Petani Kendeng Dikhianati Gubernurnya Sendiri

Jakarta, KPonline – Saya pertamakali berinteraksi langsung dengan petani Kendeng pada hari Selasa, tanggal 12 April 2016. Ketika itu, mereka sedang mengadakan aksi di depan Istana. Ini aksi yang luar biasa. Sembilan orang perempuan, memasung kakinya dengan semen. Bayangkan, selama melakukan aksi protes, mulai dari tidur, makan, minum, buang air dan mengganti pakaian mereka lakukan dengan kondisi kaki terpasung. Semacam bukti bahwa perjuangan mereka tak setengah hati.

Ketika mengetahui aksi ini, dari kantor KSPI di Condet, dengan sepeda motor, saya diajak Sekjend KSPI Muhammad Rusdi ke tempat mereka. Ketika kami sampai, sudah ada banyak kawan yang terlebih dahulu datang. Mereka berorasi bergantian, memberikan dukungan. Rusdi, mewakili KSPI, juga ikut memberikan dukungan. Ikut berorasi.

Bacaan Lainnya

Sementara saya, bersama dengan beberapa wartawan yang banyak meliput acara itu, ikut mewawancarai para Kartini dari Gunung Kendeng,

Aksi ini dilakukan oleh sembilan Kartini dari kaki Gunung Kendeng, Jawa Tengah. Mereka adalah Sukinah (40), Karsupi (42), Surani (50), Sutini (41), dan Murtini (36), Giyem (45), Ngadinah (36), Ambarkati (32), dan Deni Yuliantini (28). Keenam kartini ini menyemen kaki mereka di dalam kotak berukuran sekiatar 50 x 30 meter.

Dalam aksinya, mereka meminta Presiden Jokowi membatalkan pembangunan pabrik semen di Gunung Kendeng.

“Kenapa kaki kami dicor? Ini gambaran sama seperti ketika pabrik semen ada di Gunung Kendeng. Kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi nantinya,” kata Deni Yuliantini.

Ia mengatakan, janji pendirian pabrik semen yang konon akan memperkerjakan mereka,justru nantinya akan membuat lahan pertanian mereka diambil. Kemudian ketika pabrik terbangun, mereka tidak hanya tidak bisa bertani, namun juga tidak bisa berbuat apa-apa.

“Apalagi kami hanya orang kecil,” ungkapnya.

Menurut Deni, dampak negatif dari pembangunan pabrik semen sudah terlihat, yaitu banyaknya korban yang meninggal dunia karena udara buruk yang dihasilkan pabrik semen. Kemudian tanaman yang tidak bisa tumbuh karena udara yangg jelek tersebut.

“Kami menilai, Gunung Kendeng menyimpan banyak  sumber mata air, hutan dan sebagainya di bangun pabrik semen. Bukan tidak mungkin alamnya rusak, airnya susah. Kalau begitu, bagaiman nanti kami mau bertani?” Ungkap Deni.

Oleh karena itu, kata Deni, mereka ingin bertemu dengan Presiden Jokowi. Mereka ingin menuntut seadil-adilnya, supaya pabrik semen tidak di bangun di Gunung Kendang.

Sementara itu Sukinah menambahkan, mereka tidak mau jadi korban semen. Jawa tengah seharusnya jadi lumbung pangan. Bukan menjadi tambang semen.

“Ini sayang sekali. Kenapa Jawa tengah mau dirusak lagi. Alam tambah sakit,” katanya.

Menurutnya, kalau pabrik semen sudah merajalela, aktivitas apapun tidak bisa dilakukan. Tidak bisa bertani dan tidak ada yang bisa dimakan.

“Nanti kalau anak dan cucu butuh makan gimana?” kata Sukinah.

Petani Kendeng melawan belenggu semen. (Foto: Kahar)
Petani Kendeng melawan belenggu semen. Sekjend KSPI Muhammad Rusdi hadir sebagai bentuk solidaritas buruh untuk petani. (Foto: Kahar)

Bertemu dengan Presiden

Keesokan harinya, Kepala Staf Presiden Teten Masduki dan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, turun tangan dan berdialog dengan para perwakilan sembilan wanita tersebut. Mereka berjanji akan mengagendakan pertemuan antara Kartini Gunung Kendeng dengan Jokowi.

