukungku.
Aku menatapnya dengan tegas. “Kita tidak akan mundur. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga untuk mereka yang tidak berani bersuara. Ini adalah hak kita, dan kita harus melawan sampai akhir.”
Aku bisa melihat teman-temanku mulai percaya lagi. Di dalam hati, aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan banyak rintangan yang harus kami hadapi. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa yakin bahwa kami akan menang. Kami tidak lagi sendirian. Ada kekuatan yang lebih besar di belakang kami.
“Ini baru permulaan,” kataku, sambil menatap Xu Liang yang sedang berdiri di depan kami. “Kami akan terus berjuang, sampai semua hak kami dipenuhi.”
Xu Liang mengangguk, dan aku bisa melihat bahwa dia sungguh-sungguh ingin mendukung perjuangan kami. “Saya janji, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki ini,” katanya dengan serius.
Dan di situlah, di tengah-tengah pabrik yang penuh dengan rasa tidak pasti, kami merasa sedikit lebih kuat. Ada harapan yang mulai tumbuh, dan meskipun perjalanan kami masih panjang, kami tahu kami berada di jalur yang benar.
BAB 15
Hari itu menjadi awal dari perubahan besar.
Esok paginya, aku dan perwakilan serikat buruh lainnya dipanggil untuk bertemu langsung dengan Xu Liang di ruang rapat besar yang biasanya hanya digunakan oleh para petinggi. Meja panjang yang mengilap, layar proyektor besar, dan ruangan ber-AC yang selama ini tak pernah bisa kami masuki, kini menjadi tempat kami duduk berdampingan dengan sang CEO.
Di dalam ruangan itu, Xu Liang memulai pertemuan dengan sebuah pernyataan yang menggemparkan: “Saya secara resmi mencopot Direktur Pabrik dan tiga manajer senior yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran undang-undang tenaga kerja, dan manipulasi laporan keuangan.”
Jantungku berdegup keras. Aku tak menyangka, dalam waktu secepat ini, mereka benar-benar ditindak. Satu per satu nama-nama yang selama ini menjadi momok di kehidupan kami, kini jatuh dari kursinya. Para kaki tangan yang selama ini menindas kami akhirnya dipaksa menelan pil pahit.
Lalu Xu Liang berkata, “Kami tidak ingin konflik berkepanjangan. Maka dari itu, saya ingin menawarkan jalan damai. Kami ingin memulai dari awal. Tapi kami juga tahu, tidak bisa melangkah maju jika luka lama masih terbuka. Maka saya ingin mendengar langsung dari kalian, apa yang menjadi tuntutan kalian.”
Aku menghela napas panjang. Ini saatnya.
Aku berdiri perlahan, menatap langsung ke arahnya. “Kami ingin semua rekan kami yang di-PHK sepihak, dipekerjakan kembali. Kami ingin kontrak kerja yang jelas, status pekerja tetap bagi mereka yang sudah mengabdi bertahun-tahun. Kami ingin upah lembur dibayar sesuai undang-undang. Dan jika suatu hari ada PHK, kami ingin hak pesangon diberikan secara penuh. Kami bukan mesin. Kami manusia.”
Ruang rapat sunyi.
Xu Liang menunduk sejenak, lalu berkata dengan suara tegas, “Saya menyanggupi semuanya.”
Kami saling berpandangan. Tak percaya. Beberapa di antara kami meneteskan air mata. Bukan karena kelemahan, tapi karena bertahun-tahun perjuangan yang tak pernah dihargai, akhirnya menemui titik terang. Seakan langit yang selama ini mendung, akhirnya memperlihatkan cahaya.
Namun Xu Liang tak berhenti di situ. Dia membuka laptopnya, lalu memperlihatkan sebuah draf perjanjian kerja bersama (PKB) yang telah ia susun bersama penasihat hukum dan timnya. Di dalamnya tertulis klausul perlindungan terhadap buruh, jaminan kesehatan yang layak, hak cuti melahirkan, cuti ayah, dan pelatihan keterampilan secara berkala.
