Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia : Masa Penjajahan (2)

Diterapkannya sistem Tanam Paksa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch (1830-1870) adalah satu masa penting dalam sejarah gerakan buruh. Pada masa inilah para petani di Nusantara, utamanya di Jawa (sebagai pusat kekuasaan Hindia Belanda), mulai dihancurkan prikehidupannya sebagai petani dan diubah paksa menjadi buruh tani.

Tentu saja, di bawah akumulasi primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa, para buruh tani ini tidak memperoleh upah. Kondisi kerjanya lebih mirip corvee labor atau pekerja paksa. Para petani Jawa diperkenankan memiliki tanah, namun harus membayar pajak natura berupa keharusan untuk menyerahkan sebidang tanahnya untuk tanaman komersial yang laku di Eropa. Pilihan lain adalah menyerahkan 66 hari dalam setahun untuk bekerja pada perkebunan milik Gubernemen.

Bacaan Lainnya

Tepatlah jika istilah koeli dipakai pada jaman itu. Dalam masa ini, dimulailah proses di mana prikehidupan tani feudal mulai digantikan oleh sebuah prikehidupan di mana kerja tidak lagi dikaitkan dengan tanah milik, melainkan dengan sebuah lembaga pencetak profit—dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan perkebunan milik Kerajaan Belanda.

Era Liberal yang menyusul tahun-tahun Tanam Paksa menyebabkan tumbuh suburnya perkebunan swasta menggantikan perkebunan milik Kerajaan Belanda. Struktur pedesaan Jawa pun digerus oleh struktur industrial, sekalipun masih berupa industri ekstraktif. Perkebunan-perkebunan swasta pun dibuka di Sumatra, dengan sumber tenaga kerja para koeli kontrak—yang didatangkan dari Jawa atau Semenangjung Melayu. Kontrak-kontrak ini disertai ancaman poenale sanctie yang kejam.

Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di Yogyakarta, di mana pada puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa menghentikan produksinya karena pemogokan.

Isu yang diangkat adalah 1) Upah; 2) kerja gugur-gunung yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda sering memukul petani. Apakah Anda merasa akrab dengan tuntutan-tuntutan ini?

Tiadanya pengorganisasian modern untuk mendukung pemogokan-pemogokan ini menyebabkan terjadinya kekalahan demi kekalahan di pihak kaum buruh. Para sejarawan juga enggan melakukan pencatatan terhadap pergerakan ini terutama karena tiadanya keteraturan dalam pemogokan-pemogokan tersebut.

Abad ke-19 adalah abad paling revolusioner dan penuh perubahan dalam sejarah Indonesia. Di awal abad 19 konsep negara-Kolonial Hindia Belanda disiapkan oleh Herman Willem Daendels (1808-1811) untuk mempertegas pengelolaan wilayah Koloni yang sebelumnya hanya merupakan mitra perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Pada abad 19 pula struktur masyarakat kapitalis terbentuk. Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM) dan Javansche Bank didirikan. Tampil pengusaha-pengusaha mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik, sementara kaum bumiputera disiapkan sebagai buruh.

Perjalanan perburuhan sejak jaman Kolonial Hindia Belanda tonggak pentingnya adalah sekitar tahun 1830-1870 sebagai kurun Culturstelsel, sedang setelah 1870 pencanangan Agrarische Wet. Pada abad ke-19 telah ada buruh karena industrial kapitalistik (hubungan barang dengan modal) untuk memproduksi barang dagangan secara masal telah dimulai sejak 1830.

Pada Mei 1842 saat terjadi rotasi penanaman lahan tebu di kabupaten Batang-Karesidenan Pekalongan di desa-desa Kalipucang Kulon, Karang anyar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman tebu. Residen meminta tanah-tanah baru yang berkondisi baik untuk dipakai menanam tebu dalam jangka dua tahun.