“Kita belum tahu kapan, mungkin habis bapak pulang dari Eropa, nanti akan kita atur. Atas nama pemerintah, kita paham betul persoalan yang disampaikan dari Kendeng ini,” ujar Teten ketika itu.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 2 Agustus, Presiden Joko Widodo bertemu dengan perwakilan rakyat dari Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Dalan pertemuan tersebut, tercapai 5 poin kesepakatan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan alam pegunungan kapur tersebut: (1) Perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung Pegunungan Kendeng melalui KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis); (2) Pelaksanaan KLHS akan dikoordinir oleh Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengingat masalah di Kendeng bersifat lintas kementerian dan lintas daerah (meliputi 5 Kabupten, 1 Provinsi); (3) Dalam pelaksanaan KLHS nanti Kementrian LHK sebagai Ketua Panitia Pengarah; (4) Selama proses KLHS yang akan dilakukan selama 1 tahun, semua izin dihentikan; dan (5) Pemerintah menjamin proses dialog/rembugan multi pihak yang sehat selama proses KLHS berlangsung.

Perwakilan petani Kendeng, Gunretno, mengaku puas dengan keputusan Jokowi tersebut. Ia berharap kajian bisa dilakukan secepatnya dan pabrik semen di sana menghentikan operasi untuk sementara waktu.

Menurut Gunretno, jika kajian tidak segera dimulai, maka akan semakin banyak permasalahan yang muncul. Operasi tambang yang dilakukan pabrik semen dikhawatirkan akan merusak tata kelola air di wilayah itu. Selain itu juga akan membuat lahan petani semakin menyempit yang berujung pada hilangnya mata pencaharian.

“Intinya karena sudah ada kesepakatan dengan Pak Jokowi, saya harap ini bisa segera dimulai ditindaklanjuti secepatnya. Semua pabrik semen izinnya harus dihentikan. Kajian lingkungan hidup strategis harus segera dimulai,” Gunretno.

Jalan Kaki Tagih Janji

Hari Senin, 5 Desember 2016, ratusan petani Kendeng dari Rembang, Pati, Blora dan Kudus melakukan long march dari kota Rembang menuju kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang untuk mendesak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, untuk mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia.

Salah satu tujuan dari aksi jalan kaki ini adalah mengawal keputusan Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016 yang memenangkan gugatan para petani Kendeng.

“Seharusnya sudah dilakukan eksekusi atas putusan tersebut, dengan mencabut izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah,” ujar Joko.

Perjuangan para petani Kendeng yang menuntut agar wilayahnya tidak dibangun pabrik semen adalah cerita panjang. Sejak tahun 2014 mereka membangun tenda perjuangan tepat di pintu masuk kantor PT Semen Indonesia di Rembang sebagai protes pembangunan pabrik semen di wilayah mereka.

Tahun berikutnya, mereka menggugat SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17/2012 ke PTUN Semarang. Tapi gugatan mereka ditolak dengan alasan kadaluarsa. Pada November 2015, gugatan mereka juga tidak dikabulan oleh PTUN Surabaya.

Awal Oktober tahun ini, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan mereka. Tiga hakim agung, yakni Yosran, Is Sudaryono, dan Irfan Fachruddin, menyatakan izin lingkungan yang dimiliki PT Semen Indonesia di Rembang tidak sesuai dengan aturan hukum. Dengan demikian tiga putusan  pengadilan di bawahnya yang memenangkan PT Semen Indonesia menjadi batal.

Aksi jalan kaki para petani menempuh jarak kurang lebih 150 kilometer itu diperkirakan akan memakan waktu lima hari. Mereka berjalan kaki sambil menenteng bekal dan bendera merah-putih.

Sebelum memulai aksi jalan kaki, para petani menyempatkan diri berziarah ke makam Kartini di desa Bulu, Rembang. Di sana mereka membacakan tahlil dan doa. Mereka juga sempat singgah di kediaman Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus komplek Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Leteh, Rembang. Ulama Nahdatul Ulama memberikan pesan dan dukungan moral untuk perjuangan petani Kendeng.

“Rakyat Kendeng bersama Bapak (gubernur). Tidak ada yang perlu ditakutkan atau disangsikan selama kita berada di jalan yang benar,” kata Joko.

Joko mengingatkan, Jawa Tengah sebagai lumbung pangan nasional, seharusnya menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya peningkatan pertanian, bukan malah mengubah lahan produktif pertanian menjadi kawasan industri pertambangan.