Aku membacanya dengan jantung berdegup tak menentu. Ini bukan hanya revolusi di pabrik kami, tapi bisa jadi model perjuangan buruh di banyak tempat lainnya.
“Namun saya punya satu syarat,” ujar Xu Liang tiba-tiba.
Kami menoleh serempak.
“Saya ingin kalian menjadi mitra strategis kami. Serikat buruh ini bukan hanya pengawas, tapi juga sahabat dalam membangun pabrik yang sehat, adil, dan manusiawi. Kalian bantu kami memastikan sistem ini berjalan. Kalian yang menjaga agar perusahaan tetap tegak berdiri, dan kami akan menjaga agar kalian tetap dihargai.”
Aku merasa tubuhku gemetar. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan.
Kami mengangguk. Sepakat.
Tiga hari kemudian, pabrik kami menjadi berita nasional. “Pabrik Tekstil X Menandatangani PKB dengan Serikat Buruh: Model Ideal Hubungan Industrial.” Wartawan datang. Beberapa aktivis buruh dari berbagai daerah menghubungiku untuk belajar dan mendukung.
Dan yang paling menyentuh, satu persatu kawan-kawan yang dulu di-PHK mulai kembali berdatangan ke pabrik. Ada yang masih trauma, ada yang masih ragu, tapi kami menyambut mereka dengan pelukan. Mereka tahu, pabrik ini sudah berubah. Setidaknya, sedang berusaha berubah.
Di hari Senin pagi, manajemen baru memperkenalkan diri kepada seluruh pekerja. Mereka bukan dari kalangan lama, tapi orang-orang profesional dari pusat yang dibawa langsung oleh Xu Liang. Mereka memperkenalkan sistem baru: transparansi jam kerja, buku pengaduan karyawan yang langsung dipantau pusat, dan bahkan jalur pelatihan untuk promosi jabatan dari kalangan buruh sendiri.
Aku berdiri di depan serikat, memandang wajah-wajah yang dulu penuh luka, kini mulai menampakkan harapan. Perjuangan kami belum selesai, tapi fondasi sudah dibangun.
Dan saat matahari pagi menembus kaca jendela pabrik yang dulu terasa seperti penjara, aku tahu…
…inilah rumah baru yang kami bangun dari keringat, air mata, dan keberanian.
***
Kalimat itu terngiang di benakku saat aku melangkah masuk ke area produksi yang kini terasa begitu berbeda. Dulu setiap langkahku terasa berat, seolah rantai tak kasat mata mengikat kakiku. Tapi hari ini, langkahku ringan—karena aku tahu, kami sudah merebut kembali martabat kami sebagai manusia.
Hari itu, suasana pabrik seperti tak pernah kulihat sebelumnya. Musik pelan terdengar dari speaker umum—bukan untuk menghibur manajemen, tapi untuk memberi semangat kepada para pekerja. Papan pengumuman penuh dengan informasi penting: jadwal pelatihan kerja, prosedur pengajuan cuti, dan bahkan daftar keluhan yang sudah ditindaklanjuti.
Beberapa rekan kerja yang dulu tertutup dan pendiam, kini mulai tersenyum dan berbicara. Ada rasa percaya yang baru tumbuh di antara kami. Rasa bahwa suara kami, kini benar-benar berarti.
Aku ingat, dulu kami hanya saling tatap ketika ada yang diperlakukan tak adil. Kami saling bisik saat jam istirahat, takut jika bicara terlalu keras bisa berujung SP atau pemecatan. Tapi sekarang? Kami duduk bersama, berdiskusi terbuka. Serikat buruh bukan lagi hal yang ditakuti—tapi tempat berlindung, tempat tumbuh bersama.
Di salah satu sudut kantin yang baru direnovasi, aku melihat Lita—sahabatku yang dulu di-PHK—tertawa sambil menyendok nasi dari kotaknya. Ia baru saja kembali seminggu lalu, dan kini ditempatkan di divisi quality control.
