Serikat Buruh Satu Lini Produksi, Rentan Kooptasi?

Bogor, KPonline –  Pada pasal 49 PP 78/2015 atau yang juga dikenal sebagai PP Pengupahan menerangkan bahwa, Gubernur dapat menetapkan upah minimum sektoral provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan antara asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.

Sejak lahirnya PP 78/2015, kekisruhan tentang penetapan upah minimum seringkali menjadi polemik di berbagai daerah. Terlebih-lebih dalam penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) atau Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, ada banyak daerah yang hingga saat ini penetapan Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota pun belum selesai.

Bacaan Lainnya

Bisa kita simpulkan bahwa, perlu dibentuknya sebuah asosiasi pengusaha sektor dan asosiasi serikat pekerja/serikat buruh sektor, merupakan salah satu langkah pihak-pihak yang menginginkan terjadinya perpecahan kekuatan buruh, dalam penentuan dan penetapan upah.

Hal ini dikarenakan, akan muncul ego sektoral, tidak hanya di kalangan asosiasi pengusaha sektor, akan tetapi ego sektoral tersebut juga akan muncul dengan sendirinya pada asosiasi serikat pekerja/serikat buruh sektor.

Bagaimana jika hal tersebut terjadi ? Bagaimana ego sektoral tersebut benar-benar memecah tidak hanya kekuatan kaum buruh, akan tetapi juga memecah konsentrasi kaum buruh. Bahwa dalam penentuan dan penetapan upah, kaum buruh sebenarnya memiliki “rivalitas” dan historis yang nyata dan abadi, yaitu pengusaha dan penguasa.

Dan tentu saja, jika penerapan aturan mengenai asosiasi pengusaha sektor dan asosiasi serikat pekerja/serikat buruh sektor diamini, maka dalam penentuan dan penetapan upah buruh, tidak menutup kemungkinan ego sektoral tadi akan semakin kental.

Tentu saja permasalahan penentuan dan penetapan upah buruh akan semakin rumit. Sehingga membutuhkan penyelesaian yang konkret dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan, salah satu pihak yaitu tentu saja pihak serikat pekerja/serikat buruh. Dan sepertinya, Upah Minimum Nasional bisa menjadi solusi dari kekisruhan penentuan dan penetapan upah selama ini.

Rentan kooptasi 

Bagaimana dengan asosiasi pengusaha sektor dan asosiasi serikat pekerja/serikat buruh sektor ? Apakah masih dibutuhkan jika sudah ada Upah Minimum Nasional ? Hal tersebut pun, perlu mendapatkan porsi konsentrasi yang cukup. Karena kita sudah tahu dan memahami, bahwa serikat pekerja/serikat buruh dibentuk berdasarkan sektor usaha yang digeluti oleh perusahaan dimana mereka bekerja.

Sehingga sudah tidak dibutuhkan lagi asosiasi serikat pekerja/serikat buruh sektor. Dan kalau pun pihak pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan aturan memaksakan harus tetap diberlakukan penerapan pasal 49 PP 78/2015 tersebut, maka yang perlu dibentuk adalah asosiasi pengusaha sektor saja.

Seiring berjalannya waktu, muncul gagasan tentang pembentukan serikat pekerja/serikat buruh yang berada didalam satu lini produksi. Serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi macam ini, sepertinya berkaca kepada serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi yang ada di Jepang, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Dalam hal kekuatan, baik kekuatan militansi dan kekuatan ekonomi antara serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi di Eropa dengan di Indonesia (kalau pun ada), sudah barang tentu akan berbeda dalam hal karakteristik maupun idealistiknya.

Bukan berarti mencoba mengkerdilkan upaya dan usaha dari serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi yang akan mulai muncul di Indonesia. Akan tetapi, sudah menjadi rahasia umum, bahwa ada banyak kepentingan dan motif dari setiap pembentukan serikat pekerja/serikat buruh, khususnya di Indonesia.

Dari sisi positif, tidak perlu kita perdebatkan lagi apa tujuan dari pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kita sebagai kaum buruh, untuk mengingatkan dan memberikan masukan, hal-hal dan dampak negatif dari pembentukan serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi.

Selain motif ekonomi dan kepentingan, tentu saja pembentukan serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi diduga kuat sarat dengan tujuan khas kapitalistik, ego sektoral dan kooptasi dari pihak pengusaha yang bergerak di bidang produksi tersebut.

Mungkin saja, kooptasi tidak terjadi, jika serikat pekerja/serikat buruh tersebut memiliki karakter yang kuat, idealistik yang setegar karang di lautan, atau setidaknya ada setitik iman yang masih melekat di kandung badan.

Serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi, bisa menjadi sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan. Akan tetapi, jika sebaliknya bagaimana ? Ketika kekuatan kooptasi dari pihak-pihak tertentu menjadikan serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi malah menjadi lemah, maka patut dipertanyakan juga, apa yang sebenarnya mereka cari dan apa yang mereka dapatkan ?

Dan patut diduga juga, jika serikat pekerja/serikat buruh satu lini produksi malah menjadi semakin lemah dengan tekanan kekuatan kooptasi dari pihak-pihak tertentu, jangan-jangan hal tersebut hanya sekedar permainan di tingkat elitenya saja. Atau jangan-jangan, mereka memang sengaja, ingin di kooptasi ? Siapa tahu bukan ? (RDW)

Pos terkait