Narasi yang menyudutkan aksi buruh sebagai penyebab hengkangnya investor kerap digembor-gemborkan dalam diskursus publik, terutama oleh elite ekonomi dan pejabat pemerintah yang ingin meredam gelombang protes dari kelas pekerja. Namun benarkah aksi buruh menjadi biang kerok terganggunya iklim investasi? Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Salah satu contoh paling konkret adalah PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA), produsen alat musik asal Jepang yang telah lama beroperasi di Indonesia. Meski sempat diterpa aksi buruh dalam beberapa bukan terakhir, Yamaha tetap bertahan dan malah terus berkembang. Perusahaan ini tidak hanya masih berdiri kokoh, tetapi juga aktif membuka lowongan kerja hingga pertengahan 2025.
Fakta yang Berbicara: Yamaha Tidak Tutup, TapiRekrutPekerja Baru
Saat sebagian media menggiring opini bahwa aksi buruh bisa menakut-nakuti investor dan menyebabkan perusahaan hengkang, fakta tentang Yamaha menunjukkan sebaliknya. Pabrik Yamaha di salah satu kawasan industri di Bekasi, tetap beroperasi seperti biasa. Bahkan pada bulan Mei 2025, laman rekrutmen resmi Yamaha membuka lowongan.
Sumber internal dari serikat pekerja di Yamaha menyebutkan bahwa hubungan industrial di perusahaan itu memang mengalami pasang surut, termasuk soal tuntutan upah layak dan status kerja. Namun, semua itu diselesaikan melalui dialog tripartit yang sehat antara manajemen, serikat pekerja, dan dinas tenaga kerja.
“Kalau benar aksi buruh menyebabkan pabrik tutup, mestinya Yamaha sudah tutup saat terjadi aksi yang terus berlanjut. Nyatanya sampai sekarang malah rekrut orang baru”.
Narasi Lama, Tujuan Baru: Menyudutkan Buruh
Narasi bahwa demonstrasi buruh mengganggu iklim investasi bukan hal baru. Di era Orde Baru, pemerintah pun menggunakan dalih serupa untuk membungkam suara buruh. Kini, narasi itu muncul kembali dalam konteks modern, terutama pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja dan penolakan luas dari buruh terhadap pasal-pasal yang dianggap merugikan.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menyebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keputusan investor, dan aksi buruh bukanlah faktor dominan.
“Investor itu lebih mempertimbangkan kestabilan hukum, kepastian berusaha, infrastruktur, dan tenaga kerja terampil. Aksi buruh adalah bagian dari demokrasi industri,” jelas Eko kepada media,.
Investasi Justru Tumbuh di Tengah Aksi Buruh
Jika aksi buruh dianggap ancaman, maka pertumbuhan investasi di sektor manufaktur selama periode 2022–2024 seharusnya stagnan atau menurun. Namun data dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menunjukkan hal yang berlawanan. Realisasi investasi di sektor industri pengolahan justru tumbuh pesat, dengan nilai mencapai Rp 322 triliun pada 2024, naik dari Rp 297 triliun pada tahun sebelumnya.
Bahkan kawasan industri di Bekasi dan Karawang, dan Purwakarta yang merupakan wilayah dengan aksi buruh paling rutin tetap menjadi primadona investasi asing. Terutama dari Jepang, Korea Selatan, dan China. Ini menandakan bahwa aksi buruh tidak serta-merta membuat investor mundur.
Pabrik Lain yang Tetap Eksis Meski Pernah Dihantam Aksi
Selain Yamaha, banyak perusahaan lain yang tetap bertahan dan berkembang antara lain yakni PT Hino Motors Manufacturing Indonesia (HMMI). Sampai saat ini mereka menggelar dialog sosial berkala dengan PUK SPAMK FSPMI, walau kerap mendapat kritik dari serikat.
Aksi Buruh sebagai Penyeimbang Sistem
Menurut Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Fuad BM, aksi buruh bukanlah penghambat, melainkan bagian penting dari demokrasi ekonomi.
“Aksi buruh adalah koreksi terhadap ketimpangan. Kalau tidak ada suara buruh, perusahaan bisa sewenang-wenang. Tapi kalau buruh bersuara, bukan berarti investasi terganggu, malah menandakan Indonesia punya sistem demokrasi industri yang sehat,” ujar Fuad.
Hoaks yang Terorganisir dan Dibungkus Kekhawatiran
Aktivis buruh dari FSPMI, Ucup Zainuddin, menambahkan bahwa isu hengkangnya investor hanyalah dalih untuk mengkriminalisasi gerakan buruh.
“Ini hoaks yang dipelihara. Karena kalau buruh diam, pemerintah dan pengusaha bisa lebih leluasa mengatur upah seenaknya,” kata Ucup.
Ia mencontohkan bagaimana pada awal tahun 2025, muncul berita viral bahwa pabrik Jepang di Cikarang akan tutup karena demo. Namun setelah ditelusuri, perusahaan itu ternyata tutup karena alasan global supply chain, bukan karena aksi buruh.
Singkatnya: Buruh Bersuara, Demokrasi Bekerja
Dengan semua fakta yang ada, jelas bahwa aksi buruh bukan ancaman bagi investasi, tapi bagian dari ekosistem industrial yang sehat. Narasi bahwa investor akan kabur karena buruh turun ke jalan hanyalah bentuk intimidasi psikologis agar kelas pekerja takut bersuara.
Yamaha, sebagai studi kasus nyata, membuktikan bahwa perusahaan tetap bisa berkembang, bahkan di tengah gelombang perlawanan buruh.
Sebagai bangsa demokratis, Indonesia seharusnya bangga memiliki gerakan buruh yang aktif dan kritis. Selama aksi dilakukan dalam koridor hukum, maka bukan hanya tak mengganggu, tapi juga memperkuat pilar keadilan sosial dalam dunia kerja.