“Aku pikir gak akan pernah kembali ke sini,” katanya padaku sambil menghela napas. “Tapi waktu lihat kamu dan semua orang di sini masih bertahan… masih berjuang… aku sadar, pabrik ini bukan cuma tempat kerja. Ini rumah kita.”
Aku menggenggam tangannya. “Dan rumah ini gak akan pernah kita biarkan dirampas lagi.”
Hari-hari berlalu, dan perubahan itu semakin terasa. Waktu kerja diatur manusiawi, tidak ada lagi lembur dipaksa. Jika ada yang sakit, benar-benar diberi waktu istirahat dan dukungan. Bahkan, manajemen mengadakan sesi konsultasi psikologi sebulan sekali bagi karyawan yang ingin bicara tentang tekanan kerja atau masalah pribadi.
Minggu pertama bulan berikutnya, Xu Liang kembali datang ke pabrik. Tapi kali ini bukan untuk menyelesaikan konflik—melainkan untuk meresmikan Pusat Pelatihan Karyawan hasil usulan dari serikat buruh. Pusat ini akan melatih para pekerja di bidang keterampilan tambahan seperti komputer, akuntansi sederhana, hingga menjahit modern.
“Pekerja yang terampil bukan hanya menguntungkan perusahaan, tapi juga membuka masa depan baru bagi tiap individu,” katanya dalam sambutannya.
Wajah-wajah pekerja bersinar. Di antara mereka, aku melihat para buruh tua yang dulu dipinggirkan, kini diajak melatih para pekerja muda. Tidak ada lagi kasta, tidak ada lagi diskriminasi.
Sore itu, aku duduk sendirian di bawah pohon rindang di halaman belakang pabrik. Pohon itu dulunya tempat para pekerja bersembunyi untuk menangis, menghela napas, atau sekadar menenangkan hati yang lelah. Sekarang, pohon itu menjadi tempat kami merayakan ulang tahun rekan kerja, tempat makan siang bersama, tempat kami tertawa tanpa rasa takut.
Aku membuka buku kecil yang selalu kubawa—buku yang dulu kugunakan untuk mencatat pelanggaran manajemen secara diam-diam. Tapi kali ini, aku menulis hal berbeda:
“Hari ini, aku melihat wajah-wajah penuh harapan. Pabrik ini bukan lagi tempat yang menindas, tapi ladang tempat kami menanam masa depan. Kami tidak lagi hanya buruh. Kami manusia yang punya suara, dan suara itu telah mengubah segalanya.”
Adit…
Aku memandang langit.
Andai kau masih di sini, kau pasti bangga melihat ibu. Semua ini berawal dari kehilanganmu. Dari rasa sakit yang tak tertahankan, menjadi api yang menyala dalam hatiku untuk tak membiarkan orang lain kehilangan seperti aku. Kau adalah alasan aku melangkah. Dan sekarang, ibu telah sampai.
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Beberapa rekan kerja berdiri sambil membawa kue kecil dan lilin menyala.
“Ini untukmu, Rina. Tanpa kamu, kami mungkin tak akan pernah bangun. Selamat atas ulang tahun perjuangan kita.”
Aku tersenyum lebar, menahan air mata yang mulai menggenang. Kami menyanyikan lagu bersama. Tak ada lagi rasa takut. Tak ada lagi teriakan mandor. Yang ada hanyalah tawa, pelukan, dan harapan.
Dan ketika malam tiba, kami tetap duduk di bawah pohon itu, menyanyikan lagu-lagu lama yang dulu kami bisikkan dalam duka. Kini, kami nyanyikan dengan suara lantang, sebagai penanda:
Rumah ini, akhirnya kembali menjadi milik kami.
