Bertaruh Nyawa Demi Keluarga

Aksi solidaritas menolak hukuman mati “Hentikan Eksekusi Beruntun Terhadap Buruh Migran Indonesia.” (Doc Maxie)

Saya lahir di Blitar, Jawa Timur.

Blitar menjadi salah satu daerah yang paling banyak mengekspor tenaga kerja ke luar negeri. Sejak kecil saya sudah terbiasa melihat tetangga saya yang terpaksa mengambil pilihan sulit itu. Bahkan teman saya di sekolah menengah pertama, Desi, tak kuasa menolak menjadi buruh migran. Padahal otaknya cemerlang, di sekolah selalu menjadi bintang.

Bacaan Lainnya

Menjadi buruh migran bukan cita-cita Desi. Kepada saya, ia pernah berkata bahwa cita-citanya adalah ingin menjadi Arsitek. Saya juga tahu dengan persis, tetangga-tetangga saya itu, tidak ada satu pun yang awalnya bercita-cita menjadi buruh migran.

Siapa yang mau pergi ke luar negeri, sedangkan dia tidak tahu bahasa yang digunakan disana? Siapa mau berpisah dengan keluarga dalam waktu yang lama dan beberapa diantaranya pulang tinggal nama?

“Nggak apa-apa saya pergi. Do’akan saja. Ini semua demi keluarga,” inilah jawaban yang pernah saya dengar ketika salah seoarang tetangga saya akan berangkat ke Taiwan. Demi keluarga mereka rela bertaruh nyawa dengan mencari peruntungan di negeri orang. Banyaknya buruh migran yang tersangkut kasus hukum, beberapa diantaranya bahkan sudah menjalani vonis mati, tak membuat niatnya goyah. Lagi-lagi, demi keluarga.

Aksi solidaritas menolak hukuman mati “Hentikan Eksekusi Beruntun Terhadap Buruh Migran Indonesia.” (Doc Maxie)
Aksi solidaritas menolak hukuman mati “Hentikan Eksekusi Beruntun Terhadap Buruh Migran Indonesia.” (Doc Maxie)

Tahun 2002, saya pun menjadi buruh migrant. Bedanya, saya melakukan migrasi dari tempat kelahiran di Blitar dan menetap dalam waktu yang lama di Serang, Banten. Ini memang berbeda dengan tetangga saya yang bekerja ke luar negeri (internasional). Tetapi alasannya sama: tidak banyak pekerjaan yang bisa saya dapatkan di Blitar.

Di Serang, Banten, ternyata saya juga bertemu dengan masyarakat yang menjadi TKI/TKW ke luar negeri. Padahal daerah ini dikenal sebagai daerah industri. Tangerang, masih satu provinsi dengan Serang, bahkan dijuluki sebagai kota dengan seribu industri. Tetapi mengapa mereka harus pergi ke luar negeri hanya untuk menjadi buruh?

Sejak saat itu saya sadar, berbicara tentang buruh migran tidak hanya bicara tentang kedaerahan. Ini bukan tentang Blitar atau Serang. Berbicara tentang buruh migrant adalah berbicara tentang Indonesia. Tentang kita semua: saya dan anda.

Di Serang dan Tangerang, yang notabene daerah industri, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan. Pabrik-pabrik baru terus dibangun, tetapi kemudian yang menjadi tenaga kerja disana bukanlah mereka yang kebanyakan berpendidikan rendah.

Sementara hidup harus tetap berlanjut. Jadi bukan karena tidak cinta dengan negeri sendiri, kalau akhirnya mereka memilih menjadi buruh migran ke luar negeri.

Diluar itu, ada satu hal yang seringkali luput dari perhatian. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Saya tidak tahu, mereka sengaja dikorbankan atas nama tanggungjawab keluarga. Ataukah karena pengaruh patriarkhi, bahwa perempuan adalah makhluk manis yang penurut. Buruh identik dengan orang yang gampang disuruh-suruh, dan perempuan dianggap sebagai orang yang tidak gampang mengeluh.

Itulah yang mendorong saya pada tahun 2010 yang lalu memprakarsasi penulisan buku ‘Bicaralah Perempuan’. Ketika itu, saya mengundang perempuan-perempuan Indonesia untuk menyuarakan berbagai kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Setidaknya 16 (enam belas) orang perempuan ikut andil dalam penulisan buku yang sekaligus dimaksudkan untuk “Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” bersama-sama dengan Komnas Perempuan dan Forum Solidaritas Buruh Serang.

Beberapa penulisnya adalah buruh migran yang bekerja di Hongkong dan Malaysia. Saya memang tidak pernah kesana, tetapi membaca tulisan mereka, saya menjadi tahu betapa hebatnya perjuangan mereka untuk tetap berdiri tegak sebagai seorang manusia.

Ketika mendengar ada buruh migran yang dituduh membunuh majikannya, saya tak yakin mereka memiliki niat untuk membunuh. Dalam hal ini, saya selalu teringat dengan kata-kata itu, “Demi keluarga…” Mereka pergi dengan sepenuh cinta untuk kelurganya. Untuk anak-anaknya. Sembari berjanji satu saat nanti akan kembali. Tak mungkin memiliki niat keji, jika terlebih dahulu tak disakiti.

Maka, sekali lagi, ini permasalahan kita sebagai bangsa. Itulah sebabnya, penolakan hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia bukan hanya tanggungjawab sekelompok orang dengan aksi-aksi di jalanan. Semestinya negara turun tangan, berdiri di garda depan untuk melindungi warga negera dari eksekusi mati.

Dan itu bisa dimulai dengan menghapus hukuman mati di Indonesia…

.

Kahar S. Cahyono

Pos terkait