Jalan kaki menempuh jarak 150 Km (Foto: Dhyta Caturani)
Jalan kaki menempuh jarak 150 Km (Foto: Dhyta Caturani)

Ijin Baru Terbit Tanpa Diketahui Petani

Tetapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ternyata sudah menerbitkan izin pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang, pasca dikabulkannya Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang membatalkan analisis mengenai dampak lingkungan tahun 2012.

Surat Keputusan Gubernur Jateng bernomor 660.1/2016 tentang pendirian izin baru pabrik semen di Rembang tertanggal 9 November 2016 sudah ditandatangani. Padahal, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagai Ketua Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng menggelar pertemuan dengan para pemangku kepentingan, 15 November lalu, di Kantor Gubernur Jawa Tengah.

Selain Gubernur Ganjar Pranowo, pertemuan terkait studi KLHS itu dihadiri Gubernur Jawa Timur; empat bupati di Jawa Tengah yaitu Grobogan, Pati, Rembang, dan Blora; serta tiga bupati di Jawa Timur yaitu Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.  Dalam kick-off meeting itu, Gubernur Ganjar Pranowo sama sekali tak mengungkapkan bahwa dirinya telah menerbitkan izin baru tertanggal 9 November 2016, untuk penambangan dan pengoperasian pabrik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Ketua Tim Panel Pakar KLHS Kendeng, Sudharto P Hadi, memastikan saat itu tidak ada pembahasan mengenai izin baru yang diterbitkan Ganjar. Sudharto merupakan salah satu peserta dalam pertemuan itu.

Ada dua alasan Ganjar menerbitkan izin lingkungan baru. Pertama, ada perubahan nama perusahaan dari PT Semen Gresik (Persero) menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Kedua, ada permohonan perubahan data luas wilayah penambangan batugamping dan batulempung yang menjadi semakin mengecil. Kedua alasan ini yang disebut membuat Ganjar menerbitkan izin baru tanpa memerlukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau izin kelayakan yang baru pula.

Dalam SK terbaru tersebut, Ganjar memberikan izin atas tiga kegiatan yaitu penambangan batu kapur seluas 293,9 hektare di Desa Tegaldowo dan Desa Kajar, Kecamatan Gunem; penambangan tanah liat seluas 98,9 ha di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem; dan operasional pabrik semen berkapasitas 3 juta ton per tahun di Desa Kajar dan Desa Pasucen.

“SK baru itu mencabut keputusan lama tentang izin lingkungan tanggal 7 Juni 2012 lalu, sekaligus memberikan izin pengaturan penambangan baru,” kata Asisten Pemerintahan Setda Provinsi Jawa Tengah Siswo Laksono di kantor Gubernuran, Jumat (9/12), sebagaimana dikutip beberapa media.

Dia mengatakan, izin baru itu terbit setelah Gubernur Jateng menerima surat permohonan dari Semen Indonesia, perihal status perubahan kepemilikan dan pengelolaan pabrik dari PT Semen Gresik menjadi Semen Indonesia.

“Ini bukan Amdal baru, hanya izin lingkungan. Secara regulasi tidak diatur (sosialisasi). Maka secara legal pabrik masih bisa beroperasi,” kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah Agus Sriyanto.

Menanggapi audiensi dengan perwakilan Pemrov Jateng, warga merasa kecewa atas ketidakpuasannya menyampaikan aspirasi langsung kepada Ganjar Pranowo. Terlebih, izin baru penambangan pabrik semen Rembang oleh Gubernur pun disayangkan oleh perwakilan warga Rembang.

“Kita sangat kaget dan kecewa. Kedatangan kita ingin gubernur mencabut izin sesuai keputusan MA. Tapi tiba-tiba ada izin baru tanpa sepengetahuan kami. Rakyat merasa dipermainkan,” kata Gunretno selaku tokoh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng Rembang.

Gunretno pun mempertanyakan izin ‘diam-diam’ yang diterbitkan gubernur. Menurutya hal itu bertolak belakang dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang menginginkan adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terkait pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Rembang.

“Jadi izin harus dihentikan, kok malah keluarkan izin baru. Kalau warga tidak datang ya pasti akan ditutup informasinya.” (*)

==========
Baca juga artikel terpilih tentang perjuangan petani untuk mempertahankan Kendeng agar tetap Lestari yang diterbitkan KPonline.

Pos terkait