Epilog: “Untuk Semua Ibu yang Tak Pernah Menyerah”
Pagi itu, aku berdiri di depan gedung serba guna pabrik, kini berubah nama menjadi Balai Rakyat Pekerja Rina Aditama. Sebuah nama yang dipilih bersama oleh seluruh anggota serikat buruh—untuk menghormati perjuangan seorang anak kecil yang menjadi cahaya dan seorang ibu yang menolak padam.
Gedung itu kini menjadi tempat pelatihan, ruang serbaguna, dan kantor utama serikat pekerja. Di dinding depannya, terukir kutipan:
“Kami bukan mesin produksi. Kami manusia yang bermimpi, bekerja, dan mencintai. Dan kami akan terus berdiri.”
Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari itu. Kini aku tak lagi mengenakan seragam pabrik, tapi kemeja putih dan jilbab abu-abu yang rapi. Tugasku bukan lagi di jalur produksi, tapi di ruang diskusi, advokasi, dan kebijakan. Aku diundang ke berbagai daerah untuk berbicara tentang perjuangan buruh, tentang hak yang bukan hanya layak, tapi wajib ditegakkan.
Tapi meski kini semua terasa stabil dan sistemik, aku tak pernah lupa: perubahan besar selalu dimulai dari luka kecil. Dan luka itu adalah kehilangan Adit.
Setiap langkahku masih membawanya. Saat aku bicara tentang hak cuti ibu, aku mengingat malam-malam panjang saat Adit demam sendirian di rumah. Saat aku mendorong pelatihan psikologi kerja, aku teringat bagaimana tekanan di pabrik pernah membuatku kehilangan akal sehat. Saat aku memperjuangkan kontrak tetap dan pesangon, aku teringat wajah-wajah buruh harian yang dibuang seperti limbah.
Perjuangan itu belum selesai. Tapi sekarang kami tak lagi sendiri. Federasi buruh kini lebih kuat, terhubung di seluruh negeri. Undang-undang perlindungan pekerja direvisi, dan salah satu pasalnya diberi nama “Pasal Adit” —tentang kewajiban perusahaan memberi waktu darurat kepada pekerja yang anaknya sakit parah.
Aku sering ditanya media: “Kenapa masih terus berjuang meski sudah tak bekerja di pabrik?”
Dan jawabanku selalu sama:
“Karena aku tahu rasanya menjadi suara yang dibungkam. Dan aku ingin memastikan, tak ada lagi ibu yang harus memilih antara pekerjaannya… atau nyawa anaknya.”
Hari itu, di Balai Rakyat Pekerja, aku berdiri di hadapan puluhan anak-anak pekerja pabrik yang kini belajar membaca, menggambar, dan bermimpi. Di tangan mereka, cita-cita tak lagi dibatasi oleh kemiskinan. Mereka punya ibu-bapak yang pulang lebih awal, yang ikut rapat orang tua di sekolah, yang bisa tersenyum meski tak kaya raya—karena mereka tahu: hak mereka dihormati.
Di barisan paling depan, berdiri Lita, Gito, Bang Ujang, dan semua kawan lama. Mereka kini jadi pengurus serikat wilayah, bahkan beberapa sudah jadi anggota dewan pengawas ketenagakerjaan. Kami saling pandang dan mengangguk. Tak perlu kata-kata. Karena kami tahu, semua ini berawal dari satu keberanian.
Aku menoleh ke belakang. Ada anak-anak remaja mengenakan seragam biru. Para pekerja baru. Mereka belum lahir saat Adit pergi. Tapi mereka ada di sini, menikmati hasil dari perjuangan yang dibayar mahal.
Aku berdiri di podium. Mikrofon menyala.
“Nama saya Rina. Saya bukan pahlawan. Saya hanya seorang ibu buruh yang terlalu cinta pada anaknya. Dan dari cinta itulah semuanya berubah.”
Tepuk tangan bergemuruh. Tapi aku hanya menatap langit, tersenyum.
Karena di sana, aku yakin, ada satu anak laki-laki kecil yang tersenyum lebih lebar dari siapa pun.