Pada 22 Oktober, kontrolir di kabupaten Batang melaporkan sejumlah 40 desa yang penduduknya melakukan Culturdienst tebu untuk masa tanam tahun yang lalu belum dilunasi upahnya untuk kerja muslim panen tahun ini sebab dianggap belum cukup memenuhi pajak natura tebu yang harus diserahkan yang telah tertera dalam kontrak kerja tahun 1841 dengan upah sebesar 14,22 gulden per orang. Penanam tebu yang terlibat dalam kerja tersebut tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan melainkan berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah. Protes ini terjadi pada 24 oktober 1842 dan diikuti 600 penanam tebu dari 51 desa.

Di Yogyakarta tahun 1882 terjadi pemogokan berturut-turut dalam tiga gelombang masa. Lokasi pemogokan adalah kabupaten Kalasan dan Sleman. Isu pemogokan tersebut adalah karena upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga yang dilakukan satu hari dalam satu pekan, kerja Morgan yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim dilakukan, upah tanam yang sering tidak dibayar, harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik terlalu murah bila dibandingkan harga pasar, terjadinya kekerasan terhadap para petani.

Dilihat dari jumlah orang dan desa yang terlibat protes besar ini tidak hanya disebabkan faktor diatas melainkan juga disebabkan belum ada organisasi modern (serikat, partai dan sebagainya). Berdasarkan hasil penelitian, pada abad ke-19 cenderung diangkat persoalan protes petani. Sementara petani di Hindia Belanda adalah petani yang tidak dapat dikategorikan sebagai tuan tanah kapitalis, namun lebih merupakan petani gurem atau miskin yang hidupnya bergantung pada industri perkebunan yang diciptakan oleh Hindia-Belanda. Sehingga yang dimaksud dengan protes petani dengan telah adanya produksi barang daganga secara masal adalah buruh.

Thomas Stamford Raffles, dalam kurun pemerintahannya (1811-1816) telah meletakan dasar-dasar penting bagi perburuhan mendasar di Jawa. Dia menerapkan pengambil-alihan seluruh tanah di Jawa menjadi milik negara .

Raffles menginterpretasikan gejala penyerahan upeti pada para penguasa bumiputra sebagai bukti dari pemilikan tanah negara. Kebijakan ini dipengaruhi oleh sistem sosial Zamindar (tuan tanah) yang ada di India, jajahan Inggris. Oleh Van den Bosch, konsep Raffles tentang pemilikan tanah diadaptasi dan digunakan untuk berlangsungnya Culturstelsel dengan melakukan modifikasi.

Di masa selanjutnya, mempekerjakan petani sebagai buruh semakin tidak dilandaskan pada penguasaan tanah. Diferensiasi sosial masyarakat desa sejak sikap petani kaya yang juga dapat mencakup lurah dan wedono jelas mempunyai akses terhadap tanah. Namun beberapa lapisan sosial di bawah menumpang, lebih merupakan buruh dibanding lapisan sosial berakses tanah. Dua klasifikasi sosial belakang adalah potensial menjadi buruh.


Setelah tahun 1870 perkembangan industri menjadi demikian pesat. Jaman ini dikenal dengan jaman liberal yang direspon secara optimal oleh kalangan swasta Eropa dengan cara mengambil alih sektor perdagangan. Dalam hal pertanahan, para kapitalis perkebunan tersebut diperkenankan melakukan penyewaan tanah jangka panjang selama 75 tahun yang disebut erfpacht. Investasi dilakukan tidak hanya di pulau Jawa namun juga merambah hingga pulau Sumatera.

Bila investasi di Jawa memerlukan proses panjang dalam mentransformasikan petani menjadi buruh, struktur feodal/kerajaan menjadi struktur birokrasi kolonial, lain halnya dengan yang terjadi di daerah Sumatera Timur. Di daerah perkebunan-perkebunan tembakau dibangun mulai dari tahun 1863 di daerah Deli oleh Jacobus Nienhuys mendatangkan para buruh dari wilayah melayu, dan pulau Jawa. Mereka diikat dengan kontrak dan kontrak tersebut tidak dapat diakhiri oleh sang buruh. Bila buruh berusaha melarikan diri dari tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman.

Baca juga : Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia : Masa Kerajaan (1)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *