Jakarta, KPonline – Ratusan Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) pada Senin, 5 Juni 2023 melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementrian Perdagangan Republik Indonesia yang beralamat di Jl. M. Ridwan Rais No. 5, Gambir, Jakarta Pusat.
Aksi unjuk rasa ini dilakukan akibat banjirnya produk baja impor yang dinilai merusak tatanan pasar baja di Indonesia dan disinyalir iklim investasi pun akan terdampak negatif.
Menyikapi hal ini Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Logam Federasi Seikat Pekerja Metal Indonesia (PP SPL FSPMI), A.Taupik Hudayat, S.E., S.H mengatakan dampak tingginya baja impor bisa membuat investasi mandek.
Sebagai gambaran adanya kelebihan kapasitas produksi baja global yang cukup ekstrem, mencapai 563 juta ton, setara dengan 35x kebutuhan baja Indonesia pada tahun 2022 (data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
“Produk baja dari Cina banyak yang melakukan dumping (menjual baja dengan harga lebih murah untuk mendominasi pasar) sehingga dapat merusak pasar domestik dan menciptakan distorsi dalam industri baja Indonesia,” kata Taupik Hidayat.
Belum lagi dampak terhadap lingkungan, Impor baja dari Cina juga dapat memiliki dampak negatif pada lingkungan. Beberapa produsen baja di Cina terlibat dalam praktik-praktik industri yang tidak ramah lingkungan (penggunaan blast furnace dan induction furnace).
“Dampak yang paling mengancam jika baja impor masuk tidak dikendalikan, maka industry baja dalam negeri akan hancur dan mungkin terjadi PHK, karena didominasi oleh baja impor dengan harga yang murah tadi,” pungkas Taupik.
Sementara Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sabilar Rosyad, S.H kepada koran perdjoeangan mengatakan dari data yang ia peroleh sepanjang periode 2017-2019 impor produk baja mengalami kenaikan yang signifikan.
Sementara pada periode Januari – November 2022 mencapai hampir 6000 ton, naik 6,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Sehingga menurutnya produk baja impor masih besar sekali.
“Bahkan terdapat produk baja impor yang tidak bersertifikat SNI, atau sertifikat lainnya sehingga kualitas baja tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan. Karena tidak ada sertifikat, maka harga jualnya murah, berbeda dengan produk baja dalam negeri yang memiliki sertifikat SNI maupun TKDN,” ujar Rosyad.
“Harga jual baja yang murah maka mengancam produsen baja nasional yang telah memenuhi ketentuan sertifikat dari pemerintah, hal ini akan berdampak negatif pada lapangan kerja di sektor baja, yang mengakibatkan pengangguran dan pengurangan pendapatan bagi para pekerja karena pabrik baja kalah saing dengan produk impor,” imbuhnya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Logam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PP SPL FSPMI) Supriyanto menambahkan terkait upaya pengamanan perdagangan lainnya yaitu technical barrier untuk membendung derasnya produk impor diantaranya penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk baja secara wajib dari hulu hingga hilir yang harus segera diterapkan oleh Kementerian terkait serta mendorong pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan memperhatikan dari sisi material pada proyek-proyek pemerintah.
“Kondisi yang menyedihkan yaitu utilisasi produsen baja nasional saat ini rata rata-rata baru mencapai 40% yang idealnya 80%, Angka ini dinilai Supriyanto merupakan angka yang tidak terlalu baik dibandingkan industri lain sebagai contohnya keramik. Dengan tingkat utilisasi yang hanya di angka 40% investor di industri baja tentu akan berfikir berkali kali,” ucap Supriyanto.
“Hal lainnya serangan impor juga dilakukan dengan berbagai macam cara oleh para trader, oleh karenanya Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) meminta pemerintah dan kementrian terkait secara konsisten menerapkan peraturan yang ada khususnya untuk mengendalikan impor dan menjaga investasi yang sudah ditanamkan di Indonesia,” lanjutnya. (Yanto)