Setujukah Kamu, Jika Gaji dan Tunjangan Pejabat Sama Dengan UMK?

Bogor, KPonline, -Semenjak kebijakan PP 78/2015 yang sangat merugikan kaum buruh dikeluarkan oleh Pemerintah, kekisruhan atas penetapan upah bagi kaum buruh, sering terjadi dimana-mana. Aksi-aksi penolakan atas PP 78/2015 terus dilaksanakan hingga saat ini. Bahkan sejak pembubaran paksa pada aksi 30 Oktober 2015, aksi penolakan terhadap PP 78/2015 masih terus digaungkan.

Bagi kaum buruh, upah merupakan urat nadi, sehingga jika “urat nadi” kaum buruh semakin dijerat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-buruh, maka sama saja pihak pemerintah “membunuh” kaum buruh secara perlahan-lahan. Memang, kaum buruh adalah golongan yang jumlahnya sangat banyak dan signifikan. Berjuta-juta jumlahnya, akan tetapi nasib kaum buruh seakan-akan terlunta-lunta di negeri yang katanya sangat kaya.

Bacaan Lainnya

Apa yang bisa Kaum Buruh lakukan?

Menjawab pertanyaan tersebut sangatlah susah dan sangatlah tidak mudah. Kaum buruh tercerai berai dengan kepentingan dan kelompok mereka masing-masing. Padahal, jika saja kaum buruh di negeri ini mengetahui, memahami dan menyadari betapa besar kekuatan yang kaum buruh miliki, niscaya pemerintah akan berani berbuat “seenak udele dewe”. Benarkah?

Mungkin saja ya, atau bahkan mungkin sama sekali tidak. Represivitas pihak pemerintah dalam menekan pergerakan dan perjuangan kaum buruh, sering kita rasakan. Bahkan, pasca era Reformasi disaat ini pun, pergerakan dan perjuangan kaum buruh semakin dilemahkan. Masa sih? Lohh, sejak kapan ada manusia ditindas di didzalimi, malah berterima kasih? Ya sejak PP 78/2015 muncul. Lihat saja, ada sekelompok buruh, yang memuja-memuji lahirnya PP 78/2015. Hal ini cukup aneh, dan patut dipertanyakan, apakah mereka sudah terserang Stockholm Syndrome?

Apakah PP 78/2015 harus terus dilawan?

Menjawab pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk dijawab. Malah akan semakin bingung nantinya. Seharusnya dimulai saat ini, kita harus membangun mimpi dan membuat nyata mimpi-mimpi kaum buruh. Dengan memperjuangkan kader-kader terbaik dari kaum buruh, agar mereka bisa duduk di parlemen. Sebagai anggota legislatif tentunya, sebagai corong dan pelantang suara kaum buruh, kader-kader terbaik dari kaum buruh tersebut haruslah membuat aturan dan perundang-undangan yang pro-buruh dan tentu saja pro-rakyat.

Pernahkah terbesit dalam pemikiran kaum buruh, bahwa pergerakan dan perjuangan kaum buruh bisa juga dilakukan di gedung-gedung parlemen? Dengan menguasai parlemen, akan ada banyak kesempatan bagi kaum buruh untuk merubah keadaan. Akan ada banyak aturan dan perundang-undangan yang akan dirubah ke arah yang lebih baik. Dan tentu saja tentang aturan dan perundang-undangan mengenai pengupahan.

Upah Layak Bagi Buruh atau UMK Bagi Pejabat?

Jangan lagi berbicara tentang upah layak bagi kaum buruh, karena akan ada segudang argumentasi dan “seabrek-abrek” alasan bagi pejabat untuk menghalang-halangi kaum buruh agar sejahtera. Mari kita bicarakan saja, bagaimana caranya agar para pejabat negara dan pejabat pemerintahan yang saat ini sedang duduk dikursi empuk, diruangan ber-AC dan serinh berbicara tentang hal-hal yang tidak penting itu, juga merasakan apa yang kaum buruh rasakan.

Apa jadinya mereka, jika gaji dan tunjangan yang mereka dapatkan sama dengan yang kaum buruh terima disetiap bulannya? Apa yang akan mereka rasakan, apa yang akan keluarga mereka rasakan? Tidak perlu kita bahas disini sampai “misuh-misuh”, yang jelas dengan sistem dan mekanisme pengupahan yang saat ini berlaku, sangatlah tidak layak. Apakah buruh tidak boleh sejahtera, disaat para pejabat negara dan pejabat pemerintahan “berfoya-foya” dengan uang pajak rakyat yang setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun disetorkan ke negara?

Pejabat merakyat? Bersedia digaji UMK!

Sering kali kita membaca, melihat dan menonton “pejabat-pejabat sontoloyo” berkhutbah tentang bagaimana merakyatnya mereka. Dan sebagai rakyat kecil, kita sudah tahu apa yang mereka katakan itu adalah kebohongan belaka. Masihkah kita ingin dibohongi dari tahun ke tahun oleh mereka. Jika memang mereka “mengaku-ngaku” merakyat, setidaknya, mereka harus membuktikan bahwa mereka benar-benar merakyat. Dan salah satu contoh “kecil” sikap merakyat adalah dengan menerima gaji dan tunjangan bagi para pejabat, baik pejabat negara maupun pejabat pemerintahan, sebesar Upah Minimum!

Upah Minimum Kabupaten/Kota ataupun Upah Minimum Provinsi boleh dipilih oleh masing-masing pejabat secara perseorangan. Semakin kecil upah yang diterima oleh pejabat tersebut, maka akan semakin besar apresiasi dari seluruh rakyat. Disamping meringankan beban APBN dan APBD, pejabat-pejabat tersebut sudah membuktikan betapa merakyatnya mereka.

Jadi, setujukah kamu, jika gaji dan tunjangan bagi para pejabat sama dengan UMK? Saya yakin 80% lebih akan menjawab, amat sangat setuju sekali ! (RDW)

Pos terkait